Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Menangguk Untung di Dunia Maya

Film ini menampilkan paranoia publik Amerika terhadap Bill Gates. Skenario yang logikanya lemah membuat film ini jadi menggelikan. Untung, akting Tim Robbins meyakinkan

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antitrust Produksi : Metro Goldwyn-Mayer, 2001 Sutradara : Peter Howitt Penulis Skenario : Howard Franklin Pemain : Ryan Philippe, Tim Robbins, Claire Forlani Hidup atau mati. Tak ada alternatif, tak ada pilihan di luar angka 1 atau 0. Begitulah hidup dalam persaingan bisnis digital. Seperti kode bilangan biner,1 atau 0, pilihan yang ada hanya sesuatu yang tunggal. Itulah kredo yang diyakini Gary Winston (Tim Robbins), taipan pemilik Nurv, perusahaan raksasa yang berkibar di lahan produk digital. Winston percaya, peluang hidup bisnisnya bergantung pada penguasaan paket komplet inovasi terbaru. Niat ini tak mudah dicapai karena di Amerika Serikat ada hukum antitrust alias pelarangan monopoli. Pada saat yang sama, Winston juga sadar, bisnisnya terancam dari jurusan lain. Kumpulan computer geek—anak muda yang jago utak-atik program komputer—setiap saat bisa membuat Winston terpental. Masalahnya, para pemuda yang kebanyakan masih nongkrong di garasi ini mengagungkan open source. Apa itu? Open source adalah "kata sakti" yang intinya menganggap bahwa ilmu dan teknologi adalah milik semua orang. Jadi, setelah menunaikan penciptaan satu program, anak-anak muda itu tak ragu untuk membagikannya secara gratis. Apakah anak-anak muda ini tak butuh duit? O, mereka bisa mendapatkannya lewat ongkos bantuan teknis yang akan mereka kutip dari para klien. Tentu saja, pola macam ini membuat Winston blingsatan. Dari segi tema, Antitrust arahan sutradara Peter Howitt terbilang aktual. Dengan mudah, penonton akan mengasosiasikan sosok Winston dengan Bill Gates, juragan Microsoft yang saat ini tengah dibidik departemen kehakiman setempat karena dianggap melakukan monopoli. Microsoft, yang sudah sangat kaya, juga tengah dikecam karena tak kunjung membuat sistem operasi programnya jadi sumber terbuka yang bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sementara itu, di sisi yang berseberangan, ada sosok macam Linus Benedict Torvalds, penemu sistem operasi Linux, yang tak ragu mendistribusikan karyanya tanpa bayaran. Namun, keunggulan tema bukanlah jaminan keberhasilan. Skenario yang ditulis Howard Franklin sangat lemah, terutama dari logika cerita. Winston memiliki kiat jitu untuk menangkal ancaman dari para whiz kid yang eksentrik. Caranya, ia menawari para programer yang cemerlang untuk bergabung dengannya. Salah satu incarannya yang dapat dibujuk adalah Milo Hoffman (Ryan Phillipe). Yang menolak? Winston akan "menghabiskannya". Salah satu calon korbannya adalah Teddy, sobat kental Milo. Kisah yang macam ini tentu mengundang tanda tanya. Bagaimana seseorang pada posisi Winston—serakus apa pun—tergelincir melakukan kejahatan dalam bentuk yang paling purba. Kisah pencurian teknologi yang dilakukan antek Winston masih bisa diterima penonton, tapi pembunuhan programer rasanya berlebihan. Apakah Winston akan menghabisi semua programer yang tak mau bekerja untuknya? Plot pemuda hijau yang akhirnya menentang pimpinan (yang ternyata penjahat sialan) juga bukan ide orisinal. Film The Firm karya Sydney Pollack yang dibintangi Tom Cruise, dan The Skulls karya Rob Cohen, sudah mengambil rute ini. Semboyan zero-sum yang tidak meninggalkan alternatif itu juga diucapkan oleh Winston dengan menggelikan. Dalam dunia nyata, alternatif dalam bisnis digital ini sangat terbuka. Betapapun industri macam Microsoft begitu protektif, ia tak mampu menghadapi serangan pembajakan. Artinya, "keseimbangan" pasti akan terjadi secara alamiah, walau untuk yang satu ini dengan cara meledek. Yang menghibur dari film ini adalah akting Tim Robbins. Ia berhasil menampilkan sosok "megalomaniak" yang unik. Kaya raya, berambisi raksasa, tapi masih sering tampil berantakan. Sayang, Robbins melaju sendiri. Akting Ryan Philippe, yang pernah mencuri perhatian lewat film Cruel Intention, kali ini jauh dari kilau. Namun, lagi-lagi skenario yang payah yang jadi biangnya. Film ini barangkali bisa disamakan dengan Windows terbaru produksi Microsoft: di sana-sini ditemui flaw (kegagalan) dan bugs (gangguan). Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus