Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabut tebal dan pekat yang menyelimuti gugusan perbukitan kawasan Tengger berangsur-angsur menghilang pagi itu. Di Puncak B-29, salah satu bukit tertinggi dari deretan perbukitan yang mengelilingi kaldera Bromo ini, sekitar 50 seniman dari Solo, Yogyakarta, dan Surabaya berkerumun melingkar menyisakan ruang kosong di tengah.
Penari asal Solo, Djarot Budidarsono, bergerak mengawali pertemuan seniman di ketinggian itu. Ia memberi judul karyanya Kunang-kunang dalam Botol. Ia diiringi dua pemusik dari Inggris, peniup trompet John Edward Jacobs dan pemain biola Ginevra Claire House. Badan Djarot akhirnya berputar sembari melilitkan tali plastik hingga membuatnya jatuh terhuyung di ujung lilitan.
Selanjutnya satu per satu koreografer ambil bagian. Tanpa ada set atau panggung khusus. Apa adanya. Lepas di alam bebas. Bahkan musik dimainkan tanpa sound system. Kurniadi Ilham, mahasiswa pascasarjana STSI Solo asal Solok, Sumatera Barat, menampilkan gerak-gerak yang menurut dia merupakan ekspresi melawan rasa takut di lumpur, ketika semasa kecil ia pernah hampir tenggelam di rawa Danau Singkarak. "Inspirasinya berangkat dari pengalaman pribadi. Karena saya dulu hampir mati karena lumpur," katanya.
Baik Djarot maupun Kurniadi mengatakan menari di panggung dengan konsep alam sangat berbeda. Bukan pertama kali ini mereka melakukan pentas di alam terbuka. Djarot bahkan dikenal sering mengadakan performance di candi. Tapi menari di ketinggian seperti Puncak B-29 ini merupakan pengalaman baru yang memiliki tantangan jauh berbeda dengan yang sudah-sudah, terutama bagaimana menyesuaikan dengan hawa dingin. "Awalnya cukup ragu mau buka baju atau tidak. Badan gemetaran karena dingin," ujar Kurniadi. "Kita berada di situasi dan kondisi alam yang tidak bisa diprediksi," Djarot menambahkan.
Kegiatan "Menari di Atas Awan" pada Ahad, 8 Mei lalu, itu merupakan gagasan Abdullah Al Kudus, aktivis di Lumajang yang akrab dipanggil Gus Aak. "Ide awalnya ketika saya melihat begitu banyak potensi penari di Kabupaten Lumajang. Bayangkan, ada 40 sanggar tari di Kabupaten Lumajang." Ia mengatakan ide tersebut sebenarnya muncul setahun lalu. "Namun saat itu masih belum ada gambaran siapa saja yang bisa dilibatkan," ia menuturkan.
Lalu dia pergi ke Solo. Dia bertemu dengan budayawan Halim H.D. dan sejumlah penari di Solo. Halim tertarik pada gagasan menari di atas ketinggian perbukitan ini. "Gus Aak menginginkan Puncak B-29 bukan sekadar menjadi lokasi wisata alam, tapi juga suatu tempat peristiwa kesenian," kata Halim. Ia lalu mengajak penari Djarot Budidarsono melakukan survei ke Puncak B-29. "Saya datang dengan Djarot," kata Halim. Ketika pertama kali melihat lokasi, Halim langsung merasa kondisi Puncak B-29 cukup berat untuk dijadikan perhelatan tari karena faktor cuaca. Tapi Halim tetap mencoba menawarkan gagasan itu kepada para seniman tari di Solo.
Ternyata banyak yang merespons. Apalagi setelah para penari melihat foto-foto Puncak B-29. Panorama Puncak B-29 memang demikian indah. Berdiri di sana orang seakan-akan bisa menggapai awan. Karena awan seolah-olah turun demikian dekatnya. Puncak B-29 kini ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh destinasi pariwisata yang akan dikembangkan pemerintah pusat. Puncak B-29 meliputi kawasan seluas 460-an hektare yang mencakup wilayah di Kabupaten Malang, Probolinggo, dan Lumajang. Namun wilayah terbanyak berada di Lumajang.
Para seniman tari itu merasa penasaran dan ingin menjajal menari di tengah suhu dingin B-29. Para penari itu bahkan tidak meminta honor. "Mereka murni datang untuk menari, demi menjajal ruang ekspresi yang sangat natural dan eksotis," kata Gus Aak.
Tantangan kegiatan "Menari di Atas Awan" ini memang adalah cuaca. Para penari sadar bahwa belum tentu pada jadwal yang ditetapkan, cuaca di Puncak B-29 bersahabat. Mungkin bisa terjadi badai atau kabut tebal tak pudar-pudar. Melati Suryodarmo, salah seorang seniman yang terlibat, mengatakan seniman apa pun tidak memiliki daya apa-apa di tengah alam besar. "Kita tidak mungkin mengalahkan panggung alam. Panggung ruang tertutup masih bisa diatur, tapi alam tidak bisa. Karena bisa tiba-tiba hujan, bisa tiba-tiba kabut datang, dan apa saja bisa terjadi," tuturnya. Menurut Melati, justru sebenarnya menari seperti di Puncak B-29 menantang seniman untuk bisa fleksibel.
Di tengah udara yang menggigit, Melati menyajikan karya berjudul Return. Empat penari perempuannya-Hanna, Aerodyla, Mechtildos, Dany Wulansari-mengenakan baju hitam panjang dengan kepala ditutup kain brokat transparan berwarna abu-abu. "Ini adalah tari yang saya ciptakan dalam proses yang superpendek dan tidak seperti biasanya," kata Melati. "Saya memiliki karya-karya lain yang sudah jadi tapi jelas tidak cocok untuk situasi dan lokasi Puncak B-29. Karena itu, saya ciptakan tari yang spesifik, cocok dengan suasana pemandangan alam," ujarnya.
Return menggambarkan perempuan dari masa lampau yang rindu kembali ke tanahnya tapi tidak bisa menyentuh tanahnya. Mereka bukan hanya roh, tapi jiwa-jiwa yang ingin kembali, yang sebenarnya jiwa-jiwa orang hidup. Melati hendak menceritakan sebuah kesedihan melalui karya tarinya. Kesedihan itu tampak pada gesekan cello dan lagu yang dibawakan Reizki Habibullah dari ISI dan Ellen Elizabeth Jordan dari Wales.
"Ellen menyanyikan satu lagu tradisional dari Wales. Nyanyian itu mengisahkan seorang perempuan yang melakukan perjalanan jauh," ujar Melati. "Menari di Atas Awan", menurut Melati, secara tidak langsung mengajak para penari atau koreografer kembali melakukan metode yang sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak dulu tapi mungkin sudah lama ditinggalkan.
Sementara itu, koreografer Surabaya, Heri Lentho, bersama empat perempuan belia lain, membawakan sebuah karya tari berjudul Rai Gedek-ungkapan bahasa Jawa yang berarti "tidak tahu malu". Karya ini tentang jiwa-jiwa sakit manusia Indonesia. Heri menutup wajahnya dengan sebuah topi anyaman bambu. Topeng yang biasanya ditaruh di muka dieksplorasi ditaruh menutupi bagian kelamin perempuan. "Politik kita masih berorientasi pada kepentingan perut dan kelamin atau nafsu, dan bukan kebaikan untuk negeri ini," ujarnya.
Menurut Heri, tantangan bermain di ketinggian seperti di B-29 ini adalah pernapasan. "Di ketinggian, oksigen tipis dan napas juga menjadi pendek. Dengan adaptasi cuma satu hari, memang akan sangat berpengaruh pada penampilan," katanya. Heri sebenarnya sudah biasa tampil di Bromo. "Saya memiliki komunitas di Bromo di Desa Jetak, Probolinggo," ujarnya. Tapi penampilan seniman-seniman kontemporer di B-29 ini, menurut Heri, merupakan keunikan tersendiri. "Buat saya sendiri, yang dari Jawa Timur, menurut saya, malu kalau pemerintah tidak merespons," katanya.
Tentu semua penampilan pada Minggu pagi di B-29 yang menggigilkan itu bukan produk jadi. Beberapa penari lebih menyajikan improvisasi. Gus Aak pun menginginkan "Menari di Atas Awan" bisa digelar setiap tahun. Dia yakin banyak pihak yang berpartisipasi nantinya.
"Seandainya tidak berbenturan dengan acara pertunjukan lain, banyak koreografer sebetulnya yang mau ikut tampil dalam kegiatan ’Menari di Atas Awan’ ini," tutur Halim. Ia mengatakan demikian karena ketika ia mengirimkan foto-foto lanskap B-29 kepada para seniman tari di Yogyakarta, banyak yang terkejut. "Mereka kaget karena ternyata lokasi pertunjukan latar belakangnya Gunung Bromo," kata Halim.
David Priyasidharta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo