WAPRES Adam Malik suatu ketika berucap, bahwa sebagian besar
pers daerah keadaannya lemah alias kurang gizi. Jaksa Agung
pernah menghimbau agar para wartawan tidak melakukan 'korupsi
berita': apa saja yang benar-benar ada silakan, walaupun mesti
menanggung risiko.
Tugas, karya, jasa dan tanggungjawab pers sudah dipahami.
Tujuhpuluh lima prosen pers daerah tergolong lemah alias kurang
gizi. Musababnya banyak. Kurang modal, managemen yang tidak
beres, yang menggarapnya "tidak bonafid" dan sebagainya. Pers
yang sehat tidak bakal terwujud selama persyaratan mutlak
tersebut belum terpenuhi. Walau demikian, semangat serta daya
juang pers tidak luntur-luntur.
Interaksi tiga unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan pers dalam
mencapai kesejahteraan bangsa tidak bisa dipungkiri
keperluannya. Dalam penyelenggaraan komunikasi timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat, pers merupakan media efektif.
Sampai di mana hasil yang efektif, tergantung dari pengertian
para pejabat di daerah.
Tidak sedikit yang jadi kenyataannya sebaliknya. Pers di daerah
sering dianggap lawan. Kritik yang konstruktif dianggap
'penyebar isyu' atawa melaporkan "kebodohan para pejabat".
Itulah musababnya pemerintah menganjurkan agar komunikasi timbal
balik diperlancar. Serta pemerintah di daerah harus membuka
pintu kepada pers selebar-lebarnya.
Masyarakat daerah, dalam merasakan ketidakadilan, sudah tentu
selalu minta tolong pers. Harapan masyarakat seutuhnya
sebenarnya tidak berbeda dengan yang dihimbaukan Jaksa Agung.
Memang begitu seharusnya pekerjaan pers yang waras. Pers daerah
sering mendapat omelan masyarakat di daerah, lantaran dirasakan
"kurang berani" dalam mengupas fakta serta menyuguhkan informasi
secara blak-blakan.
Untuk pers, memang tidak dapat begitu saja. Musababnya, kata
'bebas bertanggungjawab' mengandung arti yang lebih jauh.
Sebaliknya informasi pers yang bisa memberi indikasi terhadap
hal-hal yang tidak diharapkan pejabat daerah musti berfikir agar
secepatnya melakukan pencegahannya. Di sinilah pentingnya
interaksi tiga unsur tadi serta komunikasi timbal-balik.
Faktor penghalang untuk mengembangkan pers daerah, selain
hal-hal tersebut (modal, skill dsb) juga daya baca masyarakat
sungguh rendah. Statistik menunjukkan bahwa yang membaca koran
dari seluruh bangsa hanya berjumlah lebih sedikit dari sejuta
setengah jiwa(? red). Sebagian besar yang tidak membaca itu
berada di desa tempat beredarnya pers daerah. Makanya wajar jika
pers daerah mengalami 'kurang gizi'. Namun hal ini tentunya
tidak bakalan dibiarkan berlarut-larut, 'kan?
RACHMAT DST
Fak. Publisistik UNPAD,
Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini