Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tanah Aceh para perempuan itu menjalani takdir mereka. Ada keriangan, juga kebahagiaan. Tapi perjalanan waktu membawa mereka pada pengalaman suram yang seolah tak berkesudahan, kisah penuh air mata dan darah: tentang konflik bersenjata dalam bingkai Daerah Operasi Militer, darurat militer, dan darurat sipil. Semuanya menyebabkan suami dan anak hilang, diskriminasi, kekerasan, pelecehan, dan pelucutan martabat. Juga bencana tsunami yang meluluhlantakkan kehidupan.
Kesedihan, ketakutan, dan kengerian itu terekam dalam benak Nina Marthavia. Koreografer berdarah Aceh lulus an Institut Kesenian Jakarta ini meramunya dalam Geurangsang. ”Saya turut merasakan bagaimana penderitaan janda korban DOM, yang suaminya di culik aparat dan dibunuh, juga perempuan-perempuan di Aceh yang dilecehkan dan diperkosa,” dia mengenang.
Pertunjukan di Teater Salihara, Jakarta, dua hari berturut-turut, Jumat dan Sabtu malam dua pekan lalu, juga menggambarkan kegundahan Nina terhadap pemberlakuan hukum syariat Islam di Serambi Mekah. Protesnya terhadap hal ini tersaji di awal pertunjukan, lewat gerakan seorang penari yang seluruh tubuh hingga kepalanya berselubung kain hitam. Awalnya dia hanya duduk diam di kegelapan panggung. Perlahan kepala dan badannya bergerak ke kiri dan ke kanan meng ikuti irama rapai (sejenis rebana) yang ditabuh dua lelaki yang duduk bersila di hadapannya. Tabuhan rapai yang mengiringi senandung Marzuki Hasan, dosen tari Aceh dari Institut Kesenian Jakarta, itu menjadi pembuka pertunjukan berdurasi satu jam.
Sosok berselubung kain itu kemudian bergerak ke tengah panggung. Gerakan tubuhnya makin liar. Dia ber usaha membebaskan diri dari selubung kain. Kadang tangan atau kakinya berhasil menjulur keluar. Namun, semakin cepat dia bergerak, semakin sulit dia melepaskan diri. Kain hijau tua itu justru semakin membelenggunya. Adegan yang menggambarkan bagaimana sya riat Islam justru kian menyudutkan perempuan. ”Mereka sepertinya yang selalu salah,” kata Nina.
Lahir di Meulaboh 29 tahun lalu, Nina mengawali kariernya sebagai penari, yang sudah ditekuninya sejak kanak-kanak. Sebagai penari, dia pernah bekerja sama dengan sejumlah koreografer, seperti Sardono W. Kusumo, Jecko Siompo, Marzuki Hasan, dan Laksmi Notokusumo, dalam berbagai pementasan di dalam dan luar negeri. Karya-karya tarinya banyak mengupas kehidupan kampung halamannya. Sebut saja Bera Huu-The Art of Rampoe Aceh (2002), Cerahna (2005), dan Woe (2010).
Geurangsang sendiri pernah dipentaskan pada 2004 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Waktu itu dalam versi lebih singkat, hanya 20 menit. Tak cuma memperpanjang durasi hingga satu jam, Nina kali ini juga menjadikan karya yang berawal dari tesisnya di IKJ ini lebih kaya dari segi gerak dan artistik panggung. Enam penari perempuan, Dilliani, Poppy Parisa, Nur Hasanah, Hanny Herlina, Andara F. Muis, dan Shinta Malita, menyajikan gerakan yang lebih bervariasi kadang lemah gemulai, kadang dinamis.
Nina tak hanya memasukkan unsur-unsur tari tradisional rampak zapin atau gerakan menepuk dada khas tari saman, misalnya tapi juga memadukannya dengan gerak tari modern yang lebih lincah dan bebas. Dalam balut an baju kurung dan celana kulot (beberapa adegan tampil dengan sarung), para penari bersanggul cempol itu terkadang menghadirkan gerakan-gerakan pantomim. Tak ketinggalan jentikan jari dan tepukan di paha yang selama ini menjadi ciri khas Nina.
Pada satu adegan, para penari juga menggunakan tiga gulungan tali yang, dengan kecakapan gerak para penari, terjalin membentuk sebuah jaring mirip sarang laba-laba.Lihatlah bagaimana tubuh para penari itu bergetar, berjalan terseok, jatuh, dan menggelepar ketika Nina menggambarkan bencana tsunami yang menghancurkan kampung ha lamannya.
Cat merah serupa darah yang meng alir di lembaran plastik bening panjang yang menjadi latar panggung seolah mempertegas penderitaan rakyat Aceh saat bencana pada 2004 itu. Di adegan ini Nina naik ke panggung sebagai seorang perempuan berbalut kain putih yang berjalan berkeliling. Rupanya ia hendak berbagi pengalaman pahitnya saat mencari kedua orang tuanya di Banda Aceh yang turut menjadi korban. ”Waktu itu saya masih kuliah,” kata Nina mengingat peristiwa yang membuatnya menjadi gadis yatim piatu tersebut.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo