JATAH film impor untuk 1 April 1977 sampai 31 Maret 1978, masih
belum keluar juga. Penundaan masuknya film-film asing ini
mengakibatkan para distributor dan importir bermain
untung-untungan. Sisa jatah sebelum April 1977 dikeluarkan
pelan-pelan. Tapi film lama yang diedarkan kembali mereka
keluarkan lebih dahulu. Ulang putar film yang baru saja beredar,
juga terjadi. "Untuk menahan napas," ujar seorang importir. Itu
gaya importir film Amerika dan Eropa.
Importir film-film Mandarin punya cara lain pula. Jangka waktu
pemutaran yang mereka perpanjang. Kalau tadinya pemutaran di
gedung utama berlangsung tiga hari untuk sebuah film maka
sekarang mereka memutar satu film sepekan penuh. "Kalau tidak
begitu, kita bisa kehabisan film," ujar Bambang dari PT Suptan
Film.
Mengapa Menteri Penerangan belum juga mengeluarkan SK tentang
jatah film impor? Drs Sunaryo, Direktur Pembinaan film Deppen,
hanya menatakan "masih sulit menyatur jenis (genre) dan
menentukan tim penilai." Nampaknya akan ada hal baru dalam
perfilman nasional. Jatah film asing tidak lagi didasarkan pada
benua atau negara asal, tapi berdasarkan jenis film itu sendiri.
Pembagian itu kabarnya akan meliputi jenis-jenis: drama
(melodrama, tragedi, tragedi komedi), musikal (musikal murni,
musikal drama, musikal komedi), film anak-anak, film perang,
western-eatern, film kekerasan dan spionase, film komedi
(slapstick, komedi sosial, satire). Jumlahnya tetap akan
dikurangi: April '77 - Maret '78 ini mllnkin hanya akan
mencapai 225 judul. Tahun sebelumnya mencapai 300 judul.
Diakui Pemerintah
Para importir tidak lagi dikenakan wajib produksi. Tapi akan
dikeluarkan kompensasi produksi. Yaitu: setiap satu produksi
dinilai tiga film impor. Di samping akan dikeluarkan juga
sertifikat produksi film nasional dalam hubungannya dengan film
impor. Setiap produser film nasional yang memiliki sertifikat
produksi, bisa menggunakannya untuk impor film pada tahun impor
1977/78. Jumlah sertifikat yang akan dikeluarkan sebanyak jatah
impor. Dan sertifikat itu akan dijual dengan harga nominal Rp
5.000.000 Yang berhak membeli sertifikat produksi: para importir
film yang diakui Pemerintah, dan disetujui untuk memperoleh
jaah film impor berdasar quota.
Pengelolaan bursa sertifikat produksi dibebankan kepada PT
Perfin. Dan untuk itu PT Perfin akan menerima komisi sebesar 1%
dari harga nomimal setiap lembar sertifikat. Yang berhak
mendapat sertifikat produksi yaitu film nasional yang telah
dinilai oleh Lembaga Pengembangan Film Nasional (Lepfinas). Film
seperti ini dapat memperoleh sertifikat produksi sama dengan
harga nol sampai 3 lembar sertifikat. Pemenang film festival
seperti FFI atau Festival Film yang sifatnya persaingan, akan
mendapat insentif berupa sertifikat produksi pula.
Dengan cara ini nampaknya tidak akan ada lagi konsorsium film
impor. Para importir cukup dengan membeli sertifikat saja. "Ini
lebih menguntungkan bagi para importir," ujar Hood Idris ketua
Konsorsium Asia Non Mandarin. Tapi kebijaksanaan baru itu juga
disayangkan Hood. "Sekarang ini para importir lagi senang
berproduksi. Dengan adanya wajib produksi jumlah film nasional
meningkat." Hood khawatir sistim baru ini akan menurunkan jumlah
produksi film nasional.
Tapi Turino Junaidi yang ketua para produser, menilai
kebijaksanaan baru ini sebagai satu hal yang adil. "Dengan cara
sertifikat kita para produser juga berhak untuk impor film,"
kata Turino.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini