Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seudati Terpukul Saman

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu Abdullah Abdul Rahman, maestro tari seudati, mengawasi sekelompok anggota sanggarnya berlatih. Dia menjentikkan jarinya, ”tik”, yang diikuti gerak serentak delapan muridnya yang menarikan seudati. ”Besok saya akan membawa anak-anak ini mengikuti pergelaran seni Expo 2010 di Shanghai, Cina,” kata Abdullah di Komunitas Seudati Geunta Aceh di Langsa, pertengahan Juli lalu.

Tari seudati bersumber dari pola dan variasi loncatan, gerak tangan, keutep jaroe (petik jari), dan pukulan dada dengan iringan pantun atau syair. Jumlah penari biasanya delapan orang dan ditambah dua pelantun syair. Seudati juga bisa dimainkan oleh perempuan (seudati inong), tapi gerak tepukan dada diganti dengan tepukan pinggul.

Soal seudati, Abdullah adalah jagonya. Abdullah lahir di Bireuen pada 1946 dan mulai belajar seudati saat duduk di kelas empat sekolah rakyat. Tapi penampilannya pada peletakan batu pertama pembangunan SMA Cut Gapu di Bireuen pada 1963 membuat Gubernur Aceh Ali Hasjmi kagum dan meng undangnya naik ke atas panggung. Di sana Ali menganugerahkan gelar ”Syeh Lah Geunta” kepada remaja Abdullah.

Popularitas Abdullah telah membawanya berpentas di berbagai daerah hingga ke mancanegara. Selain menjadi penari seudati profesional, dia melatih tarian itu ke seluruh penjuru Aceh. Rumahnya di Idi Rayeuk pun dipakai sebagai tempat latihan. Sejumlah sanggar tari menjadi langganannya, seperti Komunitas Seudati Geunta Aceh serta beberapa sanggar di Aceh Utara, Bireuen, dan Langsa.

Kendati menjadi maestro di bidangnya, kehidupan Abdullah sangat sederhana. Bersama istrinya, Syafiah, dan seorang anak, dia tinggal di sebuah rumah kayu di Desa Seunebok Rambong, Idi Rayeuk, Aceh Timur. Abdullah punya enam anak dan sepuluh cucu. Salah satu anaknya adalah Asnawi Abdullah, penari dan koreografer di Institut Kesenian Jakarta. Abdullah menggantungkan hidup dari seudati dan honor mengajar di sanggar. Sisanya dia dapat dari hasil sawah sekitar satu hektare di desanya.

Namun kehidupan tari tradisional memang kembang-kempis tergilas peradaban modern, termasuk seudati. Abdullah mengakui bahwa seudati saat ini kurang populer di Aceh. ”Bahkan dikalahkan oleh tari saman. Padahal, dulunya, seudati adalah roh masyarakat Aceh dalam berbagai acara dan pentas tari,” katanya. Menonton seudati kadang membutuhkan waktu berjam-jam. Bandingkan dengan pertunjukan tari saman, yang bisa selesai dalam tempo 15 menit.

Ayi Sarjev, pengamat seni tradisional Aceh, menilai makin terpuruknya seudati karena kurang didukung infrastruktur yang memadai, seperti gedung pementasan. ”Kalau di Aceh, menonton seudati tidak asyik, karena tidak ada gedung akustik. Lebih asyik nonton di Gedung Kesenian Jakarta, misalnya,” ujarnya.

Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Aceh Marwan Sufi mengatakan seudati masih tetap eksis dan hidup, tapi kurang berkembang secara kaderisasi. ”Itulah yang menjadi tugas kami sekarang untuk menjaga warisan budaya agar tidak punah,” kata Marwan.

Adi Warsidi, Imran M.A. (Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus