Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah instalasi yang terdiri atas tiga layar video dipajang di ruang gelap di Lisson Gallery, London. Video instalasi bertajuk The Airport itu merupakan karya John Akomfrah, 58 tahun, perupa dan sineas terkemuka asal Ghana, Afrika, yang bermigrasi ke Inggris. The Airport adalah satu di antara tiga video instalasi karya Akomfrah yang dipamerkan di galeri itu sejak akhir Januari lalu hingga 12 Maret mendatang. Pameran itu merupakan bagian dari proyek panjangnya untuk membangun narasi besar tentang situasi diaspora dan pasca-kolonial.
Persoalan menuliskan kembali sejarah, terutama dari kacamata mereka yang terpinggirkan, memang menjadi bagian penting dalam kerja intelektual dan gerakan kebudayaan secara umum. Upaya menuliskan kembali tema sejarah, dengan dimensinya yang sangat luas—misalnya perang, kolonialisme, migrasi, dan kekerasan—berharga karena ia memberi ruang pada subyektivitas dan individu-individu yang sebelumnya tersembunyi.
Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer, misalnya, perlahan dibicarakan. Film mengenai pelaku pembantaian mereka yang dianggap kiri di Medan ini kini dipertontonkan di berbagai festival internasional serta didiskusikan di berbagai universitas dan forum terbuka.
Dalam konteks inilah pengalaman menonton karya Akomfrah menjadi relevan. Sebagai pembuat film, dia dikenal dengan keterlibatannya yang kuat pada tema identitas, diaspora, dan situasi pasca-kolonial. Ia telah menerima berbagai penghargaan bergengsi di festival-festival film di seluruh dunia—menjadikannya sebagai sutradara dokumenter paling terkemuka. Ia membuat beberapa proyek film yang menarasikan perjuangan kulit hitam di berbagai belahan dunia, termasuk proyeknya tentang Malcolm X, Martin Luther King, dan Louis Armstrong.
Selain menjadikan tema tentang "sang liyan" ini sebagai narasi utama dalam filmnya, Akomfrah sendiri secara aktif membangun skena film alternatif di London, memperkenalkan film-film dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bagi Akomfrah, sangat penting memperkenalkan sejarah dunia dari berbagai sudut pandang.
Dalam The Airport, Akomfrah merujuk pada karya Stanley Kubrik dan Theo Angelopolous. Karya ini dibuat di sebuah bandar udara yang hampir kosong di Yunani dan beberapa gedung bekas perang yang nyaris runtuh. Film berdurasi 40 menit ini berjalan dengan ritme yang cukup lamban dan tanpa kata. Tapi, sebagaimana beberapa karya Akomfrah sebelumnya, kita disuguhi gambar-gambar indah yang membuat kita betah di depan layar. Kita seperti diajak berdialog dengan waktu dan dengan gambar yang diam.
Dalam karya ini, Akomfrah tidak secara langsung membicarakan diaspora atau pasca-kolonial, tapi justru mendasarkannya pada yang paling mula: tentang pertemuan, perpisahan, dan perpindahan. Dia juga tertarik membicarakan kosmologi. Dalam The Airport, sebagaimana karya Kubrik, ada tokoh dari luar angkasa tampil membangun dialog tentang dunia masa lalu, masa kini, dan masa depan. Beberapa adegan menjadi sangat puitis ketika astronaut ini mendatangi reruntuhan bangunan bekas perang.
Dari karya The Airport, kita bisa pindah ke ruangan lain, yang menampilkan karya Auto Da Fe—yang berarti "Tindak Keyakinan" (Acts of Faith)—yang terdiri atas dua layar video. Masih seperti The Airport, karya ini berangkat dari ide tentang migrasi, tapi dari sudut pandang agama. Video ini diproduksi di Barbados, negara kecil jajahan Inggris dengan masyarakat aslinya yang dekat dengan keyakinan animisme. Dengan datangnya agama baru dari Barat, situasi masyarakat berubah, dan sekarang ini menjadi lebih kompleks dengan adanya pengungsi dari Mali atau Timur Tengah.
Karya terakhir adalah Tropikos, yang lebih mempunyai struktur narasi dibanding dua karya awal. Dalam Tropikos, Akomfrah semacam merekonstruksi kembali awal mula kolonialisme dari sebuah aliran sungai. Sebagian besar dari video ini mengambil setting di Plymouth Sound, tempat banyak ekspedisi besar ratusan tahun lalu bermula. Akomfrah juga mengambil gambar di beberapa area di Guinea dan Sierra Leone. Sepanjang video, digambarkan suasana di dalam sebuah perahu kecil yang penuh buah tropis untuk menggambarkan eksotisme yang mendorong bangsa-bangsa Barat menjelajah.
Seorang tokoh perempuan Barat digambarkan muncul dengan kostum ala Elizabeth yang glamor. Pertemuan pendatang dan penduduk lokal, perdagangan, serta pertukaran pengetahuan merupakan bagian dari senjata kebudayaan dalam kerangka kolonialisme. Bagian akhir dari video ini terasa sureal ketika Akomfrah membawa penjelajahan perahu kecil ini ke Inggris modern, dengan gedung-gedung industrial yang dibangun justru dari uang yang didapatkan dari penjajahan tersebut.
Selain melihat ketiga video instalasi yang dipajang di Lisson Gallery ini, saya pernah berkesempatan menonton beberapa karya Akomfrah yang lain. Dua yang paling berkesan di antaranya Vertigo Sea, yang menjadi karya penting dalam Venice Biennale 2015, dan The Stuart Hall's Project, yang ditampilkan dalam Sharjah Biennale 2013. Seperti yang saya sebutkan di awal, hampir semua karya Akomfrah merujuk pada narasi besar tentang migrasi, diaspora, dan kolonialisme. Dua karya terakhir yang saya sebut terasa lebih epik daripada karya terbarunya di Lisson Gallery, terutama karena keduanya terasa membicarakan peradaban dalam kerangka yang lebih luas. Akomfrah sesekali meminjam referensi dan footage dari beberapa dokumentasi legendaris, seperti dari BBC, National Geographic, dan beberapa sumber gambar lain.
Yang menarik dari karya-karya Akomfrah adalah bagaimana ia juga menjejalkan berbagai macam referensi atas sastra, musik, politik, dan teori. Saya beruntung sempat menghadiri diskusi dengan Akomfrah ketika ia menyebutkan bahwa referensi-referensi ini penting baginya untuk membangun sebuah arkeologi pengetahuan. "Saya telah melakukan banyak hal dalam praktek membuat film, tapi sesungguhnya yang terpenting bagi saya adalah bagaimana narasi yang saya bangun, dengan segala kompleksitasnya, menjadi bagian dari sebuah filsafat," katanya.
Dalam penelusurannya atas sejarah kolonialisme di berbagai dunia, fokus utama Akomfrah tetaplah apa yang berlangsung dalam sejarah Afrika. Bagi Akomfrah, ke mana pun ia melangkah, pertanyaan-pertanyaan awal tentang Afrika yang menjadi titiknya berpijak. Ia menabrak-nabrakkan fiksi dan fakta sejarah di sana-sini, memasukkan referensi teks dan filsafat melalui simbol dan ikon, yang menurut dia adalah sebuah cara membangun teknik bercerita. Meski demikian, ketika kita menyaksikan karya videonya, "teknik bercerita" ini tidak terlalu tampak. Ia seperti bersembunyi melalui gambaran yang lebih abstrak.
Pengalaman saya sendiri, saya lebih banyak mengikuti alur gambar yang memberi saya cara untuk terhubung dengan simbolnya ketimbang bangunan narasi tertentu. Saya ingin memasuki pemikiran tokoh-tokohnya dan membangun dialog saya sendiri dalam citra gambar gerak yang diam. Kombinasi atas kemampuannya membentuk narasi dari berbagai referensi, imajinasi yang kaya, serta sikap politiknya yang tegas dalam sejarah Afrika saya kira menjadi tiga poin yang menempatkan karya John Akomfrah menjadi sebuah karya rupa yang signifikan pada masa kini.
Setelah menyaksikan beberapa seri karya John Akomfrah, saya membayangkan bisa memandang dan membicarakan isu diaspora dan pasca-kolonial ala masyarakat Indonesia dalam film-film dalam negeri. Belakangan, ada film semacam Soekarno, Sang Kiai, dan beberapa lainnya, yang memang dibuat dengan format biopic, yang saya kira berupaya juga membicarakan persoalan kolonialisme.
Sayangnya, hampir semua film ini dibuat dengan semangat ditonton publik yang banyak, sehingga dibuat sederhana, nyaris terlalu mudah, dan berakhir hanya sebagai cerita. Belum ada eksperimentasi yang sungguh-sungguh untuk melihat soal-soal penjajahan, relasi kuasa antarbangsa, migrasi, identitas, dan perpindahan sebagai sebuah ruang pertemuan antara yang subtil dan yang menggertak, yang personal dan yang universal, yang eksotis dan yang kritis, serta berbagai ruang antara lain. Karya-karya John Akomfrah penting menjadi referensi untuk mempertanyakan situasi kosmopolitanisme dan pasca-kolonial yang sekarang nyaris dianggap terberi.
Alia Swastika, Pemerhati Seni (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo