Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Memori Diskriminasi Keturunan Tionghoa

F.X. Harsono menyuguhkan kisah pilu diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa. Hadir lewat lukisan, instalasi, hingga dokumen. 

 

17 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran tunggal FX Harsono berjudul 'Spinae | Duri' di Baik Art, Jakarta Selatan, 7 September 2023. TEMPO/Indra Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perupa F.X. Harsono menggelar pameran bertajuk Spinae Duri di Baik Art hingga 8 Oktober.

  • Diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa dari masa kolonial hingga pasca-kemerdekaan menjadi tema kuat. 

  • Arsip dan dokumen lawas menjadi obyek karya F.X. Harsono. 

Sebuah patung berbentuk mahkota duri berdiameter 120 sentimeter menjadi penyambut tamu di ruang pameran dan galeri seni Baik Art, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Patung berbentuk lingkaran berkelir putih itu dipasang menempel di dinding berwarna serupa. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkat pengaturan cahaya yang tepat, mahkota duri dan tembok yang sama-sama berwarna putih tampak anggun dan berkarakter. Patung berbahan resin berjudul Crown of Thorn itu menjadi pembuka pameran tunggal perupa F.X. Harsono bertajuk “Spinae Duri”. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duri dan mahkota duri muncul di banyak karya Harsono dalam pameran tunggalnya yang berlangsung pada 25 Agustus-8 Oktober itu.

Tema mahkota duri muncul lagi dalam lukisan Harsono berjudul Land-Pas/Surat Jalan/Travel Document. Lukisan cat akrilik di atas kanvas berukuran 75 x 150 sentimeter itu menampilkan dua sisi. Bahkan sekilas seperti dua lukisan yang digabung menjadi satu.

Lukisan berjudul Land-Pas/Surat Jalan/Travel Document karya perupa FX Harsono. TEMPO/Indra Wijaya

Pada sisi kiri, Harsono melukis sebuah surat dokumen berjudul Land-Pas atau surat jalan. Surat jalan adalah dokumen yang dikeluarkan pemerintah Kerajaan Belanda saat masih menjajah Indonesia. Surat jalan menjadi semacam izin bagi orang-orang Cina yang tinggal di Indonesia. 

Pada sisi kanan lukisan, Harsono melukis sebuah foto tiga perempuan keturunan Cina yang tinggal di Indonesia. Mereka memakai pakaian khas Negeri Tirai Bambu. Separuh mahkota duri menghiasi bagian atas lukisan. 

Mahkota duri kembali ditampilkan Harsono dalam dua instalasi seni berjudul Reflection of Suffering dan Precious Suffering. Pada kedua karya itu, Harsono meletakkan lembaran dokumen lama milik orang keturunan Tionghoa. 

Pada karya Reflection of Suffering, ia menampilkan dokumen semacam kartu identitas perempuan bernama Tjioe Bek Nio, lahir pada 15 Juni 1036. Adapun dalam karya Precious Suffering, ia menaruh dokumen semacam akta lahir dengan foto seorang bocah laki-laki. Persamaannya, Harsono menaruh mahkota duri yang terbuat dari logam berwarna hitam legam. 

Dua instalasi seni karya FX Harsono. TEMPO/Indra Wijaya

Bagi Harsono, yang seorang penganut Kristiani, mahkota duri punya arti mendalam. Menurut dia, mahkota duri merupakan lambang penghujatan, stigma, dan kejahatan. Sebagai bukti, sebelum disalib, Yesus Kristus dipaksa mengenakan mahkota duri sebagai penghujatan. 

“Penempatan mahkota duri di atas arsip-arsip itu seperti memperlihatkan stigma atau olok-olok,” kata pria berusia 80 tahun itu.

Ada pula seni instalasi karya Harsono yang ditampilkan di sebuah ruangan khusus berukuran sekitar 3 x 3 meter berjudul The Irony Sticks Out. Bagian di sekitar instalasi tersebut berbentuk seperti potongan-potongan batang kayu berduri yang dibuat melayang. 

Potongan-potongan batang berduri itu dibuat dari pipa transparan dan diberi lampu LED bercahaya putih terang. Menariknya, batang-batang berduri nan bercahaya itu berdiri di atas selembar karpet yang dianyam hingga mirip selembar dokumen kependudukan seorang perempuan keturunan Tionghoa. 

Karya instalasi seni berjudul The Irony Sticks Out dalam Pameran tunggal FX Harsono berjudul 'Spinae | Duri' di Baik Art, Jakarta Selatan, 7 September 2023. TEMPO/Indra Wijaya

Menurut Harsono, instalasi seni tersebut melambangkan perjuangan orang-orang keturunan Cina yang mendapat tekanan keras nan bertubi-tubi. Meski begitu, mereka masih bisa berkarya dan memberikan manfaat besar bagi orang lain di sekitarnya. 

Pameran tunggal “Spinae Duri” menjadi refleksi praktik diskriminasi yang dialami orang-orang keturunan Cina yang tinggal di Indonesia sejak puluhan tahun sampai ratusan tahun lalu. Bahkan, faktanya, diskriminasi tersebut masih terjadi hingga masa reformasi. Dokumen-dokumen lawas yang disajikan dalam pameran kali ini adalah koleksi pribadi Harsono.

Pria kelahiran Blitar itu mengaku mengoleksi benda dan dokumen orang-orang keturunan Cina sejak tujuh tahun lalu. Dokumen tersebut ia dapatkan dari penjual dan kolektor lain di media sosial Facebook. Dari dokumen-dokumen tersebut, Harsono mengaku semakin tertarik menyelami sejarah dan fakta identitas orang-orang keturunan Cina yang tinggal di Indonesia. 

Salah satu dokumen yang menarik, menurut dia, adalah surat izin jalan tahun 1890. Dokumen itu dikantongi oleh seorang keturunan Cina yang tinggal di Rembang, Jawa Tengah. Adapun surat izin itu hanya memperbolehkan sang pemegang surat bepergian sampai Blora, Jawa Tengah. 

“Ada pula dokumen zaman penjajahan Jepang yang berupa dua kartu identitas semacam KTP untuk orang Tionghoa,” kata dia.

Sejumlah arsip lama yang dikumpulkan FX Harsono dan menjadi tema utama pameran tunggalnya. TEMPO/Indra Wijaya

 

Selain mengumpulkan dokumen, Harsono mengoleksi berbagai benda, seperti sisa ukiran kayu yang ada di rumah-rumah orang keturunan Tionghoa di Lasem, Jawa Tengah. Potongan-potongan ukiran kayu itu ia rangkai menjadi replika perahu kayu sepanjang hampir 2 meter. Karya itu ikut disajikan dalam pameran tunggal kali ini dengan judul Traces of Historical Journeys

Di atas perahu, Harsono memasang puluhan lilin listrik serta tiga ornamen motif batik Megamendung khas Cirebon. Selain itu, terdapat karpet berkelir merah terang di bawah perahu. Karpet tersebut memiliki gambar dewa-dewi yang biasa menghiasi klenteng. 

Menurut Harsono, perahu merupakan lambang perjalanan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Proses perpindahan ini, kata Harsono, membawa serta kebudayaan mereka, seperti ritual spiritual. Karena mereka berbaur dengan masyarakat lokal, terjadilah percampuran budaya. 

Instalasi seni Traces of Historical Journeys. TEMPO/Indra Wijaya

Kurator pameran, Hendro Wiyanto, mengatakan struktur tiga kata nama orang Tionghoa bisa dipakai untuk memaknai lapisan representasi karya Harsono. Lazimnya nama orang Tionghoa yang memakai tiga kata. Kata pertama adalah nama marga atau keluarga. Adapun kata kedua dan ketiga merujuk pada nama generasi dan nama diri. 

Lapis pertama, Harsono menghadirkan materi arsip atau pengolahan atas materi arsip tersebut. Adapun lapis kedua adalah simbolisme. Karya-karya dalam pameran ini menampilkan obyek berupa perahu, mahkota, dan potongan kayu berduri. Menurut Hendro, simbolisme dalam karya Harsono bermakna sekaligus berjarak. Simbolisme tersebut umumnya puitis justru karena ditampilkan bukan sebagai bentuk utuh dengan ungkapan repetitif. 

Bagi Harsono, kata Hendro, ketidakutuhan justru memiliki makna, seperti halnya simbol yang tak serupa atau tidak identik dengan apa yang disimbolkan. “Obyek-obyek simbolisnya memperoleh peran puitis dan sembada, seperti teks yang menandai makna generasi dalam tiga patah nama orang Tionghoa,” kata Hendro.

Adapun lapis ketiga mengacu pada jati diri. Pada lapis ketiga ini, Harsono menampilkan imajinasi artistiknya. Imajinasi ini, kata Hendro, merupakan harapan dan testimoni Harsono sebagai seniman. Termasuk pemaknaan subyektif atas aspek-aspek material karyanya. “Imajinasi Harsono menampilkan unsur awang-awang yang tampak lebih leluasa yang menaungi simbol-simbol perjalanan.”   

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus