Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencintai Jakarta Secara <font color=#993300>Ruang Rupa</font>

Ruang Rupa mengembangkan bentuk kesenian berbasis proyek kolaborasi dan telaah. Karyanya mengkritik Jakarta dengan melucu.

10 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROSLISHAM Ismail, seniman pengembara dari Kuala Lumpur, Malaysia, agak terkejut ketika pertama kali mengikuti program residensi Ruang Rupa enam tahun lalu. Dia mengira program ini serupa dengan kegiatan sejenis yang mengundang seniman bermukim di satu tempat dan menciptakan sebuah karya. Dia keliru.

Selama sebulan di Jakarta, dia bersama peserta lain, yakni Haryono dari Institut Kesenian Jakarta, Tasya P. Maulana dari Universitas Paramadina, Arief Rahman dari Universitas Negeri Jakarta, dan Reza Afisina dari Ruang Rupa, terlibat dalam proyek CCCP Unity, yang boleh diberi kepanjangan apa saja. ”Ternyata isinya cuma ngobrol, ngobrol, ngobrol, minum kopi, ngobrol lagi,” tutur Ise, sapaan Roslisham, dalam diskusi yang menyertai pameran Decompression #10 Ruang Rupa di Galeri Nasional Indonesia, Selasa pekan lalu. Setiap omongannya, yang paling remeh sekalipun, kata alumnus Mara University of Technology, Malaysia itu, akan ditanggapi serius peserta lain.

Ise sebenarnya sudah menyiapkan bahan-bahan untuk menciptakan karya, tapi akhirnya ditinggal, karena proyek ini mengasumsikan peserta berangkat dari nol dan mengembangkan karya secara kolaboratif. ”Para seniman boleh membuat apa saja dan boleh juga tidak membuat apa pun,” kata Ade Darmawan, Direktur Ruang Rupa.

Ise akhirnya mengangkat pengalamannya beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan di Jakarta, terutama bahasanya, ke dalam sebuah video. Sejak itu dia sering mampir di Ruang Rupa setiap ada kesempatan. ”Saya suka Ruang Rupa, karena di Jakarta ide saya bisa mengalir begitu saja,” katanya. Ruang Rupa, menurut dia, telah memberi ruang bagi gagasan dan karya eksperimental yang selama ini tak diakomodasi galeri seni atau ruang berkesenian lainnya.

Pengakuan Ise ini menggarisbawahi peran yang selama ini telah dimainkan Ruang Rupa, komunitas seni di Jakarta yang berdiri pada 1 April 2000 dan mengembangkan bentuk kesenian berbasis proyek kolaborasi. Pameran Decompression #10 yang berlangsung 28 Desember 2010 hingga 12 Januari 2011 juga menjadi semacam retrospeksi satu dekade perjalanan komunitas yang didirikan seniman muda Ade Darmawan, Hafiz, Lilia Nursita, Oky Arfie, Rithmi, dan Ronny Agustinus. Semuanya alumni IKJ kecuali Ade, yang kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Rijksakademie van Beeldende Kunsten-Institute, Belanda.

Komunitas ini berdiri di tengah iklim yang tak ramah bagi seniman muda: galeri yang tak bisa menampung gagasan dan karya mereka, merebaknya video dan performance art sebagai media ekspresi baru, dan kebutuhan untuk terlibat dalam masalah di sekitar mereka. ”Kami ingin mengembangkan seni rupa yang tak hanya sebagai pola produksi, tapi juga pola telaah dan berhubungan dengan sekitarnya. Karena kami di Jakarta, masalah Jakarta menjadi fokus kami,” kata Ade.

Modal awal mereka cuma Rp 5 juta, yang didapat dari penggalangan dana saat meluncurkan lembaga mereka di Galeri Cemara atas bantuan sesama seniman dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. ”Banyak yang mengucapkan ’Good luck!’ saat itu. Ada pula yang berkomentar, ’Ah, paling setahun lu’,” kata Ade.

Dengan dana itu mereka mengundang Apotik Komik dan Taring Padi, dua komunitas di Yogyakarta, untuk berkolaborasi dalam proyek pertama bertema ruang publik. Karena belum punya ruang, mereka meminjam Studio Hanafi di Depok. Hasilnya macam-macam, seperti Taring Padi, yang membuat karya di bantaran Kali Ciliwung bersama komunitas Romo Sandyawan dan Apotik Komik dalam pembuatan maket-maket transportasi.

Kehidupan lembaga itu tak menentu. Tabungan yang mereka sisihkan dari setiap kegiatan itu hanya cukup untuk hidup dua-tiga bulan. Namun titik cerah perjalanan kelompok ini mulai muncul pada 2002. Kala itu para seniman alumni Rijksakademie membentuk RAIN, jaringan para seniman di belahan bumi bagian selatan yang didukung Kementerian Luar Negeri Belanda. Ruang Rupa pun bergabung dan sejak itu mereka mulai menggelar proyek berskala internasional dengan melibatkan para seniman anggota jaringan, seperti dari Amerika Latin, India, Brasil, dan Afrika Selatan.

Tahun itu nama mereka semakin harum setelah video karya Reza Afisina dari Ruang Rupa tampil dalam Gwangju Biennale ”Paus”, Korea Selatan, dan mendapat penghargaan UNESCO untuk ”promosi seni”. Pameran Gwangju ini juga menjadi pusat perhatian internasional karena menjadi pameran akbar internasional pertama yang memusatkan perhatian pada komunitas seni dan seni publik.

Sejak itu Ruang Rupa berkembang. Tak hanya mengadakan kolaborasi, penelitian, dan residensi seniman, tapi juga menggelar OK Video, festival video internasional dua tahunan; Jakarta 32°C, pameran seni rupa dua tahunan mahasiswa Jakarta; lokakarya kurator dan penulisan seni rupa; menerbitkan jurnal Karbon; serta membuka Ruru Gallery bagi seniman dan kurator muda berpameran.

Dalam pameran retrospektif bertema Merentang Ruang Publik saat ini, semua kegiatan mereka diringkas dalam empat bagian. Setiap bagian menampilkan karya-karya terpilih. Pertama, Ruru & Friends, yang dikuratori Agung Hujatnikajennong, menampilkan karya para seniman yang pernah terlibat dengan mereka. Ruru.net, yang dikuratori Reza Afisina dan Iswanto Hartono, menampilkan lembaga yang pernah bekerja sama dengan mereka. Ruru.zip, yang dikuratori Farah Wardani dan Ugeng T. Moetidjo, menyajikan arsip lama mereka. Terakhir, Jakarta 32°C-2010, yang dikuratori Forum Jakarta 32°C, memamerkan karya para mahasiswa Jakarta tentang kotanya.

Pameran ini menunjukkan tema konsisten yang diusung Ruang Rupa selama ini, yakni isu perkotaan dan video seni. Misalkan dalam video Jalan Tak Ada Ujung (2006) karya Maulana Muhammad Pasha dari Forum Lenteng, dan proyek Picnic Kit, yang melibatkan Ari Dina Krestiawan dari Jakarta, Irayani Queencyputri dari Makassar, dan fotografer Sebastian Friedman dari Argentina.

Video Maulana ditayangkan bersama beberapa karya video lain di sebuah televisi di ruang lobi. Tayangan itu seperti kamera yang mengikuti seseorang yang sedang berjalan menyusuri gang-gang sempit di sebuah perkampungan di Jakarta. Ini memang kisah seorang pemuda yang mencari rumah kawannya. Dengan dipandu sang kawan lewat telepon, kita diajak sang subyek menyusuri labirin perkampungan padat penduduk itu selama tujuh menit.

Adapun Ari Dina membuat video Picnic Kit (2006) sepanjang 8 menit. Tayangan di televisi itu mengingatkan kita pada siaran iklan. Dan memang inilah iklan Picnic Kit, sebuah kotak perkakas praktis untuk bertamasya. Kotak itu bisa dilipat dan memuat berbagai barang. Ari memparodikan iklan televisi dengan menggambarkan bagaimana praktisnya barang dagangannya, cara menggunakannya, hingga pengakuan konsumen: ”Hidup saya jadi tambah bergairah sejak memakai Picnic Kit,” ujar seorang pria muda di tayangan tersebut.

Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, itu menggenapi proyek seni tentang liburan di Jakarta ini dengan sebuah instalasi di ruangan lain. Instalasi itu terdiri atas sebuah televisi yang menayangkan iklan tadi dan tikar kotak-kotak merah khas untuk berpiknik yang di atasnya berserak berbagai barang, seperti camilan, botol minuman, gelas-gelas, serta permainan monopoli dan ular tangga. Ada pula buku gambar, pensil, dan alat gambar lain. Pada Kamis dua pekan lalu, seorang gadis kecil malah asyik menggambar di buku itu, seakan-akan sedang liburan.

Karya dan proyek itu menunjukkan bagaimana seniman menyerap kehidupan Jakarta serta mengkritiknya secara santun dan kadang lucu. Mereka mencintai kota ini, meski tahu betapa buruk polusinya, betapa kacau politiknya, dan betapa menyedihkan kehidupan sosialnya. ”Alih-alih proyek-proyek itu pada dasarnya adalah suatu upaya mendedahkan suatu kompleksitas sekaligus menghapus stereotipe-stereotipe kebenaran, atau klise mengenai pengalaman hidup di negara berkembang seperti Indonesia,” kata Agung Hujatnikajennong.

Mereka tidak menyalahkan siapa pun, tidak pula mencaci-maki. Mereka mencatat, merekam, dan mencoba memahaminya. Untuk mencapai itu dibutuhkan telaah. Itu sebabnya, diskusi menjadi hal pokok dari proyek seni mereka. Dalam batas tertentu jalan pilihan Ruang Rupa termasuk seni konseptual, gerakan seni rupa kontemporer yang berkembang di Inggris dan sering dikaitkan dengan Turner Prize, penghargaan prestisius seni rupa di sana. Gagasan menjadi inti dari kesenian, sebagaimana ditahbiskan seniman Amerika Serikat, Joseph Kossut, pada 1969: ”Semua seni (setelah Duchamp) adalah konseptual, karena seni hanya ada secara konseptual.” Marcel Duchamp adalah seniman Prancis yang mengguncang dunia seni karena mengirim sebuah kloset ke pameran seni rupa.

Tapi Ruang Rupa juga mengembangkannya ke tataran sosial. Ada partisipasi publik di situ. ”Ini bukan soal karya, tapi mengumpulkan hal-hal tentang Jakarta, mengumpulkan memori. Apa yang terjadi sekarang, kita tangkap sekarang,” kata Jean-Gabriel Périot, seniman Prancis yang berpartisipasi dalam OK Video-Militia 2007. ”Yang saya suka dari kegiatan ini adalah karena ia melampaui karya yang dibuat. Setiap proyek tak ada akhirnya. Anda selalu memperbaruinya. Kamu berkeliling, mengobrol dengan orang-orang, lalu kembali dan memperbarui karyamu.”

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus