Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boneka seperti itu bisa kita temukan di distro atau toko toys di mal besar. Ada yang murah, ada yang termasuk collectible item yang cukup mahal. Barang yang sehari-hari memang menghiasi kamar lima perupa muda yang berlatar belakang Institut Seni Indonesia itu: Iwan Effendi, 29 tahun, Terra Badjraghosa (27), Uji Hahan Handoko Eko Saputro (25) , Wedhar Riyadi (27), dan Decky Leos Firmansah (25).
Kurator Farah Wardhani mendatangi rumah masing-masing. Sebagian dari mereka masih menyewa rumah kontrakan di Yogya. Ia memilih barang di kamar mereka yang kira-kira bisa disajikan bersama. Dan di lantai satu Galeri Nadi kita melihat standar sebuah isi kamar anak muda: ada tempat tidur, rak, televisi, sofa, satu set stereo dengan koleksi kaset. Bedanya, rak-rak mereka berisi majalah subkultur, komik underground, dan novel grafis aneh.
Yang menarik adalah barang hobi mereka. Terra membawa semua koleksi patung mini superhero dan penjahat dalam komik Barat. Ada Spider-Man, Captain America, sampai sosok Umma Thurman mengenakan kostum olahraga kuning bergaris hitam tengah mengayunkan samurai. Ya, itu sosok Umma Thurman dalam film Kill Bill karya Quentin Tarantino. Tokoh Barat itu ditata sedemikian rupa di atas sebuah meja, menyerang dua superhero lokal kita Gundala dan Carok. ”Saya menyumbang patung musuhnya Ultra Men dan Joker,” kata Decky Leos Firmansyah. Barang milik Decky sendiri yang diboyong di situ adalah kotak obat yang dijadikan kotak kaset.
Akan halnya di meja lain Iwan Effendi menyajikan koleksi miniatur pesawat tempurnya. Selama empat tahun terakhir ia mengaku keranjingan item Perang Dunia II. Iwan juga menampilkan tiga boneka koleksinya. Ini bukan sekadar boneka beruang peneman tidur. Boneka-boneka itu berukuran setinggi manusia. Sosoknya tak jauh dari karakter boneka model puppet show, Sesame Street, atau pertunjukan Avenue Q di Broadway. Di mulut tangga Iwan memasang boneka tengkorak dengan jubah bulu cokelat. Boneka lainnya yang seperti orang sakit-sakitan didudukkan di sofa, dan yang seperti Pinokio diberdirikan di samping lemari kaca. ”Ketiga boneka ini saya buat sendiri,” ujar Iwan, yang sebentar lagi bakal ke Amerika Serikat untuk workshop teater boneka.
Di ruang itu, kita juga bisa melihat ada gantungan baju. Yang dicantelkan adalah custom milik Uji Hahan Handoko, yang biasa digunakan dalam pertunjukan musiknya. Uji memiliki band bernama Black Ribon dan Punkasila. ”Saya bagian MC dan rapper,” katanya. Tapi barangnya yang paling menarik adalah duplikat iklan film ”panas” yang merajai bioskop pada 1980-an. Lukisan di atas kain itu menampilkan adegan hot. Kita tak tahu apakah film itu dibintangi Sally Marcelina, Inneke Koesherawati, Eva Arnaz, Yenni Farida, atau Eny Beatrice—para bomb sex tahun 1980-an. Pasalnya, nama aktor dalam poster itu diganti nama Uji sendiri bersama kawan-kawannya. Judulnya juga lebih saru: New Cock On The Block.
Perupa Wedhar Riyadi memajang sebuah gambar sepasang pria dan wanita separuh baya. Entah itu gambar orang tuanya atau bukan. ”Ini lukisan pertama saya,” ujar Wedhar. Sebuah karya yang jauh sekali dengan karyanya sekarang. Karya pertamanya itu seperti lukisan potret pelukis jalanan di Malioboro. Sebuah kaligrafi Arab bertulisan lafal Tuhan ikut ditempel di dinding. Tak lupa ia sertakan piala Academic Art Award, the Young Artist for Painting—penghargaan yang baru diperolehnya tahun lalu.
Awal karier berkesenian kelima perupa ini adalah komunitas komik Daging Tumbuh yang digagas oleh perupa Eko Nugroho. Kesamaan visi dan hobi membuat barang mereka dapat digabung secara kolektif. Persoalannya, cara mereka menyajikan tidak menampilkan efek yang mendalam. Banyak barang yang dicantelkan tidak berbunyi.
Beranjak ke lantai dua, pengunjung dapat menikmati karya lukis mereka. Karya yang ditampilkan tidak berbeda jauh dari pameran mereka sebelumnya. Terra Badjraghosa dikenal suka memungut foto perempuan. Di sekelilingnya lalu ia tambahkan gambar-gambar tangan robotik. Di pameran ini ia menampilkan sosok dua gadis berkebaya dari iklan majalah tahun 1980-an. Tubuh gadis berkebaya itu ia tambahi dengan coretan kostum ala manusia luar angkasa. Wanita-wanita itu memegang pistol. Ia beri judul: Kebaya Intergalactic.
Sedangkan Wedhar, yang gemar akan film horor klasik, kerap menampilkan gambar anak kecil ketakutan di tengah tokoh menyeramkan. Dalam Take It Or Leave It ia menampilkan anak itu di antara Frankenstein. Dalam Bang Bang Beast di tengah werewolf. Yang paling menarik adalah karya Decky. Ia mengeksplorasi wajah manusia berparas anjing buldog. Manusia buldog itu sosok manusia penyulut chaos. Digambarkan ia mengendarai mobil melempar molotov menghancurkan kota.
Kurator meminta agar untuk menilai mereka pengunjung menerapkan standar apresiasi baru. Sebetulnya tidak ada yang baru benar dari karya mereka. Karya mereka memang menyegarkan. Mereka generasi paling anyar di Yogya yang mencampuradukkan dunia vintage toys, sci-fi movie, fashion, animasi, komik. Dan masing-masing mampu menghasilkan style berbeda. Betapapun, kreasi mereka tak lepas dari ancaman membosankan, karena banyak pengulangan dengan formula yang sama.
Gagasan menyatukan barang pribadi mereka itu, misalnya. Gagasannya menarik, sayangnya lebih mengagetkan bila kita masuk toko toys beneran yang penataannya sering penuh kejutan. Banyak kamar lain yang bukan milik seniman malah memiliki collectible item yang lebih ”gila” dan lebih iseng.
Hal lain yang dapat dibaca adalah minimnya ruang mereka dari persoalan personal. Kita tak dapat menemukan jejak problem, kegelisahan yang disembunyikan atau ditutup-tutupi. Kadang salah satu shock karya seni adalah bila karya itu mampu membocorkan ruang privat ke publik yang lebih luas. Publik terkejut dengan kejujuran yang disampaikan oleh sang seniman. Publik terkejut karena pengalaman personal itu sesungguhnya juga mereka miliki. Tapi di situ kita tak menemukan sesuatu dari entah itu email, chatting di Facebook yang personal, bon pembelian bermasalah, bahkan seprai pun sangat bersih, sama sekali tak kusut seolah tidak pernah digunakan bercumbu.
Semua barang di situ ditata rapi, tertib, seolah-olah anak muda ini anak mama yang punya banyak duit untuk membeli aneka barang demi hobi. Bahkan botol-botol bir ditata necis. Alhasil, ruang steril. Boneka ala Muppet, sepatu sport, seprai kuning menyala dan motif polkadot hitam, poster, menjadi sekadar pajangan, display sebuah outlet.
Seno Joko Suyono, Sita Planasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo