MAMAT Kadjal, 36 tahun, memang seorang profesional tulen. Dia
tak mengenal ngobyek. Seluruh isi periuk belanganya semata-mata
datang dari lapangan golf. Jam 7 pagi dia sudah berdiri di
lapangan. Berkumpul kembali dengan anak-bininya paling cepat jam
8 malam. Ia tak mengenal hari libur. Minggu justeru hari kerja
yang sangat padat. Sebab hari ini lapangan golf paling banyak
diserbu tamu.
Golf yang menghidupi 5 anak, 1 isteri dan 12 keluarga terdekat:
seperti ibu, ibu-mertua, saudara-ipar dan sebagainya, dicapai
oleh anak kampung Rawamangun ini dalam waktu yang panjang dan
melelahkan. "Saya berkenalan dengan lapangan sejak umur 11
tahun. Ayah saya yang membawa saya ke lapangan Inggeris,
Rawamangun. Dia berjualan makanan di situ, khusus untuk para
caddie (pembantu pemain golf").
Itulah awal sejarah Mamat sebagai pemain golf bayaran. Kehidupan
yang pahit dan pilihan pekerjaan yang belum jelas di masa datang
untuk anak-anaknya, memaksa sang ayah untuk memperkenalkan
lapangan permainan yang bisa menghidupi bagi Mamat yang ingusan
itu. Jadi kacung.
Mahmud, kakak kandung Mamat sudah beberapa lama jadi kedi di
situ. Berdiri di tepi lapangan, melihat teman-temannya yang
lebih tua mengiringi para pemain yang berpakaian rapi dari
belakang, memikul pemukul dan menerima upah, Mamat memang
tertarik dengan pekerjaan yang nampaknya menyenangkan dan
komersil itu.
Gurunya untuk jadi kedi tentu saja kakaknya sendiri. Sambil
menguntiti kakaknya yang sedang mengiringi tuannya dari
belakang, Mamat belajar mengenal berbagai jenis club (pemukul).
Dia mulai tahu, bertambah besar nomor pemukul bertambah dekat
jarak yang bisa dia capai. Sambil nguntit di belakang, anak
kampung ini mulai belajar sopan-santun menghadapi seorang
pemain. Dengan pendidikan hanya setinggi 3 SD, dia mulai
berkenalan dengan sebuah kartu pencatat yang selalu terselip di
kantong kakaknya. Di atas kartu itu prestasi seorang pemain
dicatat tiap kali permainan. Untuk jadi kacung-penuh dia
memerlukan waktu 6 tahun dan mengorbankan sekolahnya. "Sekolah
saya hanya sampai kelas 3 SD. Saya fikir dari golf ini saya akan
bisa hidup. Saya anak kampung, sampai kelas berapa sih kekuatan
orang tua untuk nyekolahkan anaknya. Namanya tukang dagang
makanan", ucap Mamat.
Minta Perabot
Mahmud, sang kakak menuntun si adik dengan keras. "Kadang-kadang
dia nyabet pake club. Satu kali ketika saya lagi memungut bola,
saya merasa satu hantaman yang keras di kepala. Saya membalik
dan berkata: 'Kejam benar lu sama sudare' sendiri' ". Kakaknya
bengong melihat gelagat si Mamat. "Emangnya gua apain", sanggah
si kakak. "Dia selalu memukul saya. Hantaman yang sakit itu saya
kira dia yang nyabet. E . . taunya bola yang melayang ke kepala
saya", katanya mengingat. "Karena sakit, saya menangis waktu
itu. Untuk yang ke berapa, 'gak tau dah".
Sebelum diangkat sebagai full-caddie (kedi penuh) banyaklah
ragam pekerjaan yang dia jalani. "Cuman ngebeca yang belon",
katanya dengan logat Betawi yang lengket kepada wartawan TEMPO
Martin Aleida yang datang mewawancarainya di lapangan golf
Ancol, atau lapangan kurang ramai - biasanya dari Senin sampai
Kamis - Mamat menutup kebutuhannya sebagai penggali sumur. Jadi
kuli bangunan pernah juga dia jalani.
Tahun 1958 barulah dia diangkat menjadi full-caddie. Pada
hari-hari tertentu para kedi diperkenankan untuk main, asal
mereka mernakai sepatu. Pinjaman juga boleh. Sambil melayani
tamu, Mamat berlatih terus dan empat tahun kemudian dia berhasii
merebut kejuaraan antar caddie. Sepuluh tahun sejak dia mengenal
golf. Sejak saat itu bintang anak Betawi ini mulai nanjak. Dia
yang bertubuh hitam keperunggu-perungguan dengan tinggi badan
161 cm berat 57 kg mulai menarik perhatian para pecandu golf.
"Saya tidak saja berlatih di lapangan. Di dalam rumah juga
latihan, seperti orang gila saja. Rumput diganti dengan karung.
Tiap pagi latihan mengayun pukulan", katanya mengingat.
Tahun 1966 dia mulai bekerja sebagai pelatih. Saat dia memasuki
kehidupan pro. Dia melatih para calon pemain di Lembaga Minyak
dan Gas Bumi di Cipulir. Dan tahun 1969 dia sempat dikontrak
melatih ke Semarang. Selama setahun dia melatih di sana. Tetapi
pekerjaan itu tidak berkepanjangan karena syaratnya dia harus
tinggal di kota tersebut bersama-sama anak isterinya, tak boleh
pulang-pergi Jakarta-Semarang. Rumah disediakan untuknya.
"Lantainya sangat bagus, tapi perabotannya harus saya isi
sendiri. Anak saya baru lahir. Kami hanya tidur di lantai. Saya
minta perabotan supaya disediakan. Tunggu punya tunggu tak
datang juga, akhirnya saya kabur dan kembali ke Jakarta",
katanya.
Sekembali ke Jakarta dia melatih di Senayan, kemudian pindah ke
Sawangan. Tahun 1971 dari lapangan di pinggir kota Jakarta ini
dia pindah lagi lantaran kontrak per bulan Rp 120.000 dia anggap
kurang sepadan. Dia masuk lagi ke Senayan. "Tahun 1971 itu di
Pintu 11 Senayan saya pernah melatih Presiden Suharto selama 2
jam", katanya. Ketika ditanyakan apakah dia rikuh untuk melatih
orang sepenting Pak Harto? "Repot sekali sih tidak. Biasa saja.
Kalau salah ya dikoreksi", katanya datar. Uang latihan tidak
diberikan Pak Harto sendiri. Ajudannya yang menyampaikan uang
jerih payah itu kepada Mamat Kadjal.
Orang awam menganggap golf sebagai olahraga yang mahal. Mungkin
juga benar. Lihatlah orang seperti Mamat Kadjal sendiri, untuk
memiliki satu set pemukul yang lengkap dia harus menungu sampai
sembilan belas tahun. Alat pemukul itu berharga mulai dari Rp
60.000 sampai Rp 6 juta. "Tahun 1971 Pak Jali Aznam memberi saya
stick", ucapnya. Setelah memegang alat pemukul sendiri dia mulai
meletakkan cita-citanya untuk jadi kampiun. Dengan latihan keras
akhirnya dia mencapai cita-citanya, ia jadi juara golf tingkat
nasional pada tahun 1973. "Saya tak lupa mengucapkan terimakasih
kepada mereka yang membantu saya, terutama Pak Salim yang banyak
melatih", sambungnya.
Kemenangan itu dia rebut di lapangan Inggeris Rawamangun.
Ayahnya masih juga berdagang makanan dan ibunya masih menjadi
tukang rawat rumput ketika itu. Mereka yang dulunya membawa
Mamat cilik ke lapangan itu masih sempat melihat anaknya itu
jadi juara dengan iringan rasa kagum dari para penggede, pecandu
golf. Kemenangan itu membawa dia ke Spanyol untuk ikut dalam
pertandingan golf sedunia di sana. "Saya hanya bisa menempati
kedudukan ke 5", katanya seraya senyum pahit.
Ol In Wan
Sekarang dia menjadi pelatih di lapangan golf Ancol dengan gaji
Rp 75. 000. Di situ dia mengetuai Yayasan Kesejahteraan Kedi.
Dia melihat para pemain muda yang berpusat di sana dan mengurusi
lebih dari 300 orang kedi. Di samping itu dia masih punya sumber
penghasilan sebagai pelatih untuk umum dengan tarif Rp 2500
perjam. Penghasilannya sebulan sekitar Rp 250.000 yang terbagi
dalam Rp 4.000 untuk keperluan rumahtangga dalam sehari dan Rp
2.000 untuk keperluannya selama seharian di lapangan. "Setelah
saya menjadi pemain pro saya bercita-cita untuk membiayai mak
saya ke Haji. Cita-cita itu sudah terpenuhi", ujarnya. Di
samping itu dia juga sempat membiayai ongkos pernikahan kedi
langganannya. "Ini balas jasa, bung. Saya kawin diongkosin Pak
Alamsyah (bekas sekretaris negara), mengapa kebaikan orang tak
saya balas kalau saya mampu".
Tanggal 5 Mei yang lalu di tengah-tengah keasyikan para pemain
mematuk-matuk bola di Ancol, Mamat Kadjal membuat pukulan yang
amat jarang dibuat seorang pemain. Pada lobang nomor 7 dalam
jarak 184 yard, Par 3 (jarak yang harus ditempuh dengan 3
pukulan) dia capai hanya sekali hanjut saja. Dalam permainan,
pukulan ini namanya hole in one. Pukulannya itu disaksikan Soleh
Salim (putera Pak Salim, pelatihnya dulu) dan seorang pemain
yang sedang dalam gemblengannya dari Bandung. "Saya memukul
dengan club nomor 6 besi, merek Ben Hogan. Ini ol in wan untuk
kedua kali. Yang pertama ketika saya bekerja di Senayan",
katanya.
Pukulan itu dia selamatin dengan traktiran semua kenalan, para
kedi dan bapak-bapak. Dengan nasi soto atau semangka. Tetapi
hari itu jalan hidupnya tidak saja ditandai dengan pesta untuk
"sekali pukul masuk lubang", sebab pada siang harinya datang
seorang ibu dengan anak perempuannya. Wanita ini datang pada
Mamat untuk minta tolong membantu sebuah kesulitan. Sebuah
kesulitan yang kebetulan tak ada hubungannya dengan handicap
seorang pemain. Ia datang untuk minta tolong menyelesaikan
kemelut rumahtangganya. Sudah dua tahun suaminya kalau pulang,
malam-malam terus. "Ngakunya main golf, saya amat senang pada
mulanya karena dia main golf. Nyatanya dia pacaran dengan
seorang pegawai lapangan golf ini. Bapak tolonglah saya", kata
wanita muda itu merendah.
Dia kenal suami tersebut - orang yang nyatanya kalau datang ke
Ancol hanya untuk kencan dan bukan main golf -- dia juga kenal
pegawai wanita yang sedang main cinta dengan suami orang. "Baik
bu, besok ibu datang lagi. Akan saya urus. Kepala kantor suami
ibu itu, saya kenal nanti saya lobbing dengan dia". Si Mamat
meninggalkan air jeruk panas di hadapannya dan dengan Iangkah
kaki seperti orang menginjak aspal yang lagi lumer, dia
menghampiri seseorang di lapangan. Orang itulah kepala kantor
dari sang suami yang sedang pergi entah ke mana dengan sang
pacar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini