Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki tinggi yang menjulang mencapai langit itu mungkin lelaki (Indonesia) yang terdekat dengan langit. Dalam kesendiriannyadia baru saja bercerai dengan istrinya setahun silamRudi Soedjarwo melahirkan film Mengejar Matahari, sebuah drama persahabatan empat lelaki yang kepinginnya maskulin, tetapi toh sangat emosional. Ada apa dengan Rudi, hingga dia merasa harus seromantis itu menampilkan persahabatan empat pria berotot ini? "He is the master of emotions," kata Mira Lesmana, yang pernah bekerja sama dengan Rudi menggarap film Ada Apa dengan Cinta?yang kemudian meledak menjadi salah satu film terlaris beberapa tahun terakhirdan Rumah Ketujuh.
Lahir di Bogor 9 November 1971 dan lulus dari San Diego State University serta Academy of Art College San Francisco, Rudi mengklaim film ini sebagai "gue banget" alias film yang betul-betul mengekspresikan dirinya. Film Ada Apa dengan Cinta? sudah menjadi konsep ketika meluncur ke pangkuannya, sementara film Mengejar Matahari lahir dari pemikirannya bertahun-tahun. Berikut petikan perbincangannya dengan Telni Rusmitantri dari Koran Tempo.
Benarkah sosok Ardi dalam film ini identik dengan Anda?
Hampir 100 persen, dari segi emosi dan psikologis Ardi. Itu gue banget. Memang, ayahku tidak memberikan hukuman fisik, tapi ayah saya (Kapolri [alm.] Anton SoedjarwoRed.) berharap saya menjadi seseorang. Dulu, saya tidak terima, mengapa Ayah begitu ngotot ingin aku masuk Akabri.
Saat itu aku bisanya cuma memberontak terhadap segala keinginan. Aku paling sebel kalau disuruh potong rambut, sampai ngumpet kalau tukang cukur datang ke rumah, ha-ha-ha.... Saat aku gondrong itulah "jarak" atau wujud protes yang aku lancarkan.
Sepertinya harapan ayah yang tak kesampaian itu Anda tunaikan lewat film ini.
Boleh jadi begitu. Aku baru menyadari bahwa harapan Ayah itu tak ada jeleknya. Tapi kesadaran itu datang terlambat. Dulu aku kurang yakin dan menganggap Ayah sok tahu terhadap masa depanku. Tapi disiplin yang keras dari Ayah itu justru membuat aku menjadi orang yang lebih hati-hati.
Sayang, Ayah meninggal akibat stroke tahun 1988, saat aku masih duduk di bangku SMU Gonzaga Jakarta. Dia belum sempat menyaksikan film karyaku. Tapi aku merasa sudah bisa membahagiakan Ibu. Paling tidak, itu terlihat dari rasa bangganya dia pada apa yang aku kerjakan saat ini. Belakangan, Ibu juga baru menyadari, ternyata anaknya ini juga banyak bicara. Dia sering terpukau melihat gaya bicaraku yang cepat jika diwawancarai di layar kaca, ha-ha-ha.... Memang dia sempat syok saat perceraianku (Rudi telah bercerai dari istrinya, Hanifah, tahun laluRed.). Apa pun yang aku kerjakan dan yang aku rencanakan ke depan selalu dengan landasan dan semangat ingin menjadi anak yang berbakti.
Tidakkah film ini terinspirasi dari film lain, seperti sebuah film buatan Korea di FFAP 2001 bertajuk Friends?
Sebenarnya tidak persis begitu. Terus terang, dalam teknis penggarapan, aku terilhami film One Fine Spring Day, film Korea, dan City of God dari Brasil. Juga The Outsiders dari Hollywood. Itu hanya dijadikan referensi dalam gaya bertutur ala maskulin, bukan mengambil tema keseluruhan.
Anda dikenal bukan saja sebagai sutradara tapi juga penemu bakat baru seperti Dian Sastrowardoyo.
Ini masalah feeling. Dalam mencari pemain di filmku, perlu unsur chemistry. Entah mengapa, aku punya firasat, apa si A cocok dengan peranku atau tidak. Ambil contoh peran Nino oleh Fedi Nuril. Sebelumnya, aku sempat kurang suka saat melihat akting Fedi dalam sebuah iklan kosmetik di televisi. Tapi, begitu dia dicoba, dia cocok untuk peran Nino, sosok yang kepribadiannya kurang menonjol dari empat sekawan dalam film ini.
Siapa sutradara dalam dan luar negeri yang Anda kagumi?
Arifin C. Noer dan Teguh Karya. Aku juga salut pada Riri Riza karena dia sutradara yang sadar betul untuk membuat keseimbangan antara unsur komersial dan artistik.
Kabarnya, Anda akan menggarap pembuatan ulang film Tiga Dara?
Belum tahu kapan. Belum ketemu hitung-hitungannya dengan Christine Hakim (sang produserRed.). Enggak gampang membuat film musikal. Aku enggak mau diresehin sama ini-itu. Makanya dihitung-hitung dulu yang benar karena takut mengganggu totalitas aku dalam menggarap. Apalagi di situ kelak akan ada empat nama besar: Christine dan ketiga pemerannya: Dian Sastro, Siti Nurhaliza, dan Krisdayanti. Terus terang, aku bersemangat membuat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo