Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Upaya Menggugat Koruptor

Ismail Saleh, mengemukakan gagasan baru, bahwa koruptor tidak cukup hanya ke persidangan pidana tetapi perlu memerdatakan.(hk)

2 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKSA Agung Ismail Saleh belum puas dengan hanya menyeret koruptor ke persidangan pidana. Senin pekan lalu, ia mengemukakan sebuah gagasan baru, yaitu kemungkinan "memerdatakan" juga para koruptor. Walaupun seorang koruptor telah dijatuhi hukuman di peradilan pidana, kata Jaksa Agung, kerugian negara tetap tidak bisa dihindarkan. Buktinya, menurut Ismail Saleh, dari Rp 107 milyar kerugian negara akibat korupsi tahun lalu, hanya Rp 4,4 milyar yang bisa diselamatkan melalui proses persidangan pidana (TEMPO, 2G Mei). Penyebabnya, menurut Jaksa Agung, adalah akal-akalan si koruptor. Jika seorang koruptor diadili, misalnya, dari Rp 5 juta kerugian negara, yang bisa diselamatkan, paling-paling, hanya Rp 2 juta. "Sisanya dititipkan famili, beli tanah atas nama orang lain, atau untuk kawin lagi. Lha, bagaimana caranya menyita istri muda?" ujar Jaksa Agung beberapa waktu lalu. Karena itulah timbul gagasan untuk memerdatakan saja perkara-perkara korupsi: agar si koruptor tetap masih punya utang pada negara. "Gagasan itu bagus, tapi apa dasar Jaksa menuntut perdata?" tanya Pengacara Soenarto Soerodibroto, yang kini tengah membela perkara korupsi pajak perusahaan lemari besi Clubb Lips. Jaksa Agung Ismail Saleh, yang pekan ini dilantik menjadi menteri kehakiman, mengakui bahwa gagasannya memang belum ada dasar hukumnya. Tapi, "Yang penting sekarang ini adalahpendapat masyarakat, setujukah bila negara juga menggugat koruptor," kata Ismail Saleh. Menurut sumber TEMPO, kejaksaan memang menugasi Biro Keperdataan dan Bantuan Hukum Kejaksaan, sebuah biro yang dibentuk awal tahun ini, menyusun dasar hukum bagi wewenang baru kejaksaan itu. "Kesimpulan biro itu, kejaksaan berhak mewaki!i negara di proses persidangan perdata, balk sebagal tergugat maupun penggugat. Dan siapa saja yang merugikan negara bisa digugat perdata," ujar sumber itu. Malah, menurut sumber itu lagi, gagasan itu sudah disampaikan BPHN (Badan Pembina an Hukum Nasional) dalam Loka Karya Hukun Acara Perdata, bulan lalu. "Jadi, tinggal persetujuan DPR," katanya Dengan diangkatnya Ismail Saleh menjadi menteri kehakiman, sumber ItU yakm, gagasan itu akan segera menjadi isi RUU Hukum Acara Perdata yang sedang dirumuskan. Kepala Biro Perdata dan Bantuan Hukum Kejaksaan Agung, Hanafi Asmawie, malah berpendapat bahwa kejaksaan sebenarnya mempunyai wewenang untuk menggunakan perdata - tanpa undang-undang baru pun. Dasarnya, menurut Hanafi, adalah wewenang perdata kejaksaan yang diatur staatsblad No. 72 tahun 1922. Dalam perundang-undangan Belanda itu ditentukan bahwa kejaksaan berhak mewakili pemerintah dalam sengketa perdata. "Karena tidak disebutkan bahwa kejaksaan hanya mewakili bila negara digugat, berarti juga dibenarkan menjadi kuasa bila negara menggugat perdata," ujar Hanafi. Pengacara O.C. Kaligis, yang banyak menanani kasus korupsi reboisasi sama sekali tidak bisa menerima gagasan kejaksaan untuk menggugat perdata para koruptor yang telah dijatuhi hukuman pidana. "Seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana berarti bahwa kesalahan orang itu sudah dibayarnya dengan hukuman yang dijatuhkan hakim," ujar Kaligis. Jadi, kata Kaligis, "Tidaklah adil kalau terhukum itu harus dihukum lagi dalam perkara perdata." Keluhan kejaksaan bahwa kerugian negara tidak tertutup dengan proses pidana saja, menurut pengacara muda itu, tidak bisa dijadikan alasan untuk "memerdatakan" terhukum korupsi. "Sebab dalam undang-undang korupsi, hakim dibenarkan menyita kekayaan terhukum yang berasal dari uang korupsi, dan bahkan menjatuhkan hukuman denda untuk mengganti kerugian negara. Buat apalagi digugat perdata - cukup undang-undang korupsi saja dijalankan untuk itu," tambah Kaligis. Jika dengan senjata undang-undang antikorupsi itu, ternyata, jaksa gagal menyita barang bukti atau gagal meyakinkan hakim agar menjatuhkan hukuman denda yang seimbang dengan kerugian negara, berarti usaha kejaksaan itulah yang tidak maksimal. "Jangan senjatanya yang ditambah terus," komentar Kaligis lagi. Kaligis berpendapat bahwa wewenang baru kejaksaan itu - bila disahkan DPR - berarti akan mengurangi hak asasi manusia. "Bayangkan, orang seperti Robby Tjahyadi, misalnya, pasti akan takut berusaha kembali bila sudah selesai menjalani hukumannya. Sebab, kapan pun ia menjadi kaya lagi, negara bisa saja tiba-tlba menggugat perdata," kata Kaligis. Berarti, katanya, wewenang baru kejaksaan itu akan mematikan hak perdata seseorang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus