Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Art Summit Indonesia 1995 rekaan Direktur Jenderal Kebudayaan Edi Sedyawati berusaha keras mendatangkan Odin Teatret dari Denmark di bawah pimpinan sutradara kondang Eugenio Barba untuk mengadakan pementasan dan diskusi dengan tokoh Indonesia, seperti Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Abdul Syukur, Bagong Kussudiardjo, dan Sardono W. Kusumo, tapi dia menolak datang karena berbagai kesibukan dengan produksinya di Denmark dan negara lain di Eropa. Pada usianya yang ke-52, Odin Teatret telah memproduksi 76 karya teater yang dipentaskan di 63 negara dengan konteks sosial dan budaya yang berbeda.
Bulan ini Eugenio Barba bersama 11 aktor dan aktris dari Odin Teatret, yang menyelenggarakan penelitian dan lokakarya drama tari Gambuh di Desa Batuan, Gianyar, tiba-tiba saja terinspirasi memberikan workshop dan pementasan untuk komunitas teater modern di Bentara Budaya Bali.
Eugenio Barba, yang mendirikan Odin Teatret pada 1964 dan menemukan ISTA, International School for Anthropology, pada 1979, sangat tertarik mendalami teknik dan tradisi teater Asia, termasuk Bali, setelah membaca buku Theatre and Its Double karangan Antonin Artaud (1936, 1958). Antonin Artaud, dramawan dan bintang film Prancis dari Marseilles, Prancis selatan, terkesima menyaksikan pementasan teater Bali pada 1931 di Paris Colonial Exhibition. Misi Kesenian Bali itu dipimpin Tjokorda Gde Raka Soekawati, punggawa Ubud, menampilkan drama tari Calonarang, Legong Keraton, Janger, dan Topeng. Pementasan Calonarang atau Janda dari Desa Girah secara khusus memberi inspirasi kepada Antonin Artaud untuk menggugat teater Barat yang produksinya selalu berfokus pada sebuah teks seperti teater Shakespeare, Edmund Kean, dan John Fletcher.
Dia menciptakan sebuah bentuk teater occidental (modern) dengan mengeliminasi dominasi teks dan mengutamakan spektakel seperti yang disaksikan dalam drama tari Calonarang. Teater Bali itu merupakan sebuah bentuk teater total yang menggunakan dialog, tarian, nyanyian, kostum, topeng, pantomimik, dan iringan gamelan yang memukau. Pementasan teater Bali tidak dibatasi sekat-sekat pembabakan, tapi dilakukan dengan adegan-adegan yang mengalir dari satu ke yang lainnya, serta ditampilkan dalam pentas yang komunal dan intim. Itulah yang menggugah Antonin Artaud untuk menciptakan teater modern dan sampai saat ini aliran pemikiran itu diikuti oleh generasi teater kontemporer di dunia Barat, termasuk Odin Teatret.
Nama Eugenio Barba kini terkenal dalam panggung teater internasional karena keberhasilannya mengembangkan gagasan-gagasan Theatre for Anthropology melalui penerbitan-penerbitan yang digunakan sebagai referensi pelajaran teater di berbagai perguruan tinggi di dunia. Salah satu bukunya yang sangat populer berjudul A Dictionary of Theatre Anthropology: The Secret Art of the Performer (Sebuah Kamus Teater Antropologi: Rahasia Seni dari Pelaku Teater). Buku setebal 320 halaman yang diterbitkan oleh Routledge dari London dan New York ini berintikan berbagai teknik dalam teater, seperti anatomi tubuh, keseimbangan, ekspresi muka, energi, posisi kaki dan tangan, teknik mengembangkan tubuh, teknik melatih, nostalgia, restorasi watak, historiografi, teks, dan stage. Teater Antropologi tidak menekankan studinya pada fungsi dan makna teater dalam masyarakat, tapi pada teknik, keterampilan, dan estetika teater dalam suatu kebudayaan tertentu. Buku yang dilengkapi dengan gambar, sket, dan potret ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh komunitas Teater Garasi Yogyakarta dan penerbitannya telah disetujui oleh Eugenio Barba.
Dalam pementasan di Bentara Budaya Bali pada 6 Februari lalu, Odin Teatret menampilkan sebuah monolog yang dimainkan oleh aktris Julia Varley, dan penampilan itu langsung disutradarai oleh Eugenio Barba. Adapun monolog yang dipentaskan berjudul Ave Maria, yang menggambarkan kehidupan seorang aktris Italia yang bermigrasi ke Cile, Amerika Latin, bernama Maria Canepa. Barba merasa bangga karena seorang aktrisnya mengekspresikan kecintaannya kepada aktris lain dengan membawa dia hidup kembali dalam sebuah teater.
Maria Canepa meninggal pada 27 Oktober 2006 di Santiago, Cile, akibat serangan alzheimer. Lahir di Italia utara pada 1 November 1921, pada umur empat tahun dia mengikuti orang tuanya bermigrasi ke Cile. Sejak masa anak-anak, dia menunjukkan bakat resital dan menyanyi yang sangat unik. Maria memperoleh tugas utamanya sebagai aktris pada Teatro Experimental di Universitas Cile, mementaskan lebih dari 50 produksi, dan sering berperan sebagai tokoh protagonis. Pada saat bersamaan, dia menghidupi dirinya bekerja sebagai pekerja sosial, sampai saat suami pertamanya, seorang sutradara, Pedro Orthous, memberi keyakinan dirinya. "Ada banyak sekali pekerja sosial yang baik, tapi hanya ada beberapa orang aktris yang bagus," ujar suaminya. Maria berkeinginan memiliki seorang anak. Kendatipun telah berusaha bertahun-tahun, dia tak pernah juga hamil. Inilah sebuah tragedi dalam hidupnya.
Pada 1971, Maria dan Pedro Orthous membangun Teatro del Nuevo Extremo, yang menampilkan pergelaran untuk para pekerja sosial di pinggiran Kota Santiago. Kudeta militer pada 1973 dan pemerintah diktator Presiden Augusto Pinochet memaksa mereka berhenti bermain. Karena kepiawaian dan kecerdasannya berkomunikasi dengan pihak pemerintah, akhirnya dia diizinkan pentas lagi. Sesudah kematian suaminya pada 1974, Maria bermain untuk komunitas teater milik sebuah universitas Katolik. Tiga tahun kemudian, dia bertemu dengan Juan Cuevas, aktor yang 30 tahun lebih muda. Cuevas menjadi teman hidupnya yang baru.
Pada 1982, Maria membangun Teatro Q bersama Juan Cuevas, Hector Nuguera, dan Jose Pineda, kemudian pada 1992 mendirikan sebuah pusat kebudayaan untuk melatih anak-anak muda dari daerah miskin, dan sebagai sebuah laboratorium komunitas pekerja. Dia menerima National Award for Art pada 1999. Pada umur 78 tahun, sesudah 20 tahun hidup bersama, dia menerima Juan Cuevas sebagai suaminya, yang telah berkali-kali melamarnya. Dia pandai memasak dan pada 2003 membuka sebuah restoran Italia, bernama La Canepa.
Tokoh kesukaannya adalah Laurencia of Fuenteovejuna, organisasi pertunjukan Municipal Theatre dengan aktris lebih dari seratus orang. Di sisi lain, dia sangat kritis terhadap perannya sebagai Lady Macbeth, karena dia merasa bahwa penampilannya tidak cukup bergairah. Keterlibatan Maria Canepa pada teater yang terakhir adalah bersama Pacific Ocean, yang sangat sempurna. Saat penguburannya, sementara suami dan teman-temannya menebar abunya ke laut, tiba-tiba ombak deras menghanyutkan seluruh keberadaannya.
Biografi ini ditransformasikan ke dalam sebuah teater dengan adegan-adegan seperti Embrace of Illusion, memeluk dan menghidupkan nyawa Maria Canepa yang menggambarkan pengalaman Maria Canepa mengkritik pemerintahan diktator Presiden Pinochet yang mengakibatkan mereka dilarang pentas. Peristiwa itu menjadi ilusi yang senantiasa menghidupkan sebuah pementasan teater: Wedding of Maria, penggambaran pernikahan Maria dengan suaminya, Pedro Orthous, yang memberikan dia kecakapan bermain teater, sedangkan Juan Cuevas yang memberikan kewibawaan dalam hidupnya; Maria's Voice menunjukkan kehebatan Maria mengolah suara; Killing Time, menanti kematian seorang tokoh teater; Neti-neti, kemampuan Maria dalam berakting dan menafsirkan ritme musik untuk menyatu dengan Tuhan; Angles, bertemu dengan para bidadari yang mengawal kepergian sang seniman ke dunia fana.
Semua adegan itu ditampilkan dalam bentuk Breaden Puppet, sejenis ondel-ondel Jakarta yang menggunakan tengkorak, setengah manusia dan setengah hantu. Figur itu diberi nama Mr Peanut dan mampu mengantar bahwa "Kematian itu terasa sunyi: Sebuah upacara untuk aktris Maria Canepa". Dengan kemasan panggung, dekorasi, dan lampu yang sederhana, pertunjukan Odin Teatret tampil magis dan memukau.
Pada sesi diskusi setelah pementasan, Jean Coteau, pengamat seni rupa modern dari Prancis yang tinggal di Bali, menyatakan bahwa perasaannya sangat tersentuh menyaksikan pergelaran itu, kendatipun dia tak pernah membaca tragedi Maria Canepa, yang diangkat menjadi tema pergelaran itu. Adapun Putu Satria, penulis naskah dan pemain teater dari Singaraja, merasa kaget ketika lampu padam di tengah-tengah pergelaran, sang aktris, Judy Varley, mampu berimprovisasi sehingga kontinuitas pergelarannya dapat dipertahankan dengan sempurna dan pertunjukan mencapai taksu (kharisma). Menutup sesi dialog malam itu, Eugenio Barba berpesan kepada seniman teater modern agar bekerja keras, berdisiplin, banyak belajar, penuh pengabdian, dan berkomitmen tinggi menciptakan naskah baru, karena hanya seniman yang cerdas yang bisa berhasil dalam kariernya.
I Made Bandem, ahli etnomusikologi dan mantan Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo