Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Memori-memori Hanafi

Pelukis abstrak Hanafi menggelar pameran besar di Galeri Nasional Jakarta. Sebuah pameran yang bakal diusung ke Barcelona.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPADA Hanafi, pada tahun 1990-an awal, penata panggung (alm) Roedjito pernah membi­carakan soal ”religi” dalam kan­vas. Tokoh yang disepuhkan dalam dunia teater dan tari itu mendiskusikan bagaimana kedalaman bisa muncul dari sebuah lukisan.

”Lukisan yang baik itu tidak dijadikan, tapi apa yang terjadikan.” Kata-ka­ta Roedjito itu menjadi titik yang menentukan dalam hidup Hanafi. Wak­tu itu ia tengah goyah. Bekerja sebagai de­­sainer di sebuah perusahaan iklan, pro­ses kreatifnya serba kompromi. Seba­gai pelukis abstrak, itu seperti mematikan daya spontanitasnya. Ia bimbang untuk kembali ke kanvas. Apalagi saat itu dunia lukisan Indonesia cenderung ramai dengan tema sosial. Perjumpaannya de­­ngan Roedjito memompa semangatnya kembali. Pada 1997, sebuah lukisan abstrak­nya masuk nominasi kompetisi Phillip Morris.

”Bisa dibilang saya lahir dari Roedji­to,” kata Hanafi. Ia ingat, Roedjito se­ring datang ke rumahnya, berdiskusi sembari menyantap sup buatan istri Hanafi. Bahkan, bila Ramadan, perbincangan akan sampai sahur dan Roedjito pasti pulang membawa serantang sup. Roedjito selalu menekankan perbedaan antara lukisan yang didesain dan tidak. Seorang pelukis, apalagi abstrak, seharusnya memburu kejutan tak terduga. Apa yang terekspresi di kanvas sejati­nya bukanlah milik pelukis.

Hanafi gelisah mendengar ucapan­-ucap­an ini. Menurut dia, Roedjito mem­be­rinya sebuah jendela. ”Mbah Djito ju­ga selalu mengatakan harus ada ke­pri­hatinan hidup dalam kanvas. Lu­­kis­­an tan­pa keprihatinan adalah omong ko­song.”

Pada 1997 ia mulai menemukan pola kerjanya. Hanafi lalu dikenal sebagai se­orang pelukis abstrak de­ngan ukur­an be­sar-besar. Lukisannya sering me­­nampilkan permainan ruang de­ngan kompo­sisi yang ”aneh”. Kanvas, mi­sal­­nya, di­blok gradasi warna hitam lalu hanya ada seleret lelehan coke­lat keemasan, atau lonjongan-lonjong­an me­rah di tepi atasnya. Dalam bekerja ia sepenuhnya tidak bertolak dari rencana. Ia mulai­ dengan torehan-to­reh­an spontan di kan­vas kosong. To­rehan itu secara in­tui­tif menghasil­kan lin­tasan-lin­tasan kom­posisi bidang yang kemudian di­kejarnya. ”Saya ter­tarik pemecahan­ r­uang yang juga sebuah pemecahan jiwa, suatu provokasi ma­ta yang meng­alir menuju dimensi spiri­tual.”

Dan tak dinyana lukisan permainan bi­dang kosong itu ternyata cocok dan di­suka oleh para arsitek modern kita. Hanafi salah satu pelukis yang sukses di dunia arsitek. Lukisan-lukisannya kerap menjadi bagian dari desain interior ruang minimalis garapan para arsitek, misalnya dari lingkaran kelompok Arsitek Muda Indonesia.

Berdiri di depan lukisan-lukisan Ha­­­n­afi memang selalu merasa seperti ada yang menghipnotis. Ada kesub­liman da­lam kesederhanaan. Ada suasana yang terus-menerus berubah dalam ke­lengangan. Susah merumuskan de­ngan kata-kata. Ia tidak mengeksplo­rasi ­pre­sentasi warna, tapi gerak dina­mi­ka bidang yang mengalir. Antara satu kanvas dan kanvas lainnya, meski­pun mirip bila ditatap, iramanya sama se­kali berlainan.

Dan pameran di Galeri Nasional ini—disponsori O House Gallery—menunjuk­kan pencapaiannya yang makin ma­tang. Sementara pada periode awal lu­kisan-lukisannya cenderung tak menampilkan obyek, kini secara memikat muncul benda-benda. ”Sebenar­nya dahulu obyek ada dalam lukisan saya, namun samar-samar, tidak solid,” kata­nya. Waktu itu yang ingin ia munculkan adalah obyek yang masih berupa potensi dalam ruang. Sesuatu yang an sich (benda yang ada dalam diri­nya sendiri). Bila ia ingin menampilkan jam, bukanlah sosok loncengnya, tapi irama detik yang dikejarnya. Bila gong, bukan canangnya tapi getarannya.

Dan sekarang terlihat potensi itu me­wujud. Kita secara jelas menengarai benda seperti rol benang, tas, jam weker penyok, kursi, telur-telur dalam lukisannya. Bahkan ia secara konkret membuat sebuah peniti besar dari besi atau jarum raksasa runcing yang kemudian ditusukkan ke kanvasnya. Kurator Jim Supangkat membingkai pameran ini de­ngan tema Id. Kita tahu ini diambil dari pemikiran Freud tentang naluri bawah sadar. Kurator ingin menunjukkan bahwa lukisan-lukisan Hanafi adalah aspek paling instingtif dari dirinya.

Tapi mungkin karya Hanafi tidak se­penuhnya dapat dikerangkakan me­­lalui perspektif Freud. Yang muncul pa­­da kanvas Hanafi bukanlah mun­­cratan dari ”gunung es” hasrat erotis­me ter­pendam sebagaimana dipikirkan Freud.

Obyek seperti meteran angka-angka­, gulungan benang, tas yang sering tampil ternyata bila dilacak, itu banyak dari kenangan terhadap sosok tangguh ibunya yang hidup prihatin sebagai seorang penjahit, tapi mampu mem­besarkan anak-anaknya. Itulah meng­apa judul lukisannya Jarum Luka Ibu, My Mother, Jarum Ibuku, Jalan Benang Panjang, Tas untuk Ibu.

Obyek-obyek pada Hanafi selalu me­ngandung memori tertentu. Sosok lampu neon dalam Neon yang Tak Bisa Tidur muncul karena dirinya tak pernah bisa tidur bila neon menyala. Atau seberkas sosok biola pada Mulut Biola—itu datang karena sekarang anaknya tengah les biola. Kekuatan Hanafi ada­lah kemampuannya membawa benda-ben­da tidak berhenti pada benda itu sen­diri. Benda-benda itu bukan pokok. Ia boleh ditinggalkan. Ia hanya menjadi pintu.

”Melukis harus bertolak dari pe­rasaan bahagia, bukan perasaan sakit,” katanya Ini juga tentu adalah hasil dialognya dengan Roedjito. Dan bila 25 lukisannya di Galeri Nasional ini hasil prosesnya selama cuma empat bulan, ten­tu itu menunjukkan ”ledakan­ energi bahagianya”. Hanafi dalam menggambar seperti trance. Ia bekerja dengan sekumpulan alat: kuas, rol, sikat sepatu, kain pel yang dibasahi cat, spons busa, ampelas—untuk mendistorsi warna—pisau, garpu, sisir untuk mengerik. Ia tidak memilih, secara otomatis ia meng­ambil alat apa saja yang ada di dekatnya menurut kebutuhan.

Banyak pelukis kita yang bekerja­ dengan dasar seperti Hanafi, tapi ek­se­kusi visualnya kurang menggedor. Sebaliknya Hanafi, hasil akhirnya jarang gagal. Itu yang dikagumi oleh Jim Supangkat. Dan itu yang membuat perupa berperawakan bersahaja dan anteng ini termasuk seorang yang makin diper­hitungkan dalam peta seni rupa kita.

Hanafi kini dikenal sebagai seorang perupa yang membuka kemungkinan memperkenalkan karya-karya kontem­porer Indonesia di galeri-galeri Spa­nyol. Ia seorang pejalan, yang merambah dunia Andalusia. Awalnya ia bertemu Emilio Sabadel, pemilik Galeri Mares Del Sur, Barcelona. Sabadel melihat Ha­nafi menyuguhkan abstrak dengan rasa ruang lain. Mungkin Sabadel menangkap dimensi—yang pernah disebut­ Roe­dji­to ada dalam karya Hanafi ”bagai sebuah kekosongan tempat hunian para cenayang”. Entah, yang jelas Hanafi kemudian berpameran di galeri Sabadel dan berziarah ke makam Salvador Dali dan istrinya, Gala, serta bertualang ke desa-desa tradisional Barcelona.

Dan tahun depan, dengan lukisan-lukisan barunya ini, ia akan berpameran tunggal di Macba, Museum Contemporary Art Barcelona. Demikianlah Hanafi ke negeri para matador, mem­bawa memori-memori tentang dunia benda ibunya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus