Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri ini para pemilik mobil adalah kaum beruntung. Bayangkan, tercatat tak sampai 8 juta mobil pribadi berseliweran di negara berpenduduk 230 juta ini. Walhasil, karena cukup banyak keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil, cukup aman untuk menduga bahwa pemilik kendaraan roda empat ini adalah kelompok sepuluh persen rakyat Indonesia terkaya. Mereka berada di ujung atas tingkat kesejahteraan.
Di ujung yang lain hidup sekitar 20 juta keluarga termiskin bangsa ini dengan pendapatan di bawah US$ 2 sehari. Mereka jelas masuk kelompok fakir miskin, yang menurut konstitusi harus dientaskan dari kepapaannya oleh pemerintah.
Tapi apa yang selama ini dilakukan pemerintah?
Gara-gara kenaikan harga minyak dunia yang gila-gilaan belakangan ini, sebagian besar dana pengeluaran pemerintah ternyata dipakai untuk mensubsidi bahan bakar minyak, yang tahun ini diperkirakan mencapai 132 triliun. Ini berarti lebih dari empat kali lipat belanja untuk Departemen Pendidikan, lembaga pemerintah yang anggarannya paling besar.
Lantas siapa saja penikmat subsidi ini? Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan 70 persen dari jumlah itu dinikmati para pemilik mobil. Untuk setiap kendaraan beroda empat, pemerintah memberikan subsidi rata-rata sejuta rupiah sebulan. Artinya, keluarga kaya yang memiliki empat mobil akan menerima derma pemerintah Rp 4 juta sebulan. Bandingkanlah nasib kalangan beruntung itu dengan keluarga termiskin di negeri ini, yang hanya menerima bantuan Rp 100 ribu sebulan, itu pun diterima tiga bulan sekali.
Ketidakadilan ini jelas harus segera dihentikan.
Sayangnya, pemerintah tak punya keberanian untuk melakukannya. Alasannya, memangkas subsidi minyak—yang artinya menaikkan harga premium, solar, dan minyak tanah—akan memicu kenaikan harga, memukul kalangan miskin, dan memunculkan aksi unjuk rasa. Alasan ini ada benarnya, tapi hanya sebagian. Kebijakan penjualan bahan bakar minyak dapat diubah tanpa menyebabkan kenaikan harga-harga dengan melarang mobil pribadi membeli premium dan solar. Para pemilik mobil pribadi memang tak sepatutnya mendapat derma dari pemerintah.
Sayangnya, pemerintah memilih opsi menaikkan harga minyak sekitar 30 persen, yang kesannya lebih untuk menyelamatkan neraca anggaran pemerintah Rp 35 triliun ketimbang memperbaiki keadilan yang timpang. Semua pembeli premium, solar, dan minyak tanah terkena dampak kenaikan ini, baik yang menggunakannya untuk kegiatan konsumtif maupun produktif. Sopir angkutan kota dan pemilik mobil mewah yang menggunakan premium tetap menerima subsidi per liter yang sama besarnya. Ini pasti akan memicu kenaikan harga karena ongkos transportasi barang dan jasa yang terdongkrak.
Pemerintah beralasan kebijakan menyetop penjualan premium dan solar kepada pemilik mobil pribadi tak dipilih karena diperkirakan tak akan berjalan efektif. Kilah yang kerap diutarakan adalah akan terjadi kebocoran. Banyak kendaraan umum akan meningkatkan pembelian premium dan solar untuk dijual kembali di pasar gelap. Kebocoran seperti ini memang dipastikan akan terjadi tapi bukannya tak dapat ditanggulangi. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan pemanfaatan teknologi, tingkat kebocoran akan dapat terus-menerus diturunkan hingga menjadi tak signifikan. Pewarnaan premium dan solar bersubsidi serta penggunaan smart card adalah salah satu cara yang dapat dimanfaatkan.
Kini pilihan keliru telah diterapkan, tapi nasi sebenarnya belum jadi bubur. Kenaikan harga minyak dunia masih terus meroket dan anggaran pemerintah hanya aman untuk sementara. Majalah ini berharap, waktu jeda yang tersedia setelah kenaikan harga bahan bakar minyak dimanfaatkan sebaik mungkin. Pilihan kebijakan tentang harga minyak tak boleh lagi semata-mata demi menyelamatkan neraca anggaran pemerintah, tapi harus bertumpu pada sisi keadilan belanja uang negara. Itu sebabnya persiapan mencabut subsidi bahan bakar minyak bagi para pemilik kendaraan bermotor pribadi harus dilakukan dan diterapkan pada waktu yang tepat.
Pada momen merayakan satu abad kebangkitan nasional sekarang ini, para pemilik mobil pribadi diharapkan rela menyumbangkan subsidi yang diterimanya untuk kaum papa negeri ini. Kalaupun pemerintah ingin membantu nasib pemilik mobil pribadi yang kurang mampu, ada cara lain yang lebih adil. Instrumen yang tepat untuk meringankan beban mereka bukan dengan mensubsidi bahan bakar minyak, tapi dengan menaikkan tingkat pendapatan tak kena pajak mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo