Tulisan "Empat Setabung" (TEMPO, 11 Januari 1992, Kesehatan) menunjukkan suatu bukti kemahiran dokter Indonesia dalam teknik kedokteran. Di situ diungkapkan, enam dari tujuh sel telur menghasilkan embrio. Lalu, empat embrio terbaik dimasukkan ke rahim Man Cun. Berarti, dua embrio lain (yang kalah baik) dimusnahkan? Nah, dari segi etik, apakah dokter punya "hak" memusnahkan embrio? Saya teringat pada satu kasus di Australia (kalau tak salah, di Melbourne) pada medio 1986: dokter mempertahankan dengan gigih embrio yang sudah yatim piatu. Ceritanya begini. Sepasang suami istri yang sudah mempunyai seorang anak berusia sepuluh tahun ingin mempunyai anak lagi. Karena sudah sepuluh tahun belum punya anak lagi, mereka diterima dalam proyek bayi tabung. Maka, terjadilah pembuahan yang menghasilkan sejumlah embrio. Lalu, sebagian dari embrio itu dimasukkan ke rahim sang ibu. Dan tersisa delapan embrio. Nah, di sinilah mulai cerita etik dan hukum yang menarik. Kedelapan embrio tersebut tidak dimusnahkan, tapi disimpan secara "Cryogenic", yakni pada suhu sangat rendah dalam keadaan beku. Maksudnya, pada suatu saat, embrio itu bisa "ditanamkan" lagi pada ibu pemilik. Namun, sebelum sang ibu melahirkan, pasangan tersebut tewas pada kecelakaan pesawat terbang. Jadi, kedelapan embrio yang disimpan tadi menjadi "yatim piatu". Sang dokter tak mau dan menolak memusnahkan embrio tersebut sesuai dengan sumpah dokter: menghormati kehidupan insani sejak terjadinya pembuahan. Pengadilan mengusulkan pemusnahan embrio tersebut dengan alasan, kalau dimasukkan ke rahim surrogate mother (ibu lain untuk dibesarkan dan dilahirkan), setelah lahir, akan menimbulkan masalah hukum-hukum waris. Mungkinkah seorang bayi yang lahir (dari rahim orang lain) memperoleh warisan dari orangtua genetiknya yang sudah meninggal sebelum sang bayi lahir? Akankah bayi "susulan" itu berbagi warisan dengan anak pasangan tadi, yang sudah berumur sepuluh tahun pada saat ibu bapaknya wafat? Sayang sekali, saya tidak mengetahui kelanjutan kasus itu. Tapi, yang pokok dalam kasus itu, dokter kebidanan Australia tersebut menolak memusnahkan embrio biarpun pasangan pemilik telah meninggal dunia. Lalu, kenapa dokter kebidanan RSAB boleh memusnahkan dua embrio karena kalah baik saja? Pertanyaan kedua adalah, tepatkah indikasi untuk bisa ikut program bayi tabung adalah wanita yang sudah mempunyai dua anak (lelaki)? Bukankah slogan KB kita mengatakan: cukup dua anak saja, laki perempuan sama saja. Ternyata Tuhan Yang Mahakuasa memberi tambahan, bukan satu anak perempuan, tapi empat orang anak (dua pasang). Bagimana pandangan MKEK IDI tentang hal ini? DOKTER H. MASRI RUSTAM Jalan Kramat Raya 101 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini