Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersandung Debitor Kampoeng

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyaluran ratusan miliar rupiah KUR BNI macet dan terindikasi fiktif. Ada dugaan keterlibatan orang dalam bank.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPAN unit rumah berkerangka baja itu tidak beratap. Kusen jendela dan pintu dibiarkan menganga. Merupakan bagian dari 500 unit yang rencananya dibangun Pemerintah Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, rumah-rumah itu mulai digarap dua tahun lalu. Dengan tipe 36/96, sasaran proyek ini adalah para pegawai negeri sipil golongan rendah di Sidrap, dengan harga per unit dibanderol sekitar Rp 70 juta.

Muhammad Nasir, pegawai negeri Kabupaten Sidrap, mengatakan para pegawai sepertinya kurang berminat membeli rumah dari proyek itu. Alasannya, kendati cukup dekat dari kantor Pemerintah Kabupaten Sidrap, lokasi perumahan di Kelurahan Arawa, Kecamatan Wattang Pulu, itu berada di pinggir bukit, berbatu cadas, dan gersang. "Makanya terbengkalai," ucapnya Kamis pekan lalu.

Proyek mangkrak itu adalah salah satu temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di PT Bank BNI (Persero) Tbk pada 2010. Audit masuk laporan hasil pemeriksaan sementara semester I 2014, yang diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada awal Desember tahun lalu. Di situ terungkap total penyaluran KUR yang menjadi sampling BPK dan terindikasi sebagai kredit fiktif mencapai Rp 155 miliar. Salah satunya KUR untuk proyek pembangunan perumahan PNS di Sidrap tersebut.

Dalam proyek perumahan itu, dana KUR disalurkan melalui PT Lakban Silinggapuri, anak perusahaan Simpang Jaya Dua. Simpang Jaya adalah perusahaan peternakan sapi yang berkantor di Subang, Jawa Barat. Namun, dalam catatan BNI, debitor penerima KUR di Parepare adalah delapan nasabah, yang belakangan diduga terafiliasi dengan PT Lakban.

Hasil penelusuran BPK menunjukkan keanehan karena Didi Supriadi-lah, pemilik PT Lakban, yang datang ke BNI Sentra Kredit Kecil (SKC) Parepare bersama Pemimpin Wilayah BNI Makassar, Sulawesi Selatan, yang membawahkan BNI Parepare. Didi datang untuk mengajukan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan lewat KUR.

Delapan perusahaan itu mengajukan fasilitas pembiayaan perumahan melalui KUR sebesar masing-masing Rp 500 juta. Jumlah ini merupakan batas atas plafon KUR. Dalam proposal bisnis proyek perumahan PNS milik delapan debitor, PT Lakban disebutkan sebagai pelaksana proyek.

Setelah auditor BPK masuk, seluruh kredit yang terkait dengan Didi dievaluasi. Hasilnya, kata seorang pemeriksa kredit di BNI, proyek properti itu hanyalah kedok. Mayoritas dana KUR tidak dikucurkan untuk mengongkosi proyek yang diajukan sesuai dengan proposal. "KUR diduga masuk ke PT Lakban," ujarnya.

Seorang pengembang perumahan PNS di Sidrap mengatakan modus PT Lakban melarikan dana KUR dengan cara mensubkontrakkan proyek perumahan. Tujuannya untuk menyunat ongkos produksi, yang rata-rata mencapai Rp 42 juta per unit. Rantai subkontrak proyek ini pun tak hanya berhenti di satu lapis. Ujungnya, penerima proyek paling akhir akan mendapatkan harga terlalu rendah, sehingga tak layak lagi dijalankan sesuai dengan rancangan awal. "Perusahaan subkontraktor akhirnya memilih cabut," katanya.

Menurut pengembang itu, selain di Sidrap, proyek perumahan PNS dibangun di Mamuju Utara, Sulawesi Barat; dan Poso, Sulawesi Tengah. "Pelaksananya juga PT Lakban." Sekretaris Daerah Kabupaten Sidrap, Ruslan, enggan mengomentari mangkraknya proyek properti itu. Saat dihubungi Jumat pekan lalu, ia menjawab singkat, "Saya sibuk."

Nama Didi Supriadi pun terdeteksi bukan hanya melalui KUR yang tersalur lewat BNI di Parepare. Modus yang kurang-lebih sama terendus auditor di BNI SKC Majalengka di Jawa Barat dan SKC Ambon di Maluku. Di Majalengka, ada enam debitor yang dipakai Didi sebagai kendaraan, dengan total KUR Rp 3 miliar. Adapun di Cabang Ambon, ada 13 debitor yang terafiliasi dengan PT Lakban dengan KUR sebesar Rp 5 miliar. Seluruh kredit ini macet sejak Oktober dua tahun lalu.

Auditor BPK menuliskan, nasabah-nasabah penerima KUR dipakai Didi karena dia tak bisa menggunakan namanya atau PT Lakban lantaran keduanya tercatat sebagai debitor pada kredit kelas menengah. "Apabila menggunakan debitor atas nama Didi Supriadi dan PT Lakban Silinggapuri, tidak bisa diproses untuk mendapatkan fasilitas KUR."

* * * *

SEORANG pegawai di BNI mengatakan sukses Didi mengantongi KUR tidak lepas dari peran orang dalam di bank pelat merah itu. PT Lakban bukan perusahaan baru bagi BNI. Didi Supriadi, warga Subang, merupakan nasabah lama. Dia juga memiliki Grup Simpang Jaya Dua, yang tercatat sebagai nasabah di BNI Sentra Kredit Menengah Bandung. Selain itu, Didi dikenal sebagai pengelola "Kampoeng BNI" di Subang, yaitu program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui penyaluran kredit lunak dengan sistem cluster sejak 2007.

Grup Simpang Jaya Dua juga tercatat di Purwakarta. Selain memiliki PT Lakban Silinggapuri dan Simpang Jaya Dua, Didi diduga terafiliasi dengan lima perusahaan yang tercatat sebagai debitor di BNI SKC Sukabumi dan Cirebon. Skema kredit yang dikantongi Didi berupa kredit menengah, ketahanan pangan dan energi, serta retail, yang plafonnya mencapai Rp 167 miliar dengan baki debit (yang sudah ditarik) mencapai Rp 141 miliar.

Nama "besar" Didi, menurut pegawai divisi kredit macet BNI, membuat pengajuan KUR-nya lancar jaya. Kendati menggunakan nama nasabah baru dan tersebar di berbagai tempat, pengajuan Didi kebanyakan disetujui. Kepiawaian Didi adalah membuat laporan keuangan nasabah memenuhi syarat pengajuan KUR. "Ada orang BNI yang membantu," ujarnya.

Temuan auditor BPK bahkan menyebutkan bukan Didi yang mengajukan KUR, melainkan BNI yang meminta Didi karena pemerintah menekan bank ini untuk agresif menyalurkan KUR pada 2010. Pada September tahun itu, penyaluran KUR BNI baru mencapai 12,23 persen dari total Rp 3 triliun. Dua bulan kemudian, Divisi Usaha Kecil BNI menggenjotnya.

Ujung tombak pencarian debitor adalah BNI Sentra Kredit Kecil dan Cabang Stand Alone di berbagai daerah. Setelah memetakan debitor, tim kemudian memilih debitor yang didekati untuk mendapatkan KUR. "Didi Supriadi adalah debitor potensial," begitu auditor BPK menulis dalam laporannya.

Seorang petugas kredit BNI yang tahu proses pengucuran kredit ini mengatakan dipilihnya Didi bukan sekadar prosedur biasa. "Ada rekomendasi pemimpin wilayah dalam pra-komite kredit," katanya. Didi juga dinilai gemar menyebut kedekatannya dengan Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo. "Ke mana-mana, Didi selalu menunjukkan foto dengan Dirut BNI," ucap si karyawan.

Tapi, apa daya, praktek penyaluran kredit ini berujung pada macetnya pelunasan sejak Oktober 2012. Audit internal di BNI yang menemukan bisnis Didi di Majalengka mulai menyala merah. Usaha peternakan sapi milik Didi di Subang juga rontok.

Seorang pegawai BNI bercerita, proposal bisnis sapi itu dulu diajukan Didi untuk menangguk kredit usaha kelas menengah senilai Rp 43,5 miliar. Tim penilai BNI yang turun ke Subang menemukan puluhan sapi yang diakui sebagai milik Simpang Jaya Dua Group. Belakangan, ketika audit internal BNI mencium ketidakberesan, tim kedua yang datang ke Subang mendapat informasi bahwa sapi itu dipinjam Didi dari warga di Subang, Indramayu, hingga Majalengka.

Saat Tempo berkunjung ke peternakan sapi di lereng Gunung Aul, Desa Ciarangkong, Kecamatan Cijambe, itu pekan lalu, terlihat kandang yang terbuat dari kayu tersebut tidak terawat. Bangunan gudang dan pendapa juga terlihat reot. Tapi peternakan Didi tak bisa ditemukan.

Tempo, yang mengunjungi kantor Simpang Jaya Group di Jalan Raya Mundusari Timur Km 4 Pusakanagara, Subang, juga tak mendapatinya. Dua karyawannya, Dyah dan Jabray, mengatakan bosnya tidak sedang di tempat. Menurut Jabray, bisnis Didi yang tersebar di beberapa daerah membuat Didi kerap ke luar kota. "Di Majalengka dan Ambon punya bisnis perumahan." Soal macetnya kredit dan lain-lain, para pegawai itu tak bisa memberi penjelasan. Upaya Tempo mendapatkan konfirmasi ke kantor Didi yang lain di Jakarta dan Subang pun tak direspons.

Adapun Gatot Suwondo mengaku mendengar namanya kerap dicatut Didi. Tapi ia mengatakan tidak mengetahui Didi mengajukan kredit ke BNI untuk bisnis properti. "Saya instruksikan kepada staf BNI, kalau ada yang fiktif, gunakan jalur hukum," katanya melalui pesan pendek, Jumat pekan lalu.

Auditor Utama BPK Abdul Latief enggan berkomentar panjang mengenai hasil pemeriksaan mereka. Ia mengatakan semua temuan auditor sudah dituangkan di dalam laporan resmi. "Itu hasil pemeriksaan reguler," ujarnya.

Akibat kredit macet seperti yang dilakukan Didi Supriadi, tingkat kemacetan KUR di BNI pada Mei 2013 sempat tercatat mencapai 10,1 persen. Untuk menguranginya, diterbitkan kebijakan mengeluarkan kredit macet Didi dari neraca keuangan BNI sepanjang 2014.

Akbar Tri Kurniawan, Martha Tertina, Suardi Gattang (Sidrap), Nanang Sutisna (Subang)


Tak Wajar atau Terindikasi Bodong

Dalam laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan yang diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada awal Desember tahun lalu, diungkap beberapa dugaan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui PT Bank BNI Tbk yang tak wajar atau terindikasi fiktif. Berikut ini di antaranya.

1. KUR Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 2012

  • Bidang: Perkebunan kelapa sawit
  • Jumlah: 295 debitor
  • Temuan: Rp 78,91 miliar diragukan kewajarannya, Rp 47,39 miliar terindikasi fiktif.

    2. KUR BNI 2013
    Sentra Kredit Kecil Kudus

  • Bidang: Budi daya jagung
  • Jumlah: 145 debitor
  • Temuan: Analisis KUR Rp 2,77 miliar tidak memadai.

    Kredit Serba Usaha YAM Karanganyar

  • Bidang: Koperasi simpan pinjam serta perdagangan pupuk dan obat-obatan pertanian.
  • Temuan: KUR tidak digunakan untuk pembiayaan kepada end user minimum Rp 1,17 miliar. Berpotensi merugikan BNI Rp 1,05 miliar.

    BNI Wilayah Semarang kepada CV AJ

  • Bidang: Perdagangan buku dan alat peraga pendidikan.
  • Temuan: Kredit tidak tertagih Rp 336,88 juta, kerugian negara Rp 34,13 juta.

    BNI SKC Bandung kepada peternak sapi Grup Simpang Jaya Dua milik Didi Supriadi

  • Plafon: Rp 25 miliar
  • Temuan: KUR berpotensi merugikan BNI Rp 13,68 miliar, potensi kerugian negara Rp 1,95 miliar.

    SKC Tasikmalaya kepada 20 kelompok ayam petelur dan 60 kelompok ayam pedaging

  • Plafon: Rp 77,77 miliar
  • Temuan: Kredit tidak sesuai dengan ketentuan Rp 17,27 miliar, kerugian negara Rp 1,56 miliar.

    UKC Majalengka, SKC Parepare, dan SKC Ambon kepada PT Lakban Silinggapuri

  • Bidang: Pembangunan perumahan pegawai negeri sipil.
  • Plafon: Rp 12 miliar
  • Temuan: Penyaluran KUR merugikan negara Rp 9,53 miliar.
    Sumber: BPK, Komite KUR diolah PDAT

    Target Penyaluran KUR BNI

  • 2010 : Rp 3 triliun
  • 2011 : Rp 3,34 triliun
  • 2012 : Rp 4 triliun
  • 2013 : Rp 4,19 triliun
  • 2014 : Rp 3,38 triliun (realisasi sampai Oktober)
    Sumber: BPK, Komite KUR diolah PDAT
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus