FESTIVAL penyanyi lagu Minang Modern se-Indonesia akhirnya
jadi juga. Setelah tertunda selama 6 bulan awal Agustus acara
itu bisa dilaksanakan di Padang, sebagaimana ditentukan semula.
Kompetisi 4 hari itu menampilkan Femmy Djohar sebagai juara
merebut piala bergilir Gubernur Sumatera Barat. "Femmy terbaik
di antara 34 peserta " begitu diumumkan Usman Kagami Ketua
Dewan Juri. Sang juara, yang mewakili Sumatera Barat
mengumpulkan nilai 3881. Pada urutan berikutnya masih penyanyi
Padang, Yuang Patapayan, dengan nilai 3875. Sedang Sumatera
Utara liwat penyanyi Renny Bakar merebut gelar juara III dengan
nilai 3802.
Femmy sejak babak penyisihan ketika membawakan lagu wajib Laruik
Sanjo (Asbon), sudah unggul kata seorang juri kepada TEMPO.
Ia makin mantap pula ketika membawakan Pulanglah Yuang
(Ibenzani) dalam babak semi final. Dewan Juri kali ini terdiri
dari 8 orang - di antaranya bapak dan anak Usman Kagami dan
Ibenzani Usman.
Galegek Salung
Gedung Pertemuan Umum Bagindo Aziz Chan, ramai tiap malam pada
babak penyisihan. Peserta tidak dibagi dalam kelompok-kelompok
pria (16 orang) dan wanita (18 orang) sebagai lazimnya sebuah
festival. Mereka diperlakukan sama. Penyanyi yang berhasil
tampil di babak final menyusut jadi 12 orang. Lomba berlangsung
di aula Don Bosko Padang yang juga mendapat limpahan kunjungan
peminat. Tapi penyelenggaraan festival kisruh sejak awal. Hasil
akhir pun mengundang perdebatan. "Yang terbaik memang betul.
Tapi urutan juara tidak tepat," begitu komentar seorang musikus
Minang di Jakarta.
Ia menegaskan: kekuatan lagu Minang Modern terletak pada
improvisasi. "Sejauh manapenyanyi mampu menampilkan misalnya
gelegek salung, yang merupakan satu di antara identitas kesenian
Minang" begitu dituturkan. Musikus yang tidak bersedia disebut
nama ini menilai yang disebut lagu Minang Modern adalah lagu
Minang yang ada galegek saluIlg atau juga getaran-getaran rebab.
Ia melihat emmy yang juara, kurang memperlihatkan keterampilan
dalam memberi improvisasi macam itu. "Yuang Patapayan lebih kuat
dari Femmy," katanya.
Dewan juri kebanyakan adalah guru-guru menyanyi. "Seluruh juri
beraliran konservatif. Karena itu pegangan mereka cuma not."
Karena itulah untuk festival berikutnya ia mengharapkan kriteria
yang lebih jelas bagi pegangan para juri. Jika tekanan penilaian
diletakkan pada not, lagu yang dibawakan akan jadi Minang
populer, Minangnya tinggal syair. Belum adanya pegangan yang
jelas diakui juga oleh Mursal Esten orang pertama Pusat
Kesenian Padang. "Semacam lokakarya untuk menemukan kriteria itu
akan kita lakukan, ini penting untuk lomba berikutnya," kata
Mursal kepada TEMPO seusai Lomba. Apa boleh buat memang.
Penyelenggaraan festival itu tadinya digagas oleh Yayasan
Pembina Artis Minang (Yapami) di Jakarta. Idenya memang bagus,
untuk merangsang penggalian. "Mengapa Asbon dulu berhasil dengan
Gumarangnya. Ini perlu dicontoh," begitu Gubernur Harun Zain
memberikan dukungan.
Asbon memang berhasil memperkenalkan lagu daerah khususnya
Minang, ketika pada tahun 50-an Orkes Gumarangnya mengalun liwat
piringan. Seperti Asbon, Nurseha penyanyi Minang dengan Ayam
den Lapehnya itu memang sudah jadi masa silam. Dan untuk
membangkitkan hal itulah festival penyanyi Minang Modern
dilakukan.
Tapi malangnya, ide Yapami tertegun-tegun. Misalnya festival
yang tadinya direncanakan bulan Pebruari akhirnya ditunda jadi
Agustus. Bahkan tidak ada tanda bakal jadi, padahal panitia
sudah dibentuk sejak Januari. Tidak bisa lain, Gubernur dan
Walikota Padang terpaksa turun tangan.
Gubernur berharap festival macam itu dilanjutkan. Meski yang
pertama ini hanya diikuti 4 daerah (Sumut, Sumsel, DKI dan
Sumbar), festival mendatang diharapkan lebih matang. Yang
menarik para artis Minang di Jakarta ramai-ramai pada pulang
kampung. Macarn Elly Kasim, Eva Nurdin, Tiar Rnon, Lim Campay,
Yan Bastian, Asbon dan lainnya. Juga perkumpulan Gumarang yang
sepak bola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini