PERGELARAN Nusantara Chamber Orchestra (NCO) di Golden Ball Room Hotel Hilton Jakarta, Selasa pekan lalu, menyuratkan empat hal penting untuk dibicarakan. Pertama, naskah musik yang dipilih oleh Jazeed Djamin, sang dirigen, yaitu Simphony in D Minor dari Cesar Frank dan Concerto for Piano & Orchestra in G Major dari Maurice Ravel menandakan adanya usaha penerobosan terhadap kemandulan musik-musik orkes yang biasa kita dengar di sini. Tantangan untuk mementaskan naskah-naskah musik seperti ini terutama keterampilan teknik pemain orkes di Indonesia yang masih belum memadai. Karena itu NCO perlu mengundang beberapa anggota Singapore Symphony Orchestra (SSO) untuk bergabung. Jika hal ini tidak dilakukan, nasib NCO mungkin tidak akan berbeda dengan ''almarhum'' Orkes Simfoni Jakarta yang repertoirnya sangat terbatas. Dalam konteks itulah muncul hal kedua yang menjadi penting dari pergelaran tersebut, yaitu adanya organisasi Friends of Nusantara Chamber Orchestra yang memproduksi konser NCO dengan pendanaan yang memadai. Hal penting ketiga adalah penonton yang secara rutin mau mengunjungi pertunjukan musik klasik, sekalipun malam itu mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 20.000. Konser itu dipenuhi sekitar 900 penonton. Hal keempat adalah regenerasi, walaupun ini masih terbatas pada regenerasi pemain instrumen tertentu, dalam hal ini pemain piano. Hanya pada pianolah Indonesia mampu melahirkan para pemain musik klasik yang berkaliber internasional. Kemunculan Laksmi Pamuntjak (21 tahun) pada malam itu sebagai solis yang memainkan konserto karya Ravel merupakan bukti dari pernyataan saya tadi. Untuk itu sekolah musik YPM di Jakarta bisa ditunjuk sebagai bengkel utama yang sangat berjasa dalam melahirkan pianis ini. Ditingkah permainan orkes yang masih agak kerepotan dalam meniti jalinan orkestrasi Ravel yang menjelimet, Laksmi bermain dengan ajek, bersih, dan penuh kontrol. Pengalamanlah yang nantinya akan memungkinkan ia untuk memantapkan sentuhan pianistiknya. Secara teknik penampilan konserto Ravel ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan dari para pemain orkes kita di Indonesia. Hanya saja instrumen yang bernama French Horn itu agaknya memang merupakan musuh bebuyutan orang Indonesia, sehingga dalam sejarah penampilan orkes-orkes simfoni di Indonesia -- tidak terkecuali NCO -- kelemahan seksi tiup ini tak pernah dapat ditutupi. Secara keseluruhan penampilan konserto Ravel ini terasa masih belum mencapai target NCO. Salah satu masalahnya mungkin kurangnya waktu latihan. Para pemain SSO, yang mereka datangkan dari Singapura, juga belum dapat banyak membantu dalam memberikan napas dari musik sang perfeksionis yang bernama Ravel ini. Ravel dikenal sebagai seorang komponis yang bekerja bak seorang pembuat jam dari Swiss. Keutuhan suasana di dalam musiknya dibangun dari jalinan elemen kompositoris dan teknik orkestrasi yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Karena itu cacat permainan yang kecil sekalipun bisa mengganggu keseluruhan suasana yang ingin dibangun. Hanya dengan adanya waktu latihan yang benar-benar memadailah baru NCO rasanya bisa mengiringi seorang pianis seperti Laksmi Pamuntjak untuk memainkan konserto ini dengan baik. Di samping itu Golden Ball Room memang bukan tempatnya bagi kita untuk mendengar sebuah pertunjukan orkes simfoni dengan kualitas suara yang baik, apalagi jika Anda duduk di barisan belakang dengan suara AC yang gemuruh. Bagian kedua konserto ini, yang banyak menampilkan melodi-melodi liris dalam pianisime antara piano dan instrumen tiup, hampir amblas tertelan gemuruh suara AC. Dalam konteks inilah terasa bahwa Jakarta sudah saatnya memiliki sebuah gedung konser berkapasitas besar dengan desain akustik yang benar- benar ampuh. Hanya di dalam kondisi gedung yang memadai inilah masyarakat baru bisa menikmati sebuah pertunjukan musik klasik dengan nyaman. Usai babak pertama pergelaran NCO yang menampilkan karya simfoni C. Frank, seorang teman mengeluh, ''Saya sudah terbiasa mendengar musik klasik melalui teknologi rekaman, mendengarkan kualitas suara NCO ini saya menjadi bingung mana yang salah, orkesnya atau gedungnya?'' Mendengarkan karya dari komponis masa ''Romantik Akhir'' ini memang menuntut keterlibatan emosi yang sangat dalam. Untuk itu seorang pendengar membutuhkan konsentrasi yang tidak kalah tingginya dengan para pemain orkes sendiri. Beruntunglah Jazeed Djamin dengan tongkat dirigennya pada malam itu dapat membuat kita tercekam dengan musik ini. Andaikan saja ia dapat memberikan perhatian yang lebih besar kepada penggarapan unsur kontras antara bagian yang klimaks dan anti-klimaks serta menggali kedalaman musik itu lebih jauh mungkin kita akan sampai pada pengalaman transendental seperti yang dipropagandakan oleh E.T.A. Hoffman dalam membicarakan estetika musik kaum romantik di Barat. Franki Raden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini