UNTUK sedikit menggambarkansituasi sebenarnya dari kegiatan
musik akustik di Yogya, inilah pendapat tiga orang juri.
Deded R. Moerad, penulis kebudayaan lokal, sering main musik
akustik.
Sebenarnya di Yogya ini cukup banyak potensi. Tapi kadang timbul
kesulitan, terutama kalau mau mengembangkan grup dari anak
sekolah. Misalnya grup yang juara terdiri dari anak-anak kelas
tiga -- nah, untuk melanggengkan prestasi mereka, sulit. Sebab
setelah lulus belum tentu masih di Yogya.
Kenapa potensi Yogya tak pernah ketahuan, ya lantaran anak-anak
sini tidak ngoyo (berusaha gigih dan serakah) untuk jadi top.
Edvan Ness, dosen Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogya.
Saya lihat banyak kemajuan sekarang, setidaknya dibanding empat
tahun lalu. Dulu semuanya masih terjebak dalam peniruan.
Sekarang masing-masing grup sudah mampu mempunyai ciri sendiri,
walaupun di sana-sini peniruan masih ada. Musik akustik saya
yakin makin banyak penggemarnya. Sebab terasa lebih akrab
dibanding yang elektronis. Di Amerika saya lihat kecenderungan
lebih suka jenis akustik begini lantaran kesadaran ekologi.
Walaupun msik ini tak pernah mati, tapi pernah mengalami
kekendoran ketika elektronik menyerbu.
Dan pemanfaatan alat-alat tradisionil daerah asal, di samping
gitar, bagi saya menarik. Contohnya yang dicoba Reze pada
festival kemarin.
Sapto Rahardjo, sesepuh The Pads.
Banyak kreasi baru muncul. Tapi saya sayangkan ide dan
kreativitas belum didukung kemampuan teknik yang baik. Jika
sudah, saya yakin bisa mendukung perkembangan musik akustik di
Yogya lebih kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini