Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Surabaya kini tertata apik nan asri. Ketika banjir datang, hanya butuh waktu semalam untuk surut. Kemacetan kian mudah terurai. Pembangunan taman baru serta penataan jalur pedestrian terus digalakkan. Ini semua berkat penyusunan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang baik.
Bagi Tri Rismaharini, 53 tahun, sebagus apa pun taman dibangun, jika jalannya rusak dan lalu lintas macet, tak ada gunanya. Karena itu, arsitektur ala Risma harus memikirkan kota dan isinya, bukan hanya pembangunan fisik. "Di sini selalu ada Kota Surabaya," kata Risma sembari menunjuk kepalanya saat ditemui pekan lalu.
Karena itu, selain menjalankan pembangunan fisik, ia mengedukasi masyarakat Surabaya. Risma, yang menjabat wali kota sejak 28 September 2010, merasakan betul perubahan mindset warga Surabaya tentang kepedulian terhadap kotanya. "Itu yang berat," ujar wanita pertama yang menjadi Wali Kota Surabaya ini.
Surabaya menjadi satu-satunya kota yang mematuhi ketentuan minimal 20 persen peruntukan ruang terbuka hijau di Indonesia. Ini berkat penataan kota yang tak merusak master plan. Gebrakan penghijauan Risma ini tak lepas dari kepatuhannya dalam menjaga tata kota sejak pertama diciptakan.
"Dia melakukan in-fill atau mengisi master plan kota. Tanpa in-fill, tata kualitas kota akan semakin buruk. Risma paham soal itu. Dia termasuk orang yang setia," kata Johan Silas, ketua tim penyusun master plan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia itu, pekan lalu.
Johan, arsitektur dan ahli tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, mengatakan, tanpa pengembangan kota seperti yang dilakukan Risma, mutu suatu kota tidak bisa dijaga dengan baik. Menurut dia, Risma—alumnus arsitektur ITS—selalu memerangi berbagai bentuk penyimpangan RTRW.
Ia mencontohkan jalan tol tengah kota yang sempat ramai diperbincangkan kalangan legislatif karena tercantum dalam revisi RTRW. Wacana itu membuat Risma murka. "Jalan tol itu akan merusak sistem semi grade yang sudah ada dalam master plan sejak 1973. Pusat kota berikut kota tua Surabaya bisa rusak," ujarnya.
Johan menjelaskan, master plan Surabaya dibangun menganut pola semi grade. Pola ini mengatur lalu lintas yang menyebar sehingga beban kota tidak berpusat di tengah kota. "Coba lihat, Surabaya tidak pernah benar-benar macet karena arteri sudah diatur dengan baik," ucapnya.
Selain itu, Risma sangat peduli terhadap pengaturan taman dan estetika perkotaan, seperti penataan taman, pembangunan taman baru, serta penataan jalur pedestrian. Geliat pembangunan taman mulai meningkat ketika ia menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya pada 2005.
Revitalisasi dan penambahan jumlah taman kota dilaksanakan. Gebrakan pertama adalah perombakan 13 stasiun pengisian bahan bakar umum. Lahan SPBU yang masa perizinannya habis dikembalikan fungsinya sebagai ruang terbuka hijau. "Sebelumnya sempat menyalahi fungsi," kata Kepala Seksi Pertamanan DKP Surabaya Gingin Ginanjar.
Pada 2006, Taman Bungkul yang kumuh direvitalisasi dengan dana corporate social responsibility PT Telkom Indonesia. Perubahan yang tak kalah signifikan adalah revitalisasi sepuluh titik di sepanjang Sungai Kalimas. "Tapi yang terealisasi baru enam titik," ujarnya.
Pembangunan taman tersebut didasari kebutuhan warga. Sesuai dengan arahan Risma, taman dibuat unik dengan tema berbeda. Tujuannya agar menarik minat masyarakat Surabaya. "Tapi, selain itu, Ibu menekankan bahwa taman itu harus memfasilitasi ruang yang sudah ada," ucap Gingin.
Contohnya adalah taman di Jalan Kombespol M. Duryat. Taman yang berada di median jalan itu semula digunakan anak-anak untuk bermain bola. Dinas Pertamanan berpendapat, jika semua median jalan ditata kembali menjadi taman, anak-anak akan kehilangan tempat bermain. Akhirnya, dibuatlah lapangan sepak bola yang dilengkapi pagar kawat di salah satu sisi taman.
Lalu ada Taman Jayengrono, bagian dari revitalisasi kawasan Jembatan Merah. Sejak 2008, pemerintah kota berupaya memperbaiki taman yang hanya berupa monumen tersebut. Kini, Taman Jayengrono memiliki ruang yang lebih luas bagi warga Surabaya untuk berkumpul dan beraktivitas. Perbaikan ini menelan biaya lebih dari Rp 7 miliar.
Untuk itu pula Risma menggencarkan kegiatan ekonomi yang berintegrasi dengan taman di Surabaya. Ia menekankan, selain sebagai sarana rekreasi dan tempat berkumpul warga, pembangunan taman harus mendukung peningkatan ekonomi. "Saling support. Seperti pembangunan sentra kuliner, di situ ada taman yang juga tempat bermain," ujar Gingin.
Menuju smart and green city, Surabaya terus berbenah. Meski syarat minimal ruang terbuka hijau seluas 20 persen telah dipenuhi, Risma menargetkannya menjadi 30 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo