Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pers daerah: kurang gizi

Pers daerah masih lemah, karena kurang modal, manajemen, dan penggarapannya tidak bonafid. dinilai masih takut mengupas dan menyuguhkan fakta secara blak-blakan. (kom)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAPRES Adam Malik suatu ketika berucap, bahwa sebagian besar pers daerah keadaannya lemah alias kurang gizi. Jaksa Agung pernah menghimbau agar para wartawan tidak melakukan 'korupsi berita': apa saja yang benar-benar ada silakan, walaupun mesti menanggung risiko. Tugas, karya, jasa dan tanggungjawab pers sudah dipahami. Tujuhpuluh lima prosen pers daerah tergolong lemah alias kurang gizi. Musababnya banyak. Kurang modal, managemen yang tidak beres, yang menggarapnya "tidak bonafid" dan sebagainya. Pers yang sehat tidak bakal terwujud selama persyaratan mutlak tersebut belum terpenuhi. Walau demikian, semangat serta daya juang pers tidak luntur-luntur. Interaksi tiga unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan pers dalam mencapai kesejahteraan bangsa tidak bisa dipungkiri keperluannya. Dalam penyelenggaraan komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat, pers merupakan media efektif. Sampai di mana hasil yang efektif, tergantung dari pengertian para pejabat di daerah. Tidak sedikit yang jadi kenyataannya sebaliknya. Pers di daerah sering dianggap lawan. Kritik yang konstruktif dianggap 'penyebar isyu' atawa melaporkan "kebodohan para pejabat". Itulah musababnya pemerintah menganjurkan agar komunikasi timbal balik diperlancar. Serta pemerintah di daerah harus membuka pintu kepada pers selebar-lebarnya. Masyarakat daerah, dalam merasakan ketidakadilan, sudah tentu selalu minta tolong pers. Harapan masyarakat seutuhnya sebenarnya tidak berbeda dengan yang dihimbaukan Jaksa Agung. Memang begitu seharusnya pekerjaan pers yang waras. Pers daerah sering mendapat omelan masyarakat di daerah, lantaran dirasakan "kurang berani" dalam mengupas fakta serta menyuguhkan informasi secara blak-blakan. Untuk pers, memang tidak dapat begitu saja. Musababnya, kata 'bebas bertanggungjawab' mengandung arti yang lebih jauh. Sebaliknya informasi pers yang bisa memberi indikasi terhadap hal-hal yang tidak diharapkan pejabat daerah musti berfikir agar secepatnya melakukan pencegahannya. Di sinilah pentingnya interaksi tiga unsur tadi serta komunikasi timbal-balik. Faktor penghalang untuk mengembangkan pers daerah, selain hal-hal tersebut (modal, skill dsb) juga daya baca masyarakat sungguh rendah. Statistik menunjukkan bahwa yang membaca koran dari seluruh bangsa hanya berjumlah lebih sedikit dari sejuta setengah jiwa(? red). Sebagian besar yang tidak membaca itu berada di desa tempat beredarnya pers daerah. Makanya wajar jika pers daerah mengalami 'kurang gizi'. Namun hal ini tentunya tidak bakalan dibiarkan berlarut-larut, 'kan? RACHMAT DST Fak. Publisistik UNPAD, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus