Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPADA Hanafi, pada tahun 1990-an awal, penata panggung (alm) Roedjito pernah membiÂcarakan soal ”religi” dalam kanÂvas. Tokoh yang disepuhkan dalam dunia teater dan tari itu mendiskusikan bagaimana kedalaman bisa muncul dari sebuah lukisan.
”Lukisan yang baik itu tidak dijadikan, tapi apa yang terjadikan.” Kata-kaÂta Roedjito itu menjadi titik yang menentukan dalam hidup Hanafi. WakÂtu itu ia tengah goyah. Bekerja sebagai deÂÂsainer di sebuah perusahaan iklan, proÂses kreatifnya serba kompromi. SebaÂgai pelukis abstrak, itu seperti mematikan daya spontanitasnya. Ia bimbang untuk kembali ke kanvas. Apalagi saat itu dunia lukisan Indonesia cenderung ramai dengan tema sosial. Perjumpaannya deÂÂngan Roedjito memompa semangatnya kembali. Pada 1997, sebuah lukisan abstrakÂnya masuk nominasi kompetisi Phillip Morris.
”Bisa dibilang saya lahir dari RoedjiÂto,” kata Hanafi. Ia ingat, Roedjito seÂring datang ke rumahnya, berdiskusi sembari menyantap sup buatan istri Hanafi. Bahkan, bila Ramadan, perbincangan akan sampai sahur dan Roedjito pasti pulang membawa serantang sup. Roedjito selalu menekankan perbedaan antara lukisan yang didesain dan tidak. Seorang pelukis, apalagi abstrak, seharusnya memburu kejutan tak terduga. Apa yang terekspresi di kanvas sejatiÂnya bukanlah milik pelukis.
Hanafi gelisah mendengar ucapanÂ-ucapÂan ini. Menurut dia, Roedjito memÂbeÂrinya sebuah jendela. ”Mbah Djito juÂga selalu mengatakan harus ada keÂpriÂhatinan hidup dalam kanvas. LuÂÂkisÂÂan tanÂpa keprihatinan adalah omong koÂsong.”
Pada 1997 ia mulai menemukan pola kerjanya. Hanafi lalu dikenal sebagai seÂorang pelukis abstrak deÂngan ukurÂan beÂsar-besar. Lukisannya sering meÂÂnampilkan permainan ruang deÂngan kompoÂsisi yang ”aneh”. Kanvas, miÂsalÂÂnya, diÂblok gradasi warna hitam lalu hanya ada seleret lelehan cokeÂlat keemasan, atau lonjongan-lonjongÂan meÂrah di tepi atasnya. Dalam bekerja ia sepenuhnya tidak bertolak dari rencana. Ia mulai dengan torehan-toÂrehÂan spontan di kanÂvas kosong. ToÂrehan itu secara inÂtuiÂtif menghasilÂkan linÂtasan-linÂtasan komÂposisi bidang yang kemudian diÂkejarnya. ”Saya terÂtarik pemecahan rÂuang yang juga sebuah pemecahan jiwa, suatu provokasi maÂta yang mengÂalir menuju dimensi spiriÂtual.”
Dan tak dinyana lukisan permainan biÂdang kosong itu ternyata cocok dan diÂsuka oleh para arsitek modern kita. Hanafi salah satu pelukis yang sukses di dunia arsitek. Lukisan-lukisannya kerap menjadi bagian dari desain interior ruang minimalis garapan para arsitek, misalnya dari lingkaran kelompok Arsitek Muda Indonesia.
Berdiri di depan lukisan-lukisan HaÂÂÂnÂafi memang selalu merasa seperti ada yang menghipnotis. Ada kesubÂliman daÂlam kesederhanaan. Ada suasana yang terus-menerus berubah dalam keÂlengangan. Susah merumuskan deÂngan kata-kata. Ia tidak mengeksploÂrasi ÂpreÂsentasi warna, tapi gerak dinaÂmiÂka bidang yang mengalir. Antara satu kanvas dan kanvas lainnya, meskiÂpun mirip bila ditatap, iramanya sama seÂkali berlainan.
Dan pameran di Galeri Nasional ini—disponsori O House Gallery—menunjukÂkan pencapaiannya yang makin maÂtang. Sementara pada periode awal luÂkisan-lukisannya cenderung tak menampilkan obyek, kini secara memikat muncul benda-benda. ”SebenarÂnya dahulu obyek ada dalam lukisan saya, namun samar-samar, tidak solid,” kataÂnya. Waktu itu yang ingin ia munculkan adalah obyek yang masih berupa potensi dalam ruang. Sesuatu yang an sich (benda yang ada dalam diriÂnya sendiri). Bila ia ingin menampilkan jam, bukanlah sosok loncengnya, tapi irama detik yang dikejarnya. Bila gong, bukan canangnya tapi getarannya.
Dan sekarang terlihat potensi itu meÂwujud. Kita secara jelas menengarai benda seperti rol benang, tas, jam weker penyok, kursi, telur-telur dalam lukisannya. Bahkan ia secara konkret membuat sebuah peniti besar dari besi atau jarum raksasa runcing yang kemudian ditusukkan ke kanvasnya. Kurator Jim Supangkat membingkai pameran ini deÂngan tema Id. Kita tahu ini diambil dari pemikiran Freud tentang naluri bawah sadar. Kurator ingin menunjukkan bahwa lukisan-lukisan Hanafi adalah aspek paling instingtif dari dirinya.
Tapi mungkin karya Hanafi tidak seÂpenuhnya dapat dikerangkakan meÂÂlalui perspektif Freud. Yang muncul paÂÂda kanvas Hanafi bukanlah munÂÂcratan dari ”gunung es” hasrat erotisÂme terÂpendam sebagaimana dipikirkan Freud.
Obyek seperti meteran angka-angkaÂ, gulungan benang, tas yang sering tampil ternyata bila dilacak, itu banyak dari kenangan terhadap sosok tangguh ibunya yang hidup prihatin sebagai seorang penjahit, tapi mampu memÂbesarkan anak-anaknya. Itulah mengÂapa judul lukisannya Jarum Luka Ibu, My Mother, Jarum Ibuku, Jalan Benang Panjang, Tas untuk Ibu.
Obyek-obyek pada Hanafi selalu meÂngandung memori tertentu. Sosok lampu neon dalam Neon yang Tak Bisa Tidur muncul karena dirinya tak pernah bisa tidur bila neon menyala. Atau seberkas sosok biola pada Mulut Biola—itu datang karena sekarang anaknya tengah les biola. Kekuatan Hanafi adaÂlah kemampuannya membawa benda-benÂda tidak berhenti pada benda itu senÂdiri. Benda-benda itu bukan pokok. Ia boleh ditinggalkan. Ia hanya menjadi pintu.
”Melukis harus bertolak dari peÂrasaan bahagia, bukan perasaan sakit,” katanya Ini juga tentu adalah hasil dialognya dengan Roedjito. Dan bila 25 lukisannya di Galeri Nasional ini hasil prosesnya selama cuma empat bulan, tenÂtu itu menunjukkan ”ledakan energi bahagianya”. Hanafi dalam menggambar seperti trance. Ia bekerja dengan sekumpulan alat: kuas, rol, sikat sepatu, kain pel yang dibasahi cat, spons busa, ampelas—untuk mendistorsi warna—pisau, garpu, sisir untuk mengerik. Ia tidak memilih, secara otomatis ia mengÂambil alat apa saja yang ada di dekatnya menurut kebutuhan.
Banyak pelukis kita yang bekerja dengan dasar seperti Hanafi, tapi ekÂseÂkusi visualnya kurang menggedor. Sebaliknya Hanafi, hasil akhirnya jarang gagal. Itu yang dikagumi oleh Jim Supangkat. Dan itu yang membuat perupa berperawakan bersahaja dan anteng ini termasuk seorang yang makin diperÂhitungkan dalam peta seni rupa kita.
Hanafi kini dikenal sebagai seorang perupa yang membuka kemungkinan memperkenalkan karya-karya kontemÂporer Indonesia di galeri-galeri SpaÂnyol. Ia seorang pejalan, yang merambah dunia Andalusia. Awalnya ia bertemu Emilio Sabadel, pemilik Galeri Mares Del Sur, Barcelona. Sabadel melihat HaÂnafi menyuguhkan abstrak dengan rasa ruang lain. Mungkin Sabadel menangkap dimensi—yang pernah disebut RoeÂdjiÂto ada dalam karya Hanafi ”bagai sebuah kekosongan tempat hunian para cenayang”. Entah, yang jelas Hanafi kemudian berpameran di galeri Sabadel dan berziarah ke makam Salvador Dali dan istrinya, Gala, serta bertualang ke desa-desa tradisional Barcelona.
Dan tahun depan, dengan lukisan-lukisan barunya ini, ia akan berpameran tunggal di Macba, Museum Contemporary Art Barcelona. Demikianlah Hanafi ke negeri para matador, memÂbawa memori-memori tentang dunia benda ibunya.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo