Dalam tulisan ''Gugatan Sang Penyelam'' (TEMPO, 9 Januari 1993, Hukum) disebutkan ruang udara bertekanan tinggi (RUBT) seharusnya berisi oksigen murni (100%). Kalau benar berisi oksigen murni, barangkali di situlah letak kesalahannya. Perlu diketahui bahwa oksigen murni atau oksigen bertekanan lebih (hiperbarik) itu bersifat racun bagi tubuh. Orang hanya boleh mengisap oksigen murni hanya dalam waktu yang sangat singkat (beberapa menit). Manusia yang umumnya hidup dalam tekanan udara sekitar 1 atmosfer telah beradaptasi terhadap kadar oksigen yang sekitar 20% atau 20/100 .003 760 mmHg .004 152 mmHg. Kalau seseorang masuk ke dalam RUBT yang berisi udara biasa dengan tekanan 2 atm (1 atm .004 760 mmHg), misalnya, itu berarti orang tersebut bernapas dengan mengisap oksigen yang bertekanan 304 mmHg (kadarnya tetap 20%, tetapi tekanannya dua kali lipat udara atmosfer). Yang terjadi, kemungkinan besar, penderita betul dimasukkan ke dalam RUBT yang berisi 20%21% oksigen, tapi diberi napas dari saluran khusus yang dihubungkan dengan tabung kecil yang berisi oksigen murni. Untuk proses dekompresi seseorang yang baru saja menyelam, ada prosedur khusus yang harus dilalui. Kalau dokter yang melaksanakan dekompresi itu memang sudah terlatih, biasanya proses itu akan berjalan aman. Kelarutan udara di dalam cairan atau lemak berbanding langsung dengan tekanan. Seseorang yang menyelam sampai kedalaman 36 meter biasanya menggunakan alat selam yang disebut SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) yang diisi dengan udara biasa atau udara dengan campuran khusus. Tekanan udara yang diisap penyelam dengan alat SCUBA itu akan selalu sama dengan tekanan air di kedalaman penyelaman. Tekanan udara pada permukaan laut 1 atm atau 760 mmHg (Hg .004 hidrargirum .004 air raksa). Setiap menyelam sedalam sekitar 10 m, tekanan akan bertambah 1 atm. Sebab, kolom air laut setinggi 10 meter memberi tekanan kirakira sebesar 760 mmHg (berat jenis air laut sekitar 1, berat jenis air raksa 13,6, sehingga 760 mm air raksa setara dengan 760 .003 13,6 mm .004 10,336 m air laut). Kalau menyelam sampai kedalaman 36 m, itu berarti penyelam akan mengalami tekanan lebih dari 4,5 ATA (ATA .004 atmosfer absolut). Makin lama seseorang menyelam, makin banyak udara yang larut, yaitu mendekati kejenuhan sesuai dengan kedalaman penyelaman. Supaya aman, setelah menyelam lama, seseorang tidak boleh langsung ke permukaan. Pada beberapa kedalaman tertentu ia harus berhenti beberapa lama, sesuai dengan prosedur dekompresi. Seorang penyelam profesional (yang telah mempunyai brevet menyelam) biasanya tahu prosedur itu. Itu memberi kesempatan kepada udara yang terlarut dalam tekanan tinggi untuk keluar dari tubuh. Kalau sang penyelam muncul mendadak ke permukaan, udara yang terlarut juga akan secara mendadak keluar dari dalam tubuh berupa gelembunggelembung (seperti kalau kita membuka tutup botol limun). Gelembunggelembung udara ini akan menyumbat pembuluh darah (emboli) atau akan merobek lapisan pembungkus serat saraf, sehingga terjadilah penyakit pada penyelam. Jadi, prosedur dekompresi itu harus dipatuhi oleh penyelam guna mencegah terjadinya emboli udara atau penyakit penyelam, yang disebut bends, yang disebabkan robeknya lapisan lemak tubuh yang membungkus seratserat saraf. Untuk waktu kerja di kedalaman selama 56 menit, si penyelam memerlukan waktu lebih dari 60 menit untuk berhenti di beberapa kedalaman. Jadi, seluruh waktu penyelam sekitar 2 jam. Kalau 56 menit itu seluruh waktu penyelaman, itu berarti penyelam hanya bekerja di kedalaman kurang dari 40 menit. Kalau dekompresi alami ini dianggap tidak cukup, dapat dilanjutkan dengan dekompresi dengan menggunakan RUBT. Bagaimana urutan proses penyelaman dan timbulnya kelainan pada penyelam yang ditulis TEMPO harus dideskripsikan secara rinci, sehingga siapa yang salah, penyelam atau yang di atas, akan dapat diketahui. Soal kelainan saraf pada penyelam tersebut harus diperiksa betul-betul oleh orang yang benarbenar ahli. Indonesia rasanya telah mempunyai beberapa dokter yang cukup ahli dalam hal ini, terutama beberapa dokter TNIAL, yang memang telah biasa bergelut dengan persoalan ini. Dokter-dokter itu memang belum disebut dokter ahli hiperbarik, karena untuk itu harus melalui prosedur tertentu. DR. V. SUTARMO SETIADJI Ketua Kelompok Kerja Kedokteran Penyelaman dan Hiperbarik FKUI Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini