Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGEJAR MATAHARI
Sutradara: Rudi Soedjarwo
Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Winky Wiryawan, Udjo, Fauzi Baadilla, Fedi Nuril
Produksi: SinemArt dan Kipas Communication
Mereka memiliki dua buah matahari. Yang pertama, dia yang menyinari seluruh bumi. Yang kedua, dia yang mereka kejar setiap hari, yang terbit dan terbenam di ufuk yang ingin mereka capai. Untuk menggenapi cita-cita, Ardi, Damar, Apin, dan Nino berlomba lari mengejar matahari di setiap petang.
Syahdan, keempat sekawan ini sejak kecil tumbuh di kawasan rumah susun yang sempit, kumuh, dan bertumpuk bak ikan sarden dalam kaleng, dengan penderitaannya masing-masing. Ardi (Winky Wiryawan) anak seorang pensiunan polisi yang hidup di bawah kedisiplinan ketat seorang ayah yang kecewa pada dirinya sendiri. Damar (Fauzi Baadilla) menjadi lelaki temperamental yang kehilangan figur ayah (ayahnya hilang entah ke mana) dan sibuk berkelahi dengan siapa saja yang berani menghina ibunya. Nino (Fedi Nuril), yang hidup dalam keluarga harmonis dan paling berkecukupan, dan Apin, yang sejak kecil bercita-cita menjadi sineas dan mendokumentasikan semua gerak-gerik mereka dengan videocam, adalah dua dari empat sahabat yang berfungsi sebagai "perekat" persahabatan ini.
Untuk beberapa menit pertama, kecuali narasi awal Ardi yang datar, film ini sudah merenggut perhatian. Mungkin karena kita sudah bosan dibanjiri film-film remaja yang selalu berarti "chick flick" (ini sebutan untuk "film cewek"Red.) akibat demam Ada Apa dengan Cinta?yang juga ditelurkan oleh Rudi Soedjarwo bersama Mira Lesmana, Riri Riza, dan Jujur Prananto. Mungkin kita bosan dengan serangkaian film hantu-hantuan yang tidak keruan itu karena ingin meniru sukses film Jelangkung. Kali ini Rudi membutuhkan "film lelaki", bukan hanya untuk "penyegar" peta perfilman Indonesia, tetapi juga sebagai saluran obsesi pribadinya (baca, Ada Apa dengan Rudi?).
Film persahabatan empat lelakikenapa jumlahnya empat, hanya Tuhan dan langit yang pahammemang bukan sebuah ide orisinal. Film Sleepers, yang menampilkan Brad Pitt, Bill Cudrup, Jason Patrick, dan Robert de Niro, tentang persahabatan empat anak lelaki yang diperkosa di penjara anak, hingga kini melekat dalam benak sebagai sebuah film yang paling merobek hati. Film Friends (Chingu) karya Kyuk-taek Kwakmasuk dalam nominasi Festival Film Asia Pasifik 2001 yang diselenggarakan di Jakartamengisahkan tentang empat sahabat yang tumbuh dan di masa dewasa mengalami dilema memilih antara persahabatan dan tugas membunuh.
Sementara film Sleepers dan Friends tak mengalami kesulitan memberikan "idiom" maskulinitas (penjara lelaki dalam Sleepers dan adegan pertarungan dan darah yang tak berkesudahan antar-mafia dalam Friends), film Mengejar Matahari mengalami kegamangan.
Ardi, sebagai pemeran utama, berfungsi sebagai narator untuk penonton. Ardi adalah alter-ego sang sutradaraputra mantan Kapolri Anton Soedjarwo, yang selalu memiliki sebuah rasa "sesal" karena tak memenuhi keinginan ayahnya bergabung dengan Akademi Polisi. Persahabatan keempat orang ini lebih didominasi oleh dua karakter: Ardi, anak polisi yang tertekan oleh kekerasan ayahnya, dan Damar, lelaki macho yang sejak kecil tak pernah takut berkelahi melawan siapa pun yang berani menginjak haknya untuk hidup. Dengan sendirinya, peran Apindimainkan dengan cemerlang oleh Udjodan Nino (Fedi Nuril) menjadi pelengkap yang membuat suasana persahabatan semeriah mungkin.
Persahabatan mulai goyah ketika seorang gadis jelita sepupu Nino pindah ke kawasan rumah susun itu. Rara (Agni Arkadewi), gadis yatim-piatu itu, yang senantiasa tersenyum manja, dilirik oleh Ardi dan Damar. Sudah mudah ditebak, Rara lebih tertarik pada Ardi, yang lebih santun, pemalu, dan wow... jago gambar pula. Persoalan lain lagi muncul karena keempat sahabat ini punya musuh bebuyutan bernama Obet, yang pernah mendekam di penjara karena mereka pernah menjadi saksi pembunuhan Obet terhadap warga kampung itu.
Adegan pertarungan yang kemudian berakhir pada vendetta, saling balas dan pembunuhan yang tak berkesudahan, itu mungkin adegan keras yang paling realistik dalam film Indonesia. Rudi berhasil menunjukkan kepada para sutradara lain: wahai rekan sineas, begini lo kalau bikin adegan berantem. Adrenalin kelelakian itu sudah cukup sampai di situ.
Tetapi ada persoalan lain yang dituntaskan Rudi. Sementara di dalam Sleepers dan Friends masalah persahabatan dipertanyakan karena mereka mengalami dilema besar setelah dewasa (dalam film Sleepers, tokoh Brad Pitt dan Jason Patrick harus memberikan kesaksian palsu demi pembalasan dendam terhadap pemerkosa mereka; dalam film Friends, dua sahabat bergabung dengan dua kelompok mafia yang saling berlawanan dan ditugasi untuk saling membunuh), di dalam Mengejar Matahari sebetulnya tidak disajikan persoalan apa pun dalam persahabatan itu. Ketika tokoh Apin memuntahkan monolog yang murka pada Ardi, penonton tak diberi alasan yang jelas kenapa Apin harus semurka itu. Bukankah mereka semua sama-sama habis digebuki kelompok Obet? Kenapa pula Ardi harus dianggap sebagai biang keladi perpecahan? Penulis skenario Titien Wattimena serta sang pemilik cerita Rudi Soedjarwo (serta 14 pengembang skenario lainnya) tak memberikan "planting" atau penanaman adegan sebelumnya yang menunjukkan Ardi adalah pusat perpecahan persahabatan itu.
Keganjilan lain adalah soal teknis dan casting yang menunjukkan Rudi dkk. kurang melakukan riset sosiologis. Tokoh Rara, sepupu Nino, seorang yatim-piatu, dibiarkan tinggal sendirian di rumah susun itu? Really? Apa iya keluarga Indonesia sudah seperti itu? Lazimnya, keluarga Nino pasti akan menawari gadis itu tinggal bersama mereka. Soal lain lagi, apa iya para cowok di Indonesia (kalangan rumah susun lo, bukan mereka yang pernah studi di AS) suka mengadakan surprise party atau pesta HUT kejutan seperti keempat sahabat itu? Dan dialog mereka, wow, kok romantis betul seperti dialog anak perempuan? Bukankah para lelaki umumnya lebih sering menunjukkan persahabatan melalui tindakan, bukan secara verbal?
Karena ini sebuah film personal dari sang sutradara, Rudi merasa harus menebus "sesuatu". Ardi, yang memiliki bakat luar biasa dalam melukis itu, kembali dengan seragam polisi. Waduh, ini setting tahun berapa sih bahwa anak-anak masih harus menjalani karier keinginan orang tua?
Tetapi itu cuma beberapa catatan "kecil" bagi Rudi, seorang sutradara yang saya masukkan dalam kategori papan atas Indonesia, yang pernah membuat sebuah terobosan dengan Ada Apa dengan Cinta?. Ingat, dialah penemu bakat macam Dian Sastrowardoyo. Dan di tangan dia pula seorang yang baru seperti Nicholas Saputra, yang masih awam, menjadi Rangga yang kemudian menjadi "tren" bagi karakter perfilman Indonesia berikutnya. Dan harap ingat, dari begitu banyak sutradara yang sedang menjamur, Rudi adalah satu dari sedikit yang betul-betul mampu mengarahkan dan menggeber pemain baru (dan lama) menjadi bersinar. Winky Wiryawan, yang tak pernah diperhitungkan, meski sudah pernah berpengalaman dalam film lainnya, kini sudah menjadi aktor dan bukan lagi pajangan. Udjomeski agak terlalu matang sebagai seorang murid SMAtidak tampil sebagai pelawak, tetapi sebagai seorang pemain serius yang andal. Fauzi Baadilla, muka baru itu, tiba-tiba mendominasi seluruh layar bukan karena karakternya, melainkan karena auranya yang dapat dipancing sang sutradara.
Di luar beberapa catatan itu dan beberapa adegan romantisme yang layak dibabat (shot-shot para sosok yang melamun, bersedih, dengan ilustrasi musik yang menyayat itu boleh dibuang, Rud!), film ini berhasil membuat siang Jakarta yang keringkarena film-film Indonesia yang bermunculan di tahun 2004 ini sungguh bikin garuk kepalamenjadi segar dan bermakna.
Rudi, we await your next picture!
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo