Terima kasih atas publikasi TEMPO tentang Punan, hidup dan kehidupannya selayang pandang (TEMPO, 28 November 1992, Lingkungan). Dengan publikasi ini, masyarakat Punan yang berada pada lapisan bawah jadi mencuat ke permukaan. Dilaporkan bahwa Punan Basap termasuk manusia misterius. Sebab, selain tidak banyak literatur yang mengulas kehidupannya secara dalam, juga sulit melacak lokasi permukimannya yang selalu berpindah di daerah bukit batu pedalaman Kalimantan Timur. Pada hemat saya, ciri khas Punan di manamana mirip: ingin bebas di alam, menempatkan kebebasan individu di atas segalagalanya, tidak mempunyai ikatan kesukuan (kelompok) yang kuat, iselffighterr dalam mengumpulkan hasil hutan (babi, rotan, gaharu, damar, sarang burung) karena ingin menunjukkan keperkasaannya menaklukkan alam, menikmati barang konsumtif secara komunal, tertutup, taat pada ilalaur (pamali mengambil barang yang telah diberi tanda larangan), dan senantiasa menjaga keseimbangan kosmis dan ekologi alam. Kontak langsung dengan Punan juga tidak sulit asalkan kita berani ''bertelanjang dada'' dan menaati tata cara komunikasi dengan sang ''Raja Rimba'', yang kini kehilangan kedaulatannya karena daerah kekuasaannya telah terpetak oleh para pengusaha pemegang HPH. Kita bisa dianggap mereka sebagai musuh dan perampok karena menjarah kekayaan hutan, menggusur jalur jalannya babi, memusnahkan areal rumpun rotan, dan mendatangkan petaka bagi mereka karena keseimbangan kosmis terganggu. Nah, pantaskah Punan dicap sebagai ''manusia liar'' yang peradabannya masih di tingkat hewani? Rasanya, Depsos dan NGO terpanggil untuk mengantarkan masyarakat Punan menikmati hasil pembangunan. Ironisnya, upaya untuk mengantar mereka berkembang menjadi manusia utuh berpijak pada pola pikir masyarakat sedenter. Umpamanya, yang dibangun Depsos dan NGO bagi Punan adalah lokasi perumahan. Padahal, yang lebih dibutuhkan Punan adalah situasi rumah. Itu akan ditemukan kembali, yakni pada saat mereka bebas di alam. Menurut saya, hal ini bisa terjadi karena kita kurang jeli memahami realitas Punan sebagai masyarakat peramu yang seminomaden. Kita kurang gesit mengadakan penelitian lapangan untuk memperoleh data dan informasi dari tangan pertama. Juga kurang memanfaatkan literatur asing sebagai alat bantu, sehingga kita keliru menganalisis Punan. Berangkat pada pemahaman yang kurang, kita tetap saja berada pada realitas ''mendugaduga''. Dan suatu keprihatinan muncul. Bila Punan kembali ke alam, mereka akan berhadapan dengan seleksi alam yang kejam. Cepat atau lambat, Punan terancam punah. Akankah kita membiarkan mereka punah? IKOLAUS BORO Jalan Seluwing Malinau 77154 Kalimantan Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini