Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mengenang Misbach dan 'Anak Kandung'-nya

Sebuah film mengenai Misbach Yusa Biran dan Sinematek. Ratusan arsip film yang dikelolanya secara manual dan tradisional kini menua dimakan usia.

7 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deretan buku di rak berkelebat lambat di kamera. Suasana ruangan tua yang penuh buku tak tertata rapi. Terdengar suara Mahardika Yudha membacakan surat Hafiz Rancajale, Ketua Forum Lenteng, kepada Misbach Yusa Biran sebelum dia meninggal. Mahardika pun membacakan surat balasan Misbach yang menanyakan maksud si pengirim surat.

Lalu muncul Misbach, mantan sutradara dan pendiri Sinematek, dengan napas agak tersengal berdiri di lift. Di layar, gambar beralih pada potongan film lawas Dibalik Tjahaja Gemerlapan, film besutan Misbach pada 1966. Gambar di layar meloncat pada suasana di ruangan kantor Sinematek yang penuh piringan hitam seluloid, lalu meloncat lagi pada suasana rumah Misbach yang tengah direnovasi diguyur hujan.

Inilah film dokumenter Anak Sabiran, di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip). Film yang disutradarai Hafiz Rancajale ini tentang Misbach Yusa Biran dan dunia arsip film Indonesia di Sinematek. "Misbach orang Indonesia pertama yang sadar arsip film. Sinematek itu lembaga pengarsipan pertama di Asia Tenggara," ujar Hafiz.

Penonton diajak mengenal sosok Misbach dari tuturnya yang lugas, kocak. Misbach bercerita tentang matanya yang terkena glaukoma, ihwal masa kecil, dan riwayat keluarganya. Suami Nani Wijaya ini pun bercerita saat awal berteater serta bertemu dengan Usmar Ismail dan Ardan. Foto-foto jadul sosok Misbach muda juga berkelebat di layar. Ekspresi dan celetukan alami sosoknya memancing tawa penonton.

Penonton tertawa ketika, dalam sebuah adegan wawancara, tiba-tiba hujan turun dan Misbach nyeletuk, "Masuk saja ke dalam. Ini bagaimana kameranya? Nanti sakit salahin saya lagi." Penonton lagi-lagi tertawa ketika Misbach dalam wawancara mengomentari asmara pelukis Sudjojono dengan penyanyi seriosa Rose Pandanwangi, sehingga Sudjojono keluar dari Partai Komunis Indonesia, dan komentar bagaimana Nani Wijaya—sang istri—sesungguhnya berharap berjodoh dengan tentara.

Tawa penonton terhenti ketika mereka diseret pada kondisi Sinematek yang menua, suram, dan memprihatinkan. Tampak sejumlah poster lengket tertumpuk tanpa data, foto adegan film dan casting, naskah yang tercecer, skenario dan naskah yang menguning berjamur, serta mesin editing film steenbeck hibah dari Jepang yang tak berfungsi. Lalu diperlihatkan pula gulungan seluloid dibersihkan secara manual dan tradisional—digelar di meja dan dikeringkan dengan kipas angin.

Sinematek boleh dikatakan anak kandung Misbach. Dengan dedikasinya, dia menyusun satu demi satu arsip film selama puluhan tahun. Emosi penonton disentuh oleh idealisme pria asal Rangkasbitung itu. Film dengan ratusan footage ini berdurasi 2 jam 40 menit. Panjang memang, dan agak monoton di akhir-akhir film. Potongan rekaman pernikahan Misbach dan Nani Wijaya juga terlalu lama mengisi durasi film.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus