Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengupas tuntas kebijaksanaan...

Penulis: anwar nasution penerbit: institute of southeast asian studies, 1983 resensi oleh: j. panglaykim. (bk)

2 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FINANCIAL INSTITUTIONS AND POLICIES IN INDONESIA Oleh: Anar Nasution Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, 1983 LEMBAGA keuangan, kebijaksanaan moneter dan fiskal di negara Asia biasanya lebih banyak dibicarakan oleh penulis yang pernah bekerja di badan internasional, seperti IMF dan World Bank. Atau oleh penulis Barat yang ingin mengambil gelar doktornya. Karena itu, buku yang dikarang oleh putra Indonesia ini - yang merupakan revisi atas disertasi penulis sendiri pada Universitas Tuffs, AS - harus kita sambut dengan bangga. Kami tertarik membaca perkiraan penulis mengenai Evaluasi dan Kesimpulannya: Bila pemerintah ingin mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 7%, harus diambil beberapa tindakan. Pertama, menciptakan iklim, suasana, dan kebijaksanaan yang dapat memobilisasikan peningkatan tabungan nasional melalui penagihan pajak dan mobilisasi tabungan yang efektif. Mobilisasi tabungan itu dapat dilakukan melalui sistem perbankan, dengan menghapuskan subsidi dan mengurangi berbagai pengeluaran yang sifatnya penghamburan. Buku ini sendiri terbagi menladl enam bab, diawali dengan ikhtisar perekonomian Indonesia selama 1968-1979. Di sim dlbahas inflasi dan stabilisasi, termasuk sebabsebab terjadinya inflasi, rehabihtasi, kebijaksanaan dan kecenderungan anggaran, kecenderungan dalam pengeluaran domestik, dan usaha-usaha menarik pajak misalnya. Lalu tentang neraca pembayaran dan pendapatan nasional, kelihatan bahwa defisit dalam neraca pembayaran tampaknya selalu dapat ditutup oleh capital inflow, seperti bantuan luar negeri, investasi luar negeri, dan pinjaman luar negeri. Dalam menilai kebijaksanaan di bidang perdagangan, seperti peningkatan penghasilan nasional, penggalakan ekspor, proteksi industri dalam negeri, dan pengendalian tingkat inflasi, penulis berpendapat, instrumen yang ada dewasa ini masih jauh di bawah tingkat kemampuan untuk melaksanakan program yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Tentang pembahasan lembaga keuangan formal di Indonesia, penulis membatasi diri pada sektor keuangan yang terorganisasi, karena mungkin dalam kenyataan masih ada sektor keuangan yang tidak terorganisasi. Penulis juga membahas Bank Indonesia bank-bank lain, lembaga keuangan bukan bank (LKBB), serta pasar uang dan modal, kebiJaksanaan reserve requirements, pagu kredit, tingkat tabungan moneter. Penulis berpendapat, karena ada tugas yang bertentangan, sulit diharapkan terciptanya sistem perbankan yang efisien. Para bankir mungkin masih ingat kejadian masa lalu, ketlka bank-bank negara mempunyai likuiditas yang cukup tinggi. Karena ada pagu pemberian kredit, maka sebagian dana yang likuid itu didolarkan atau disalurkan ke berbagai LKBB yang mereka kendalikan. Ketika devaluasi rupiah pada 15 November 1978, mereka mempunyai posisi dalam dolar yang menyebabkan windfall yang sangat besar. Juga dibahas masalah pengawasan kredit secara selektif yang pada gilirannya menyebabkan bank sentral terlibat langsung dalam bank komersial. Banyak sekali petugas yang mengawasi kegiatan bank komersial itu sehingga, menurut penulis, para bankir itu menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Ini bukan mustahil menyebabkan timbulnya hambatan, ketidaktentuan, dan ketidakefisienan dalam industri perbankan. Ini merupakan observasi yang sangat tepat dan terus terang kami sendiri belum pernah melihatnya dari sudut ini. Observasi lain ialah mengenai adanya segmentasi dalam pasar keuangan yang menyebabkan timbul perbedaan besar antara tingkat bunga di dalam negeri dan tingkat bunga di luar negeri. Para bankir mungkin sulit menerjemahkan model ekonometri ke dalam kata-kata bisnis yang dapat dipakai oleh kelompok awam dalam ilmu kuantitatif. Model ini, menurut penulis, dapat digunakan untuk menjawab "to what level price will result from a given increase in reserve money ?" Model ini juga lerguna untuk mempelajari konsistensi moneter internal, anggaran, dan kebijaksanaan neraca pembayaran. Menurut penulis, model ini dapat digunakan untuk menganalisa variabel pokok ekonomi selama sembilan tahun, dan hasil model ini kemudian dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pengambil keputusan dalam strategi stabilisasi harga. Kesimpulan penulis: (i) pemerintah, dalam usaha melaksanakan tujuan ekonomi makronya (pertumbuhan, stabilisasi harga, pemerataan ekonomi misalnya), terlalu percaya kepada kebijaksanaan moneter yakni manajemen oleh bank sentral atas suplai uang nasional untuk menjamin tersedianya kredit dalam kuantitas dan dengan harga yang konsisten, dalam melaksanakan tujuan nasional yang telah dirumuskan. (ii) Kebijaksanaan moneter diharapkan dapat memobilisasikan sumber-sumber masyarakat. Tapi adanya skala prioritas yang kurang tegas mengenai berbagai tujuan mengakibatkan tujuan itu sering bertentangan. Misalnya di satu pihak pemerintah dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi mengadakan injeksi uang baru (adanya devisa dari ekspor minyak) dan ekspansi kredit. Di pihak lain, kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter cukup restriktifdalam rangka mengendalikan inflasi. Lihat saja misalnya penentuan pagu kredit, tingkat bunga deposito bank pemerintah, tingkat bunga pinjaman, dan pemberian kredit dengan tingkat bunga rendah kepada sektor yang mendapat prioritas. Setelah 1973, dengan meningkatnya penghasilan ekspor minyak, pemerintah dapat memperbesar pengeluaran dan kredit bank dalam rangka mengembangkan sektor nonminyak, serta sektor kesejahteraan, seperti pendidikan dan kesehatan. Penulis juga mengajukan penelitiannya bahwa setelah Pelita I, April 1969, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% dengan kecenderungan ke arah industri padat modal daripada padat karya. Kebijaksanaan yang rnendorong perkembangan industri kecil dengan bantuan kredit bank, agar pada gilirannya dapat menciptakan kesempatan kerja, tampaknya tanpa dukungan kebijaksanaan lain (seperti perpajakan, pendldikan, lisensi), sehingga hasilnya kurang memuaskan. BANK-bank dengan lembaga keuangan nonbanknya tampak tetap memegang kedudukan yang cukup dominan dalam hal assets dan volume kredit. Tampaknya, pemerintah bukan sedang menangani sebab inflasi, tapi lebih memperhatikan gejala inflasi, antara lain dengan memberikan subsidi dan memberlakukan kebijaksanaan mengenai harga bagi BUMN (badan usaha milik negara), termasuk kebijaksanaan di bidang perbankan, seperti penentuan tingkat bunga pinjaman (lending rate) yang relatif rendah. Pada masa itu, harga minyak naik relatif lebih banyak dari harga produk nonminyak. Lambat laun sektor nonminyak ini kehilangan daya saingnya di pasar internasional yang dalam literatur dikenal dengan sebutan Dutch disease. Dalam usaha melindungi sektor nonminyak, pemerintah mendevaluasikan rupiah 50%, November 1978. Tapi tindakan yang bertujuan melindungi sektor nonmigas itu tidak dapat bertahan lama, karena antara lain tidak disertai dengan pengurangan pengeluaran pemerintah. Buku ini pada dasarnya merupakan analisa yang sangat tajam mengenai perkembangan perekonomian Indonesia, kebijaksanaan keuangan dan dampaknya pada lembaga keuangan selama tahun-tahun 1968-1980. Selama tahun-tahun itu, Indonesia mengalami peningkatan hasil ekspor minyak. Hasil dalam bentuk dolar itu kemudian dirupiahkan melalui anggaran pemerintah. KEBIJAKSANAAN itu mempunyai dampak pada sistem keuangan yang tampaknya tidak diperkirakan terlebih dahulu. Penulis dalam kesimpulannya berpendapat, untuk memulihkan stabilitas keuangan dan ekspansi likuiditas yang disebabkan oleh kebiiaksanaan anggaran berlmbang, pemerintah tampak telah mengambil langkah kebijaksanaan lain, seperti mengawasi langsung kredit perbankan di dalam negeri (sehingga bankir menjadi bagian dari birokrasi) dan menentukan pagu kredit. Menurut penulis, undang-undang perbankan tahun 1967-1968 bermaksud memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada sektor perbankan, tetapi dalam pelaksanaannya justru telah nnembatasi ruang gerak sektor itu. Di sini sistem perpajakan yang belum canggih juga turut menentukan keberhasilan kebijaksanaan itu. Dalam kaitan itu, penulis mengajukan usul-usul seperti yang telah kami bahas di muka. Perkiraan penulis tampak tepat sekali karena apa yang ia usulkan terwujud dalam bentuk kebijaksanaan perbankan 1 Juni 1983 dan Januari 1984. Penulis tampak cenderung kepada penciptaan ruang gerak yang lebih luas bagi sektor perbankan. Pada masa itu sebetulnya ada kebijaksanaan lain yang kurang diperhatikan oleh penulis: Anjuran supaya bank-bank swasta nasional merger dan memberikan berbagai insentif, misalnya dalam pajak. Merger ini dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan bank swasta yang lebih besar dan usaha menyehatkan sektor perbankan. Hasilnya sudah kita ketahui: Sektor perbankan memandang kebijaksanaan ini sebagai kebijaksanaan yang sangat tepat dan telah menimbulkan dampak positif bagi proses pendewasaan sektor perbankan. Tapi penyehatan ini, seluruhnya dipikul dan dibiayai sektor perbankan swasta itu sendiri. J. Panglaykim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus