Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Pertanian Tak Lagi Menjadi Primadona

Australia berambisi menjadi pemain utama "ekonomi baru" yang bertumpu pada kemajuan pengetahuan dan teknologi informasi (TI). Insentif dan pintu imigrasi pun terbuka lebar bagi tenaga kerja TI dari berbagai negara.

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYDNEY, sebagaimana kota besar lain di dunia, adalah kota yang sibuk. Di kawasan bisnis seperti di George Street, lalu-lalang karyawan kantor yang bergegas menuju ke tempat kerja sudah tampak sejak matahari pagi mulai mengintip. Namun, berdekatan dengan kawasan perkantoran, tampak orang mulai menyemut di sekitar Gedung Opera Sydney, yang dengan arsitekturnya yang sangat unik itu seolah menjadi lambang negara Australia. Di bangku-bangku yang bertebaran di pelabuhan feri yang sibuk, tampak pemandangan yang kontras dibandingkan dengan kesibukan karyawan: turis-turis yang duduk santai tanpa terburu waktu tengah menikmati pagi. Udara musim gugur di pengujung Maret lalu yang mengembuskan suhu sekitar 20 derajat Celsius memang membuat para wisatawan nyaman mengendurkan saraf. Wisatawan yang berleha-leha itulah yang kini turut menghidupkan denyut bisnis di ibu kota Negara Bagian New South Wales itu. Bahkan, pariwisata telah menjadi sektor jasa penting yang cukup besar sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB) Australia. Pertanian, jangan salah, ternyata bukan lagi primadona utama yang menyokong ekonomi Australia. Meski negeri itu masih terkenal dengan produk pertanian dan hasil olahannya?anggur, apel, atau susu?sejak 10 tahun lalu komoditi tak lagi menjadi pilar utama perekonomian Australia. Tertinggal jauh dengan sektor jasa yang menyumbang 71 persen dari PDB, sektor pertanian ternyata hanya memberikan kontribusi 3 persen. Negara yang total penduduknya hanya sekitar dua kali penduduk Jakarta itu sendiri pada 1999 tercatat mempunyai PDB US$ 395 miliar?jauh di atas PDB Indonesia, yang pada tahun yang sama hanya mampu mencapai US$ 154,1 miliar. Beberapa tahun lalu, di awal tahun seperti ini, turis di Australia tidak sebanyak sekarang. Australia perlu berterima kasih kepada Olimpiade 2000. Tak hanya sukses menyelenggarakan Olimpiade, Australia memetik buah dari keberhasilannya memanfaatkan pesta akbar olahraga itu sebagai etalase untuk memamerkan kemampuan manajemen dan teknologinya. Selama pesta akbar itu berlangsung, tak kurang dari 400 ribu wisawatan berkunjung ke kota yang hanya berpenduduk 4 juta itu. Dan sejak Januari lalu, kedatangan turis naik sampai 30 persen. Hal itu diungkapkan Loftus Harris, Direktur Jenderal Departemen Pembangunan Negara Bagian dan Regional New South Wales, kepada tujuh wartawan internasional yang berkunjung ke Australia. Kunjungan wartawan dari Prancis, India, Jepang, Cina, Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia?diwakili TEMPO?akhir Maret lalu itu atas undangan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia. "Angka kedatangan turis itu benar-benar angka luar biasa. Sebelum Olimpiade, pada bulan-bulan di awal tahun, turis tidak terlalu banyak," ujar Harris. Olimpiade memang juga membuat beberapa sektor bisnis, seperti industri media dan properti, saat ini menjadi seperti kurang darah. Agaknya, para pelaku bisnis di Australia terlalu jorjoran mengeluarkan dana promosi demi Olimpiade, sehingga sesudah itu industri media, misalnya, sangat sulit menimba iklan dari sumur perusahaan yang rupanya sudah kering karena dikuras habis untuk berpromosi selama Olimpiade. "Bisnis media sekarang ini memang kurang begitu bergairah," kata Tony Boyd, editor Financial Review, dari Sydney. Namun, dampak itu tampaknya hanya sementara. Menurut Harris, sesudah pesta akbar olahraga dunia itu selesai, Australia banyak menerima kunjungan bisnis yang 45 persennya berlanjut dengan transaksi bisnis. Dalam dua tahun ke depan, diperkirakan akan terlaksana 1.900 kunjungan bisnis. Dari semua kegiatan bisnis yang terjadi, bisnis yang paling moncer saat ini adalah industri jasa. Di bidang pendidikan, misalnya. Sektor ini, pada 1999-2000, mencetak pendapatan A$ 3 miliar (sekitar Rp 15 triliun, dengan kurs Rp 5.000 per dolar Australia)?jauh di atas pendapatan dari ekspor wol. Dengan sektor pertanian yang tertinggal jauh, tak aneh bila Australia lebih berminat menggenjot perekonomiannya menuju apa yang disebut "ekonomi baru". Istilah ini sering dipakai untuk menunjuk perekonomian yang kegiatan produksi dan distribusinya mengandalkan pengetahuan dan informasi. Ada juga yang menggunakan istilah ini untuk semua kegiatan ekonomi yang menggunakan teknologi informasi yang membuat bisnis tak lagi mengenal jarak dan batas negara. Sedangkan industri primer seperti pertanian dan pertambangan sering dikategorikan sebagai "ekonomi lama". Teknologi informasi (TI) memang merupakan faktor paling penting dan menentukan dalam "ekonomi baru". Karena itu, Australia juga mengandalkan TI, yang belakangan ini pertumbuhannya paling kinclong dibandingkan dengan industri lainnya. Pada 1999, uang yang dibelanjakan di sektor ini mencapai hampir US$ 36 miliar (Rp 396 triliun, dengan kurs Rp 11 ribu per dolar AS). Di mata bank investasi Merrill Lynch, Australia memang punya prospek bagus. Pada Agustus 2000, Australia masuk dalam kategori tiga besar terbaik dalam hal pertumbuhan prospeknya di bidang "ekonomi baru". Prospeknya justru sedikit lebih tinggi dari AS, yang memulai lebih dulu revolusi di bidang teknologi informasi. Menurut David I. Thodey, Chief Executive Officer IBM Australia/Selandia Baru, ada beberapa faktor yang membuat Australia cukup menarik untuk ditanami investasi di bidang TI. Satu hal yang paling penting adalah "kemunculan teknologi dan impaknya terhadap cara masyarakat Australia melakukan bisnis," kata Thodey. Teknologi informasi memang bisa mengubah bahkan melakukan revolusi terhadap berbagai sektor kehidupan. Tak hanya gaya hidup?seperti berbelanja via internet?konsumen yang bisa diubah. Bisnis pun bisa menjadi lebih efisien. "Bayangkan, Bank Macquarie bisa menyelesaikan account senilai US$ 7 miliar dari berbagai negara, dengan bahasa dan mata uang yang berbeda, hanya dalam tiga jam," kata Mara Bun, analis strategis internet Macquarie Bank?yang punya 14 kantor cabang di seluruh dunia. Gaya hidup masyarakat memang lebih penting dari jumlah penduduk Australia, yang sebenarnya tak cukup menarik sebagai pasar. Industri TI bisa berkembang subur karena masyarakat Australia cukup akrab dengan komputer. Tak kurang dari 56 persen penduduk negeri koala ini sudah memiliki perangkat komputer. Sementara itu, menggapai dunia dengan internet juga bukan perkara sulit. Hingga Februari lalu, tercatat 1.023 penyedia jasa internet yang siap menyambungkan mereka dengan dunia maya dan memungkinkan aktivitas bisnis tanpa batas. Menurut catatan biro statistik Australia, selama kurun 1999-2000, hampir 90 persen orang dewasa (18-24 tahun) menggunakan komputer. Sedangkan rumah tangga yang mengakses internet mencapai 37 persen. Banyak di antaranya yang menggunakan akses internet untuk berbelanja. Untuk menghidupkan industri TI, pemerintah Australia sangat mendorong warganya menggunakan internet. Caranya, antara lain, dengan menawarkan berbagai kemudahan untuk mendapatkan layanan melalui internet, misalnya bayar pajak secara online. Hingga Januari 2001, lebih dari 1.100 jasa layanan pemerintah sudah bisa diperoleh melalui jaringan maya. Industri TI di Australia agaknya tak bernasib buruk seperti di Amerika Serikat atau Jepang. Tahun lalu, IBM Australia-Selandia Baru mengantongi pendapatan A$ 3,3 miliar. "Ini sepuluh persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya," ujar Thodey. Perusahaan TI terbesar di Australia yang didirikan sejak 1932 itu bahkan akan menanam investasi lebih dari A$ 23 juta untuk membangun teknologi dan infrastruktur komunikasi. "Kami akan membuka pusat bisnis baru untuk inovasi," kata Thodey. Menurut Thodey, IBM Australia tidak goyah karena tidak melakukan penggelembungan ekonomi (bubble economy) seperti yang terjadi di AS?perusahaan-perusahaan dotcom dijual di bursa saham dengan nilai terlalu tinggi. Selain itu, perusahaan patungan dengan Telstra (50 persen dimiliki pemerintah) itu telah mendapatkan kontrak jangka panjang dengan pemerintah Australia. "Kami punya 45 persen kontrak jangka panjang," ujar Thodey. Tampaknya, perusahaan-perusahaan TI di Australia memang masih bisa bernapas panjang. Riset yang dilakukan Bank Macquarie ?bank investasi independen terbesar di Australia?menunjukkan bisnis beberapa perusahaan software di bursa saham Sydney masih potensial. Meski begitu, riset Macquarie juga mengingatkan kemungkinan adanya dampak dari melambatnya perekonomian AS. Bagaimanapun, ekonomi yang kian global memang tidak memungkinkan satu negara steril dari pengaruh negara lain. Apalagi bila negara yang sedang teler adalah negara sekaya AS. Ekspor Australia hampir 50 persen diserap pasar AS. Pemerintah Australia, yang hingga kini masih mempertahankan anggaran surplus, memang masih berharap dan yakin bisa mencapai tingkat pertumbuhan sekitar 4 persen. Namun, menurut perkiraan Scott Reid, manag-ing director & regional executive lembaga investasi JP Morgan, pertumbuhan ekonomi Australia tahun ini hanya bisa mencapai 2 persen. Toh, perekonomian dunia yang sedang lesu itu tak menghentikan strategi Australia untuk mengembangkan inovasi yang akan dipakai untuk menopang "ekonomi berbasis pengetahuan". Pemerintah Australia tetap dengan rencana investasi selama lima tahun sebesar A$ 2,9 miliar untuk mengembangkan riset dan inovasi, terutama di bidang TI dan bioteknologi. Investasi ini di luar anggaran untuk pendidikan serta riset di berbagai bidang ilmu dan teknologi informasi, yang besarnya mencapai A$ 4,5 miliar per tahun. Dengan dana sebesar itu, Australia ingin berpacu di bidang inovasi dengan negara lain. Inovasi memang bisa menjadi modal kuat Australia untuk menambang uang. Australia punya kemampuan untuk itu. Sepanjang sejarahnya, negara ini berhasil memperoleh enam penghargaan Nobel di bidang pengetahuan, dari imunologi, saraf, otak, penisilin, sampai transplantasi organ. Beberapa produk inovasi dan hasil risetnya juga sudah mampu menembus pasar dunia. Sebut misalnya "telinga bionik"?alat bantu pendengaran yang bisa ditanam di telinga?buatan Cochlear seharga A$ 23 ribu per unit (termasuk biaya implantansi), yang dalam setahun terjual 10 ribu unit, atau alat bantu pernapasan produksi Res Med, yang berhasil mencetak penjualan US$ 130 juta per tahun. Sadar akan modalnya, pemerintah Australia berusaha menggenjot kemampuan inovatifnya dengan sejumlah kiat, dari mengiming-imingi insentif pajak kepada perusahaan yang berusaha di bidang riset, mendanai pembangunan infrastuktur universitas, membangun pusat riset yang berhubungan dengan industri, hingga membangun 21 ribu lembaga baru di berbagai universitas, terutama di bidang teknologi informasi dan matematika. Itu saja belum cukup. Pemerintah Australia juga membuka pintu imigrasi lebar-lebar kepada profesional dari negara mana pun yang punya kemampuan tinggi di bidang TI. Bahkan, kemudahan pun diberikan kepada mahasiswa?tentu saja yang memenuhi kualifikasi tinggi. "Mahasiswa berkualitas yang sudah lulus ditawari menjadi penduduk tetap di Australia. Mereka diberi waktu selama dua tahun untuk memutuskan apakah mau menjadi penduduk tetap atau tidak," kata Menteri Jasa Keuangan dan Regulasi, Hon Joe Hockey M.P. Ambisi Australia tak hanya berhenti di bidang TI atau inovasi riset. Memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi yang dipercaya bisa mendobrak "tirani jarak", negara nun di belahan selatan bumi ini juga berambisi menjadi pusat bisnis keuangan dunia. Di kawasan Asia Pasifik, Australia mencanangkan niat bersaing dengan Singapura dan Hong Kong. Tentu itu tidak mudah. Malcolm Turnbull, bos Goldman Sach, misalnya, masih melihat beberapa kendala yang harus diatasi Australia untuk bisa menjadi pusat bisnis keuangan dunia, antara lain populasi yang tidak terlalu besar, terbatasnya pasar domestik, serta jarak yang terlalu jauh dengan pusat keuangan dunia lainnya. Australia juga harus pintar-pintar membuat aturan pajak yang menarik agar bisa bersaing dengan Singapura dan Hong Kong. "Tantangan terbesar Australia adalah bagaimana bisa menjadi pemain utama dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi," ujar Malcolm Turnbull. Gabriel Sugrahetty (Sydney, Australia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus