Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABUT tipis menyeruak di lereng barat Gunung Lawu sepanjang Jumat-Sabtu dua pekan lalu. Dua hari di pengujung 2010 dan awal 2011 ruang-ruang masa silam seperti hadir kembali. Tafsir sejarah yang masih berkelindan di antara rekam arkeologis dan catatan kesusastraan dibiarkan merdeka. Tak disentuh, tapi didekati. Kecairan kuat tertangkap dalam Srawung Seni Candi VII di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Candi yang dibangun pada 1419 itu menjadi magnet perhelatan.
Selama dua hari, berbagai performance art seperti memecahkan kesunyian candi. Durasi setiap penampilan rata-rata 15 menit. Ratusan penduduk sekitar candi yang tiap hari mengepung pementasan menunjukkan betapa lintas peradaban bisa bertemu dalam kekinian yang hangat.
Ketika Laura O’Brien (Irlandia), Annie Brook (Amerika Serikat), dan Cempluk Lestari menghadirkan kolaborasi dialog diiringi gerak tubuh, penonton turut hanyut dalam percakapan. Pemain yang berdialog dengan bahasa ibu masing-masing tak menjadi kendala bagi penduduk menafsirkan maksud pertunjukan. ”Londo-Londo meniko, bade matur suwun dumateng panjenengan sedoyo, karena diperbolehkan turut melestarikan candi gede meniko,” kata Cempluk, disambut jawaban kor penduduk, ”Nggih... tengkiyu….”
Tak hanya menjawab sapaan, penonton juga turut berceloteh ketika Annie menggerakkan tarian pemujaan sambil menyenandungkan ratapan suku Indian di Colorado, tempat Annie lahir. Mereka takjub, orang asing begitu menghormati budaya leluhur mereka. ”Elok tenan,” kata Pak Kemis, warga setempat. Ruang repertoar menjadi begitu longgar. Sekat ketat penonton dan seniman cair dalam dialog dan gerak tubuh. Sesuatu yang tak mungkin terjadi di panggung teater dunia seperti Broadway di New York, Amerika, atau Grand Canal Theater di Dublin, Irlandia.
”Kami mendekati masa silam melalui olah gerak seni budaya berbagai bangsa di dunia dalam spektrum candi,” kata Suprapto Suryodarmo, pendiri Padepokan Lemah Putih, yang menggagas acara. ”Biarkan candi kembali dimiliki masyarakat.”
Pilihan pada Candi Sukuh bukan keputusan sesaat. Lebih dari 40 tahun Prapto—panggilan Suprapto Suryodarmo—berolah gerak di candi tinggalan Raja Brawijaya terakhir itu. Eksplorasi dalam banyak ruang candi, seperti Borobudur, Sewu, Prambanan, Plaosan, dan Ceto, selalu bermuara ke Candi Sukuh. Selain unik karena bentuknya seperti piramida terpancung, Sukuh menyuguhkan banyak lintas peradaban dunia. Prapto merasa mendapati roh piramida Mesir kuno; atmosfer suku Maya, Inca, dan Aztec di Amerika Latin; spiritual Hindu, Buddha, serta obelisk; dan berbagai fragmen kehidupan.
Pada 1997, penari Korea, Kan Manhoong, menjejakkan kakinya di Candi Sukuh, berkolaborasi dengan penari Indonesia. Di bawah purnama bulan, ia menarikan Gora Goda bersama Restu Imansari, Tony W. Nasution, Margesti, dan I Made Mariase. Tari yang menafsirkan gerak erotisme itu pernah dipentaskan 10 hari di Teater La Mama, New York. Manhoong, yang menekuni Zen, amat terpikat hawa Sukuh yang membuatnya tenteram berkelana dalam relung meditasi.
Relief kisah Dewa Ruci yang mengajarkan pencerahan jari diri, atau Sudamala yang berkisah tentang metamorfosis Betari Durga menjadi wanita jelita adalah artefak yang tak ada habisnya dieksplorasi. Juga cerita Garudeya, lambang filosofis Bhinneka Tunggal Ika. Atmosfer kelampauan waktu menjadi oasis bagi alam modern. Sukuh yang juga dikenal sebagai petilasan porno karena ada relief lingga-yoni dan arca berdiri dalam posisi samabhangga (tegak) tanpa kepala yang tangannya memegang penis menggugah tafsir dialog manusia dengan Sang Pencipta.
”Itu bukan porno, melainkan bagian dari ritus memohon kesuburan tanah kepada Sang Pencipta,” kata M. Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang. Bertahun-tahun Dwi meneliti simbol seks dalam ritus kesuburan pada arca dan relief candi. Pada zaman Majapahit, kehidupan agraris bersenyawa dengan tradisi Megalitik. ”Dari situlah munculnya simbol seks sebagai permohonan kesuburan tanah.”
Dalam pementasan tunggal Story of Uma, Annie Brook mengekspresikan tafsir relief kisah Betari Durga. Sambil berteriak-teriak, ”Uma... Uma...,” dia mengitari pelataran candi, meraba relief sambil mengucap lirih, ”sirnalah kutukan, sirnalah kutukan.” Betari Durga yang kerap disebut Uma adalah wujud raksasa perempuan. Tapi di mata Annie, Uma adalah wanita dahsyat. ”Dia pelopor kebangkitan perempuan dalam kisah pewayangan.”
Komunitas Seni Teku asal Yogyakarta juga menggali cerita dari relief Candi Sukuh dalam lakon Brungkat. Diterpa hujan lebat, benang warna-warni direntangkan dari puncak ke sekitar candi. Membentang bagai permadani suargaloka. Olah gerak dalam diam menggambarkan Werkudara bertemu dan masuk ke dalam raga sang guru sejati Dewa Ruci untuk menerima wejangan. Di akhir cerita, muncul lelaki dengan kayu merah di dua tangannya, mengepakkannya laksana sayap. Ya, dia adalah Garudeya, si burung raksasa garuda.
Sejarah, mitologi, serta kajian sosial menyatu dan akrab dalam pementasan. ”Kisah Dewa Ruci dan Garudeya sebenarnya tak berkaitan, tapi kami mempertemukannya di Candi Sukuh,” kata Ibed Surgana Yuga, sutradara Brungkat.
Suasana magis juga berseliweran. Seperti ketika Kidung Panulak ditembangkan belasan santri Santiswaran Masjid Nurul Huda, Jebres, Solo, dengan alunan rebana. Tembang ciptaan Raja Keraton Surakarta Paku Buwana X itu diharapkan menjadi tawasul menghindarkan candi dari kerusakan fisik dan spiritual. Grup Reog Bayu Seto, Sukoharjo, juga melakukan ritual membentengi Candi Sukuh. Amboi, sinkretisme adiluhung di tengah banyaknya percikan bara berebut kebenaran iman yang sedang berdebam di mana-mana.
Tari kontemporer Purusa Pradana yang dibawakan Agung Rahma Putra dan Kinanti Sekar Rahina membuat pelataran candi begitu romantis. Konsep penciptaan dalam Hindu ditampilkan dalam gerak ritmis. Setahun sebelumnya, tari ini pernah dipentaskan di Jepang—meraih juara ketiga Next Dream 21 Dance Contest Volume 9.
Empu perkusi I Wayan Sadra hadir tanpa alat pukul. Dalam aksi musikal Bunyi bagi Alam Semesta, dia memainkan alat musik genggong atau jew’s harp. Suara seperti angin, burung, katak, dan tetes air berkumandang dari alat musik di ujung mulut Sadra. ”Alam telah lama tersiksa oleh kebisingan, mari kita hibur dengan suara alam,” kata dosen Institut Seni Indonesia Surakarta itu.
Dua hari pementasan memang terasa pendek. Deretan seniman dari berbagai bangsa lebur dalam srawung bersama penduduk setempat. Komunikasi horizontal tanpa membedakan siapa, genre, bentuk, atau komposisi berkesenian. Forum Boworoso Tosan Aji Sudjatmoko turut memperkaya pergelaran. Juga Miroto (Yogyakarta); Frances Mezzeti, Saille Mawson (Skotlandia); Andrew Carey, Usha Mahenthiralingam, Clare Ballard, Lynda Bransbury, Sandra Reeve (Inggris); Maya Cockburn, Theresa O’Driscoll, Theresa Burke (Irlandia); Sahita, Djarot B.D. (Solo); Hinaq Denga’an (Kutai); Leonie Northfield (Australia); Estefania Pifano (Venezuela); Britta Goellner (Jerman); Appakia (Makassar); dan Ketoprak Ngampung (Solo).
Budayawan Halim H.D. menilai Srawung Seni Candi berhasil menyuguhkan konsep seni pertunjukan partisipatif. ”Ada pelibatan publik,” katanya. Sebuah perlawanan pada budaya menonton yang tak harus diam dalam ruangan.
Maestro gerak tubuh seperti Suprapto Suryodarmo tentu kian teguh: bahwa candi adalah medan magnet. Jaringan pelaku seni pertunjukan di candi harus terhubung. Kesenyapan masa silam biar tetap diam dalam ruang sejarah. Tapi rohnya tetap bisa dijangkau, diraba, melalui jembatan-jembatan batin meditatif dan kreatif. Kabut tipis lereng barat Gunung Lawu pastilah tetap setia menjadi penyaksi.
Dwidjo U. Maksum, Seno Joko Suyono, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo