Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rohman Budijanto*
Pembicaraan bahasa uang kini riuh. Keputusan pemerintah untuk melakukan redenominasi menjadi obrolan publik. Rupiah memang sudah masuk kategori "uang sampah" karena nilainya rendah—terlalu banyak nol. Penghilangan tiga nol dari rupiah bisa meningkatkan gengsi mata uang kita.
Satu rupiah, yang resminya masih 100 sen, memang nyaris tak bernilai. Satu rupiah saja sulit dibayangkan nilainya, apalagi satu sen. Tapi, jika rupiah sudah dihilangkan tiga nol, agak lumayan nilainya. Satu rupiah baru akan senilai Rp 1.000 sekarang. Bila Anas Urbaningrum bilang, "Kalau ada satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas," agak mudah dinilai dengan uang baru.
Nilai mata uang memang sangat terkait dengan gengsi. Lumrah bila istilah-istilah mengenai uang sangat mempengaruhi pergaulan berbahasa. Karena daya tariknya yang luar biasa, bahasa uang bertahan sangat kuat. Bahkan ketika orang sudah tak tahu persis artinya, karena uang itu sudah "mati", penyebutannya masih bisa dipahami secara otomatis dalam komunikasi.
Pepatah "setali tiga uang" adalah contoh daya tahan istilah uang. Orang secara mudah mengartikan ungkapan itu sebagai "sama saja". Tapi, bila dicermati, alangkah rumitnya pengertian kata-kata itu. Setali? Tiga uang? Guru bahasa Indonesia, yang di buku ajarnya masih ada pepatah itu, bisa kesulitan menerangkan makna istilah uang dari zaman Belanda ini.
J.S. Badudu, dalam Kamus Peribahasa (April 2008), menjelaskan dengan kalimat yang tidak pendek. "Setali itu sama artinya dengan satu tali, 25 sen (uang zaman penjajahan kolonial Belanda). Satu uang dulu sama dengan 10 duit, sedangkan satu tali sama dengan 30 duit. Jadi, satu tali = 30 duit; satu uang = 10 duit; tiga uang = 30 duit = satu tali." Setelah diulang beberapa kali, mungkin rincian itu baru bisa dipahami.
Memang menarik bagaimana satuan uang yang sudah lebih dari setengah abad punah masih bertahan dalam lalu lintas bahasa kita. Tak kalah menariknya, dalam paparan Badudu itu diketahui bahwa uang tidak sama dengan duit. Nilai uang hanya sepersepuluh duit. Namun uang dan duit kini dianggap sama, meski dalam percakapan kadang masih tersisa pembedaan itu. Kita kadang mendengar orang bilang, "Dia punya berapa duit?", tapi tak lazim mendengar, "Dia punya berapa uang?".
Ada juga istilah uang yang masih disebut dalam bacaan sastra, yakni picis dalam picisan. Kata ini bermaksud merendahkan, misalnya roman picisan, yang berarti bacaan murahan. Picis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti sepuluh sen, ketip, atau bermutu rendah. Memang istilah picisan kian lama kian tak dikenal. Begitu pula pasangannya, roman (lengkapnya roman picisan). Roman sudah diganti dengan ungkapan generik novel, meski roman sebenarnya jenis novel yang menjurus ke percintaan (romance). Kini karya picisan disebut sebagai kacangan, mengingat murahnya kacang goreng.
Sementara istilah picis(an) sudah kian ditinggalkan, tidak dengan peser. Ungkapan kata sepeser (uang zaman Belanda yang nilainya setengah sen) sering digunakan untuk menegaskan tak punya atau tak pakai uang sama sekali. Seperti judul berita dari Antara, Senin, 16 Januari 2012, "Nazaruddin Bersumpah Tidak Terima Uang Sepeser pun". Berita ini diliput di awal persidangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu dalam kasus suap Wisma Atlet. Nazaruddin kemudian divonis 4 tahun 10 bulan (kemudian diperberat jadi 7 tahun penjara) karena terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar, bukan hanya sepeser!
Ada pula padanan rupiah yang bertahan kuat meski tetap diemohi bahasa resmi. Kita sering mendengar orang memadankan rupiah dengan perak. Misalnya seribu rupiah disebut pula seribu perak. Entah dari mana asal kata perak, yang jelas ia punya nilai komunikatif yang tinggi sebagai versi lebih rileks dari sebutan rupiah. KBBI pun memadankan serupiah sama dengan seperak setara dengan 100 sen.
Meski banyak dari kita, apalagi generasi baru, tak pernah melihat wujud pecahan uang sen rupiah, kata sen tak punah dari bahasa kita. Ini ada untungnya karena, setelah redenominasi berjalan, rupiah kembali menggunakan pecahan sen. Uang Rp 100 atau Rp 500 dalam pecahan sekarang bisa berarti 10 sen dan 50 sen rupiah baru. Ternyata ada gunanya juga kita tak memunahkan kata sen dari bahasa Indonesia.
*) Wartawan Jawa Pos
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo