Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Menyebarkan Ide meski Sering Merugi

Penerbit buku indie relatif tak terguncang pandemi Covid-19. Mengaku tak berorientasi profit.

9 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandemi Covid-19 membuat banyak penerbit gulung tikar.

  • Penerbit indie hanya sedikit terguncang pandemi dan bertahan hingga hari ini.

  • Berfokus pada genre tertentu, mencetak sesuai dengan pemesanan, dan aktif menggelar diskusi buku.

Doni Ahmadi masih mengingat bagaimana awalnya ia dan tiga rekannya mendirikan Anagram, penerbit buku skala kecil di Jakarta Utara. Empat sekawan itu mulanya bergiat di perpustakaan jalanan. Kecintaan pada bacaan mendorong mereka masuk dunia penerbitan. "Idenya muncul dari obrolan pada 2018," kata Doni kepada Tempo, 2 Juni lalu. Kala itu, obrolan mereka membahas buku-buku di perpustakaan yang mulai beragam berkat penerbit indie di Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Doni cs lalu bertanya ke sana-sini, termasuk kepada penerbit indie. Menurut Doni, ia dan rekan-rekannya di Anagram memiliki modal keahlian. "Saya sebagai editor bisa mengurusi teks, ada yang menjual buku online di bagian distributor, dan ada pula yang jadi akuntan," ujar pria berusia 29 tahun tersebut. Pada 2019, Anagram akhirnya menerbitkan buku pertama berbekal modal pribadi keempat pendirinya.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Istilah penerbitan indie dikenal sejak 2000-an. Penerbit buku indie merujuk pada penerbit-penerbit kecil yang menerbitkan buku dengan genre tertentu. Beberapa yang dikenal misalnya Marjin Kiri di Tangerang Selatan yang menerbitkan buku perdananya pada 2005. Ada pula Bentang Pustaka yang berdiri sejak 2004 serta Indie Book Corner yang berbasis di Yogyakarta. Penerbit kecil bertambah banyak beberapa tahun belakangan, seperti Anagram dan penerbit Warning Books yang berbasis di Yogyakarta.

Geliat penerbit indie ini menjadi angin segar karena memperkaya khazanah bacaan. Menurut Doni, keunikan penerbit indie ada pada penerbitan teks karya penulis-penulis yang belum dikenal luas.

Penerbit indie hadir sebagai alternatif ruang bagi para penulis mempublikasikan karya mereka. Karya-karya yang sebelumnya dianggap terpinggirkan menjadi dapat dinikmati banyak pembaca. "Kami menyebutnya sebagai upaya melawan selera sekaligus ngasih bacaan yang enggak itu-itu saja," kata Doni.

Buku-buku terbitan Anagram. Dok. Anagram

Anagram juga menerbitkan sederet buku terjemahan, seperti karya Edgar Keret asal Israel. Menurut Doni, ada banyak buku sastra, wabilkhusus dari luar negeri, yang bagus tapi tidak dicetak penerbit besar karena kurang populer. "Hal itu yang saya pelajari dari penerbit lain, seperti Marjin Kiri," kata Doni. 

Saat pandemi Covid-19, banyak industri yang limbung, termasuk penerbitan. Namun sejumlah penerbit indie bertahan. Anagram, misalnya, tetap produktif dan terus merilis buku baru. Di antaranya Balada Supri karya Mochamad Nasrullah yang menjadi pemenang ketiga sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2018, serta Terdepan Terluar Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045 karya Martin Suryajaya.

Menurut Doni, produksi tetap berjalan karena pada dasarnya mereka tidak menargetkan jumlah penerbitan. "Kami juga tidak berorientasi pada profit," kata dia.

Salah satu cara mereka menggaet pembaca dilakukan melalui diskusi buku. "Dari situ, banyak reseller yang bertanya bagaimana kami bisa memasarkan buku Anagram," ujarnya. Anagram memang mengandalkan reseller, selain toko buku kecil dan lokapasar. 

Anagram telah menerbitkan sekitar 11 judul, ditambah empat judul yang mereka terbitkan sebagai bacaan gratis. Fokusnya adalah buku sastra. Setiap judul dicetak sebanyak 300-1.000 eksemplar. 

Penerbit indie lain yang bertahan mengarungi badai pandemi adalah Warning Books di Yogyakarta, yang didirikan Tomi Wibisono pada 2016. Sebelumnya, Tomi dan kawan-kawan membuka Buku Akik, toko buku kecil di Kaliurang, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pada 2015.

Tomi berkisah, tujuan awal membentuk penerbitan adalah memfasilitasi teman-teman penulis yang enggan mengikuti sejumlah aturan penerbitan yang mereka anggap merepotkan. "Sesederhana malas mengirim ke penerbit dan malas berkompromi dengan konten yang diterbitkan. Maka, dipilihlah jalur mandiri," kata dia.

Warning Books telah menerbitkan sekitar 30 judul. "Belakangan, kami nyebut penerbitan kami sebagai small friendship based publisher," ujar Tomi. Meski begitu, mereka tetap menerapkan ketentuan, seperti royalti penulis sebesar 10-15 persen. 

Judul-judul terbitan mereka antara lain Parade Hantu Siang Bolong karya Titah A.W., Film, Ideologi, dan Militer karya Budi Irawanto, hingga Era Emas Film Indonesia karya Garin Nugroho. Tomi juga menerbitkan bukunya yang berjudul Questioning Everything bersama rekannya, Soni Triantoro.

Warning Books biasanya mencetak 500-1.000 eksemplar sekali terbit. Belakangan, karena teknologi yang kian memudahkan, Tomi dan kawan-kawan mencoba mencetak sedikit demi sedikit. "Biar cash flow aman," katanya. Untuk satu judul, ia hanya menerbitkan 50 eksemplar. Sistem pre-order juga membantu mereka menerbitkan buku dengan risiko lebih kecil. "Habis, cetak lagi, habis, cetak lagi."

Makin hari, Tomi melanjutkan, menjadi penerbit kian mudah. Karena itu, penerbitan indie makin subur, tapi tidak semua penerbit dapat mengelolanya dengan baik. 

Dari pengalaman pribadi, Tomi mengatakan, banyak tersedia ruang belajar untuk menerbitkan buku dengan segala kerepotan di tahap pra-produksi. "Tapi kemudian bagaimana buku ini dijual ke pembaca, itu jarang dibahas," kata dia.

Tomi yang merambah bisnis buku secara autodidaktik pun masih meraba-raba cara berjualan. "Menerbitkan buku kan sering dianggap sebagai kerja-kerja intelektual yang keren. Sebaliknya, berjualan enggak terlalu keren. Maka, sering terjadi banyak buku indie terbit, tapi enggak beredar dengan baik. Salah satunya karena penerbitnya enggak mampu berjualan," ujarnya.

Menurut Tomi, pengaturan penjualan menjadi satu hal yang sangat membedakan mereka dari penerbit besar. "Mereka punya jalurnya, dari hulu ke hilir," ujar dia. Hal inilah yang juga membuat Tomi tak hanya puas dengan penerbitan, tapi juga giat menjalankan toko Buku Akik—yang diikuti 370 ribu akun di Instagram. "Agar buku-buku terbitan Warning Books dan buku-buku indie lainnya punya tambahan jalan untuk dipasarkan."

Daun Malam merupakan penerbit buku yang juga menjalankan fungsi tersebut. Daun Malam menggunakan Instagram sebagai sarana pemasaran. Anjani, salah satu penggagas, mengatakan tujuan awal saat mereka baru berjalan pada 2015 adalah menerbitkan bacaan-bacaan anti-otoritarian, yang kala itu nyaris tidak ditemukan di penerbitan umum.

Bacaan yang diterbitkan Daun Malam, menurut Anjani, sudah banyak tersebar. "Tapi dalam bentuk zine (majalah mini buatan sendiri), jadi tersirkulasi hanya di kalangan penggemar musik dan punk," kata dia. Penerbit Daun Malam kemudian menerbitkan kumpulan bacaan tersebut dalam bentuk buku. Tujuannya adalah mengeluarkan gagasan-gagasan tersebut ke masyarakat umum dalam bentuk bacaan agar tidak hanya dinikmati komunitas tertentu.

Anjani mengatakan buku dengan pendekatan anti-otoritarian secara umum ada banyak di pasar, misalnya tentang gerakan buruh. "Tapi yang dari sisi ideologi politik jarang ada. Maka, kami coba," ujarnya.  

Penerbit Daun Malam melahirkan belasan judul. Di antaranya ABC Anarkisme karya Alexander Berkman, Melawan Bolshevik, dan Revolusi Perempuan, yang merupakan kumpulan tulisan perjuangan perempuan di Rojava.

Seperti beberapa penerbit kecil lain yang berangkat dari komunitas, keuntungan bukan menjadi sasaran kerja penerbit Daun Malam. "Lebih mirip proyek hobi," kata Anjani.

Ia bahkan mengalokasikan hasil kerja utamanya di luar penerbitan untuk Daun Malam. "Ya, kalau bisa, jangan rugi," ujarnya.

Penulis buku dengan penerbit indie, Hamzah Muhammad, di Jakarta, 1 Juni 2023. TEMPO/Ilona Esterina

Hamzah Muhammad, penulis sastra, mengatakan penerbit indie tetap tumbuh subur karena memiliki semangat utama memproduksi gagasan, meski secara profit kurang menguntungkan. Menurut dia, penerbit indie adalah semangat melawan pengarusutamaan yang dibawa penerbit besar.

Beberapa penulis beranggapan bahwa bukunya menantang normalitas tertentu. "Hingga sulit diterbitkan oleh penerbit yang sudah established dengan standar yang terlalu baku," kata penulis Hompimpa Alaium Gambreng (2022) ini. Menurut Hamzah, hal itulah yang direspons oleh penerbit-penerbit indie yang menjadi wadah penulis menerobos wacana tertentu.

Hamzah juga salah satu penulis yang mempercayakan penerbitan bukunya kepada penerbit indie. Menurut dia, banyak penulis masih mempercayai penerbit indie karena independensi dan semangat kebebasannya. Meski secara finansial kerap tidak menguntungkan. "Ini bisnis rugi, tapi ada value lain yang tetap ditempuh bagi mereka yang memantapkan kaki di industri ini," kata dia. 

Hamzah mengaku tidak menggantungkan pendapatan dari penjualan bukunya. "Dengan menerbitkan buku yang berkualitas, tentu penulis akan dapat proyek lain juga yang berkualitas." ujar dia. "Dari situ keuntungannya." 

ILONA ESTERINA PIRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus