RUMAH tembok semi permanen itu berukuran 5 x 10 meter, terletak di Kampung Procot, Slawi, Kabupaten Tegal. Di situlah Susanto, pemenang tiga kali sayembara mengarang bahasa Indonesia tinggal. Terakhir, bulan lalu ia dinyatakan sebagai pemenang ketiga sayembara mengarang yang di selenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dengan hadiah Rp 330.000. "Rumah ini sebagian kami bangun dari uang lomba," kata guru bahasa Indonesia SMAN II, Slawi itu. Susanto, 35, termasuk guru bahasa Indonesia yang jarang. Sarjana muda bahasa Indonesia dari IKIP Negeri Semarang cabang Tegal ini tak hanya berupaya mengatur jam pelajaran sedemikian rupa hingga ia sempat memberikan pelajaran mengarang. Tapi, bapak dua anak ini pun menyempatkan diri menulis karangan. Dan itu bukan hanya karena ia sejak duduk di SMA sudah suka menulis. Tapi pun ingin memberikan contoh langsung kepada anak didiknya. Sebab, baginya mengarang bukan hanya penting bagi bidang studi Bahasa Indonesia. "Mengarang erat sekali kaitannya dengan pelajaran yang lain," katanya. "Lewat karangan itulah penalaran seseorang bisa dilihat." Itu sebabnya ia sangat menghargai Pit Puli, guru bahasa Indonesia SMA Negeri Bajawa, Flores, pemenang kedua sayembara mengarang tahun ini. "Dia sangat runtut penalarannya, dan pintar berfilsafat," kata Susanto. Karena itu, boleh disayangkan, sayembara mengarang untuk guru yang dibuka oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P & K tak mendapatkan antusiasme yang cukup. Tahun pertama dibuka, 1978, kegiatan yang setiap tahun diadakan ini memperoleh 300-an peserta. Kemudian tahun-tahun berikutnya jumlah pengirim naskah makin berkurang, dan tahun ini hanya ada 24 peserta. Padahal, menurut Yahya B. Lumintaintang dari Pusat Bahasa, banyak hal bisa diperoleh guru lewat sayembara ini. Susanto itu misalnya. Ia masih guru SMPN I, Slawi, ketika memenangkan sayembara mengarang untuk guru-guru SMTP. Pertama, 1981, dengan naskah Kegiatan Drama Nonformal, Suatu Upaya Peningkatan Apresiasi Drama, ia juara I. Tahun berikutnya, dalam naskah yang dikirimkannya, ia membahas peranan bahasa dalam meningkatkan penalaran mendapatkan hadiah kedua (juara pertama memang tak ada). Prestasinya ini membuat Kanwil P & K Jawa Tengah, pada 1982, mengangkat guru SMP itu menjadi guru SMA. Bagi orang Cir,ebon ini sendiri, setelah menang sayembara, ia merasa lebih mantap memberikan pelajaran kepada siswanya. Setidaknya ia merasa bahwa pelajarannya tak diremehkan. Sebab, seperti kata Zainuddin Fanani, guru bahasa Indonesia SMA PIRI Baciro, Yogyakarta, "Anak-anak cenderung meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia karena mereka merasa sudah bisa." Apalagi untuk pelajaran mengarang, "Banyak siswa mengganggap enteng," kata B. Marunduri, guru bahasa Indonesia di SMAN I, Jakarta. Maka, bila dalam ujian negara yang baru lalu hampir di semua SMA nilai Bahasa Indonesia termasuk terburuk kedua sesudah Fisika, justru di SMAN II Slawi termasuk terbaik kedua sesudah Pendidikan Moral Pancasila. Tulisan Susanto, menurut Yahya Lumintaintang, yang beberapa kali menjadi juri, memang termasuk di atas rata-rata. Dari segi isi karangan, bahasa, dan penyajian - segi yang dinilai juri - karangan guru satu ini terhitung bagus, terpilih, dan lancar dibaca. Ini bila dibandingkan dengan sejumlah karangan yang "antara judul dan isi naskah ternyata tak ada kaitannya". Mungkin karena merasakan sendiri manfaat keterampilan menulis, Susanto selalu berusaha agar siswa-siswanya berlatih mengarang. Mungkin dialah satu-satunya guru bahasa Indonesia yang dengan tekun membaca dan membetulkan kalimat-kalimat karangan siswanya. Bila perlu, ia akan memberi catatan singkat. Misalnya, struktur tulisan agar diubah. Bukan hanya itu. Susanto, bekas murid Piek Ardiyanto Supriyadi - guru SMA yang juga penyair yang sering diundang bila ada pertemuan sastrawan di Jakarta - juga memanfaatkan jalur ekstrakurikulum. Lewat majalah dinding, ia pun menganjurkan dan membimbing siswa-siswanya agar gemar menulis. Tak heran, bila rata-rata nilai ujian Bahasa Indonesia di sekolah Susanto tinggi. Sebab, hanya menggunakan jam yang tersedia, yakni tiga sampai empat jam pelajaran untuk kelas Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial, serta enam sampai tujuh jam di kelas Bahasa, belum cukup. Kurikulum 1975, kata Susanto, bagaikan spiral. "Materi bahasan Bahasa Indonesia diulang-ulang, padahal begitu banyak bahan, hingga siswa bosan." Rudianto, siswa kelas I SMA BOPKRI Yogyakarta mengakui bahwa pelajaran Bahasa Indonesia membosankan. "Dari zaman saya di SMP sampai SMA ini rasanya pelajaran ini kok hanya menentukan subyek dan predikat saja," kata siswa yang mendapat angka 6 untuk Bahasa Indonesia ini. Ia menyukai pelajaran mengarang, "Karena melatih berbahasa baik dan menambah pengetahuan." Sayangnya, pelajaran satu ini justru jarang diberikan. Tampaknya mengarang memang pelajaran mahal. Guru yang mengejar target menyelesaikan kurikulum biasanya mengabaikan pelajaran satu ini untuk menyelesaikan yang lebih penting. Artinya, penting agar siswa nanti dapat mengerjakan tes-tes belajar termasuk ujian negara - yang tanpa mengarang itu. Benar, seorang guru bahasa Indonesia tak perlu piawai menulis. Tapi tampaknya hanya guru yang merasakan langsung manfaat mengarang, seperti Susanto, akan berupaya mengajarkan pelajaran ini. Dan pihak Pusat Bahasa sebenarnya sudah membuka kesempatan agar guru pun mempunyai hobi menulis. Bambang Bujono Laporan Aries Margono (Yogyakarta) & Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini