Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagir Manan: Akademisi di Sarang Kolusi

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI SELA kekisruhan, ada kemujuran. Ungkapan itu mungkin dialami Bagir Manan, 59 tahun, yang Sabtu dua pekan lalu diangkat Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA). Bagir, ahli hukum administrasi negara di Universitas Padjadjaran di Bandung itu, muncul ketika hubungan Presiden dengan DPR kian tak menentu. Rektor Universitas Islam Bandung itu juga masuk bursa calon Ketua MA setelah Presiden terus menggantung masalah pengisian jabatan Ketua MA. Menjelang masa akhir Orde Baru, Bagir keluar panggung dari posisi sebagai Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan di Departemen Kehakiman. Di masa reformasi, namanya diajukan sebagai calon hakim agung oleh Menteri Kehakiman saat itu, Yusril Ihza Mahendra. Ternyata, Bagir menjadi pilihan satu-satunya bagi Presiden lantaran saingan utamanya, Muladi, sudah menyalakan lampu kuning untuk mundur dari MA. Kini, Bagir, yang telah kembali ke kampus dan tak punya pengalaman sebagai hakim, menjadi Ketua MA. Ia berhadapan langsung dengan sosok MA yang bobrok dan tak henti-hentinya dikecam masyarakat. Bagaimana Bagir harus menyiangi MA, yang sarang kolusi dan penuh tumpukan perkara itu, selain juga jajaran hakim bawahannya terus dilanda isu mafia peradilan? Ditemui di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu, Bagir tampak sumringah. "Saya tak pernah membayangkan kembali (menjadi birokrat)," katanya dengan kemeja putih dan celana biru tua. Berikut petikan wawancaranya dengan Agus S. Riyanto, Ahmad Taufik, dan fotografer Robin Ong dari TEMPO.
Anda terpilih sebagai Ketua MA karena diuntungkan dengan tekanan DPR kepada Presiden? Perjalanan saya dan Muladi jauh sebelum tekan-menekan itu. Tekanan untuk mengangkat di antara kami terjadi sebelum itu (memorandum II). Bahwa Presiden punya latar belakang lain, itu tidak ada urusan dengan saya. Anda dicalonkan Yusril. Apa hubungan Anda dengan Yusril? Tidak ada urusan dengan Yusril atau Partai Bulan Bintang. Saya dicalonkan Yusril untuk mewakili calon pemerintah. Kenapa pemerintah mencalonkan sekaligus menolak saya, tanyakan kepada mereka. Selama enam bulan ini menjadi hakim agung, Anda sudah menemukan ketidakberesan di MA? Begitu masuk, bukan berarti harus menemukan sesuatu. Saya pernah bekerja jadi birokrat. Saya gunakan insting. Misalnya, saat menjadi dirjen, keuangan mesti diperiksa. Ya, sudah saya periksa, meski tanpa ada kecurigaan. Itu merupakan bagian dari sistem. Keuangan dan lainnya harus clear. Sudah punya daftar hakim nakal dan bersih? Saya tidak mau memetakan, karena saya punya sahabat-sahabat yang siap membantu mengatasinya. Tak semua hakim jelek. Menurut Profesor Asikin, juga mantan hakim agung Adi Andojo, sebanyak 90 persen hakim agung kotor. Bagaimana Anda akan mengatasinya? Semua harus tunduk pada aturan hukum, dari peringatan sampai pemecatan, dan bisa sampai ke pengadilan. Cuma, seperti Adi Andojo, ia kan pimpinan di sini. Kenapa dulu tak dilakukannya? Kan aneh. Selama ini juga belum ada hakim?apalagi hakim agung?yang diadili? Mudah-mudahan kita mengarah ke sana. Jangan sampai nanti di MA diputuskan begitu, tapi di Departemen Kehakiman diputuskan lain. Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa sudah menindak hakim. Bagaimana dengan MA? Yang ditindak Lopa kan hakim tinggi saja. Itu juga harus seizin MA dan diputuskan bersama. Kalau hakim hanya dicabut palunya, itu belum apa-apa, belum dilakukan pemeriksaan kesalahan dan proses hukum selanjutnya, seperti peringatan, skors, pemecatan, dan segala macam. Itu baru shock therapy. Bagaimana dengan kasus suap yang melibatkan Hakim Agung Yahya Harahap, Nyonya Marnis, dan Nyonya Supraptini? Sudah ditangani kejaksaan. Biarlah kejaksaan yang menentukan. Sebagai ahli, saya tak setuju kalau proses hukum terhadap pejabat negara harus seizin presiden. Seharusnya, semua sama di muka hukum. Tak usah dengan izin presiden. Selama ini mutu vonis MA pun dianggap payah? Ada dua hal, yakni mutu intelektual dan integritas. Membentuk integritas itu tak ada sekolahnya. Harus ada sistem dan pengawasan dari luar, seperti komisi yudisial. Itu harus dengan undang-undang. Mereka tak hanya mengawasi, tapi juga menilai. Karenanya, saya mengharapkan dukungan masyarakat, pers, LSM, Komisi Ombudsman, untuk memberikan tekanan, masukan, dan data. Dengan dukungan begitu, sepertinya Anda tak percaya diri? No? Enggak begitu. Orang kan harus diingatkan. Membentuk opini masyarakat itu penting. Harus ditopang. Itu normal. Belum tentu kebijakan saya berdasarkan aspirasi masyarakat, tapi bisa berdasarkan pemikiran intelektual saya. Punya target tertentu untuk memulihkan citra MA? Saya bekerja enggak dengan target tertentu. Semua persoalan dikerjakan. Persoalannya kan sudah jelas. Kenapa pakai target? Kalau saya sudah dilantik, saya akan bekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus