Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Melihat Bagong Bermain Ombak

Kreasi baru Bagong Kussudiardjo mementaskan tari terbuka di Pantai Parangtritis, mencoba mengajak alam untuk menari. Banyak yang mengkritik kurang berbobot dan kurang mengenal pantai dengan baik. (tr)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERATUS orang berpakaian warna-warni, berjalan beriringan di pantai yang terik. Ada sesajen, ada umbul-umbul, ada payung. Di tengah debur ombak gemuruh, prosesi ini bisa mengingatkan orang pada melasti - upacara turun kelaut menjelang datangnya tahun baru Caka - yang tiap tahun berlangsung di Bali. Yang ini bukan Bali - dan bukan peristiwa agama. Iring-iringan itu berhenti di suatu tempat. Kelompok pembawa sesajen membuang sesajen ke laut, setelah seseorang berdoa - atau bergaya berdoa. Lalu gamelan ingar bingar, dan seratus orang lebih itu pun mulai bergerak-gerak. Inilah pementasan tari kreasi Bagong Kussudiardjo, berjudul bagai bunyi spanduk: Kita Perlu Berpaling ke Alam dan Bersujud pada-Nya. Alam yang dipalingi Bagong itu pantai Parangtritis, pesisir Samudra Hindia, 27 km di sebelah selatan Kota Yogya. Hari Ahad lalu itu, di terik matahari, Bagong ingin mengatakan bahwa alam terbuka di Parangtritis bisa diajak menari, atau setidak-tidaknya dimanfaatkan untuk sebuah tari. Maka, lautan pasir yang luas itu, dengan panjang 350 meter, diberi pagar tali rafia. Di pentas yang mahaluas itulah ada gerak-gerak berumpalitan, ada debur ombak, deru angin, dan air laut membuih. Selama satu setengah jam pementasan yang tidak menyuguhkan suatu cerita yang bisa ditelusuri ini berlangsung dengan menjemukan. Beberapa penonton hilir mudik mencari-cari bahan pandangan. Padahal, Bagong, ayah tujuh anak, mengakui sudah benar-benar mengajak serta alam semesta. Keterlibatan dengan alam diberi contoh dengan, misalnya, beberapa penari yang berkubang di pasir basah sambil sesekali membiarkan tubuh diterjang ombak. Dari situ lahir gerak-gerak yang menggeliat, atau berguling-guling, dan diakhiri dengan menatap ombak yang surut, yang memberi kesan bersujud kepada laut atau apalah. Pada akhirnya bobot artistik gerak itu bergantung juga pada daya tahan penari menahan ombak. Alam sebagai latar belakang bisa diberi contoh begini: beberapa penari membawa kain putih panjang, dibentangkan. Angin besar datang, kain menggelembung dan seperti bergulung-gulung. Itu ombak buatan, dan tiga penari menggeliat-geliat di bawah "ombak", sementara ombak yang sebenarnya menjadi setting. Yang ingin disuguhkan adalah bersatunya ombak dengan kain panjang yang menggelembung-gelembung itu, dan penari itu seolah-olah luwes diterjang ombak. Agak sulit diikuti. Apalagi, sekitar seribu penonton - yang hanya membayar karcis masuk ke pantai Rp 50, seperti biasanya tak dipersiapkan untuk menyaksikan pementasan dengan "layar lebar" ini. Orang-orang berdiri hanya sekitar 15 meter dari pagar tali rafia. Alhasil, hanya beberapa potongan adegan bisa dilihat. Semestinya, seperti yang dikatakan Butet - anak Bagong yang banyak terlibat dengan karya ayahnya - penonton bisa memanfaatkan bukit pasir yang ada di belakang. Alasannya, nomor baru ini sebenarnya bentuk tari yang bisa dilihat dari jauh: gerak yang berlan, menerjang, tangan membentang, melambai-lambaikan kain panjang. Tidak ada gerak-gerak kecil dan lembut, apalagi yang berbau klasik. "Sebuah pertunjukan yang jelek sekali," ini komentar Yoshimi Miyake, mahasiswi Jepang yang belajar di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Alasan Miyake, ya itu tadi, "Susah dilihat karena panggung yang luas - tanpa fokus." Tapi ada yang bilang, Bagong sendiri sesungguhnya tak mengenal pantai Parangtritis dengan baik. "Pementasan ini tak bermakna. Semua unsur alam yang kaya di Parangtritis tidak digauli dengan akrab," kata Tetet Sri W.D., penata tari muda dan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia memberi contoh, tidak semua adegan menggeliat di bawah ombak kain berhasil, karena pas ketika kain dibentangkan, angin tak bertiup deras. Yang terlihat akhirnya tak lebih dari kain panjang yang diseret-seret ke sana kemari. Kalau angin mati, kenapa kain harus dibentangkan juga? Artinya, Bagong tak siap membekali penarinya dengan improvisasi. Tapi Bagong sendiri mengakui kekurangannya. "Ini 'kan baru tahap eksperimen jadi wajar kalau banyak kekurangannya," katanya seusai pementasan. Walau begitu, kakek enam cucu yang rambut gondrongnya memutih ini tetap menyebutkan, karya tarinya kali ini sebuah proyek besar. Biaya yang dihabiskan memang tak banyak, Rp 1,8 juta - yang diperolehnya dari bupati Bantul, Yayasan Duta Wacana, dan Pusat Kateketik Yogyakarta - tetapi bagi Bagong karya ini menjawab makian banyak orang yang menuduhnya sebagai macet dan "seniman pesanan". "Karya tari ini bukan karya pesanan," katanya terkekeh-kekeh. Karya Parangtritis ini dipersiapkan sejak April lalu melibatkan dua lembaga yang diasuhnya Padepokan Tari dan Pusat Latihan Tari dengan delapan kali latihan di lingkungan asli. Bagong sendiri merasa tari yang tak bertema ini lahir dari kegelisahannya sebagai seniman. Ia pun mengungkapkan - hal yang sudah sering dikatakan orang: Sardono atau Putu Wijaya, misalnya - bagaimana membebaskan karya tari sekarang ini dari perangkap pentas yang berbentuk pendapa, serambi, panggung. Dulu, katanya, tarian seperti tayuban, jatilan, ongkek, lesung, kecak, dan sejumlah tari tradisional lain tampil di alam terbuka tanpa dinding segi empat sebagai pembatas. Setelah diformalkan dan terjebak dalam pementasan panggung, nomor tari itu sendiri menjadi kaku. Dan, terlalu banyak properti yang sifatnya amat teknis, menyebabkan pertunjukan menjadi elite. "Tetek bengek semacam itulah yang membuat saya elisah," ujar Bagong, bekas murid RB Tjondrosentono, penari Langen Mondro Wanoro, Yogyakarta, ini. Bagong mengisyaratkan, kegelisahannya itu masih akan dituangkannya lagi - di tempat yang sama. Melihat jumlah pengunjung yang sekitar seribu orang, padahal poster publikasi tidak banyak dan ukurannya pun kecil-kecil, Bagong yakin bahwa eksperimen lanjutannya bakal ditonton lebih banyak orang. "Tapi ini bukan proyek komersial saya sama sekali tak mengharap keuntungan," katanya. Kalaupun kemudian pementasan ini punya pengaruh dari segi pariwlsata, semakin berbondong-bondong orang ke Parangtritis, baik sawo matang maupun bule, "Itu bukan tujuan pokok eksperimen saya," ujar Bagong. Padahal, sungguh, tak apa-apa. Putu Setia Laporan E.H. Kartanegara (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus