Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Mengurus Kedi, Mengurus Bini

Kisah Mamat Kadjal jadi pemain golf bayaran. Bermula sebagai penjual makanan buat caddy sampai jadi juara nasional. Ditingkat dunia hanya menempati urutan ke-65.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAMAT Kadjal, 36 tahun, memang seorang profesional tulen. Dia tak mengenal ngobyek. Seluruh isi periuk belanganya semata-mata datang dari lapangan golf. Jam 7 pagi dia sudah berdiri di lapangan. Berkumpul kembali dengan anak-bininya paling cepat jam 8 malam. Ia tak mengenal hari libur. Minggu justeru hari kerja yang sangat padat. Sebab hari ini lapangan golf paling banyak diserbu tamu. Golf yang menghidupi 5 anak, 1 isteri dan 12 keluarga terdekat: seperti ibu, ibu-mertua, saudara-ipar dan sebagainya, dicapai oleh anak kampung Rawamangun ini dalam waktu yang panjang dan melelahkan. "Saya berkenalan dengan lapangan sejak umur 11 tahun. Ayah saya yang membawa saya ke lapangan Inggeris, Rawamangun. Dia berjualan makanan di situ, khusus untuk para caddie (pembantu pemain golf"). Itulah awal sejarah Mamat sebagai pemain golf bayaran. Kehidupan yang pahit dan pilihan pekerjaan yang belum jelas di masa datang untuk anak-anaknya, memaksa sang ayah untuk memperkenalkan lapangan permainan yang bisa menghidupi bagi Mamat yang ingusan itu. Jadi kacung. Mahmud, kakak kandung Mamat sudah beberapa lama jadi kedi di situ. Berdiri di tepi lapangan, melihat teman-temannya yang lebih tua mengiringi para pemain yang berpakaian rapi dari belakang, memikul pemukul dan menerima upah, Mamat memang tertarik dengan pekerjaan yang nampaknya menyenangkan dan komersil itu. Gurunya untuk jadi kedi tentu saja kakaknya sendiri. Sambil menguntiti kakaknya yang sedang mengiringi tuannya dari belakang, Mamat belajar mengenal berbagai jenis club (pemukul). Dia mulai tahu, bertambah besar nomor pemukul bertambah dekat jarak yang bisa dia capai. Sambil nguntit di belakang, anak kampung ini mulai belajar sopan-santun menghadapi seorang pemain. Dengan pendidikan hanya setinggi 3 SD, dia mulai berkenalan dengan sebuah kartu pencatat yang selalu terselip di kantong kakaknya. Di atas kartu itu prestasi seorang pemain dicatat tiap kali permainan. Untuk jadi kacung-penuh dia memerlukan waktu 6 tahun dan mengorbankan sekolahnya. "Sekolah saya hanya sampai kelas 3 SD. Saya fikir dari golf ini saya akan bisa hidup. Saya anak kampung, sampai kelas berapa sih kekuatan orang tua untuk nyekolahkan anaknya. Namanya tukang dagang makanan", ucap Mamat. Minta Perabot Mahmud, sang kakak menuntun si adik dengan keras. "Kadang-kadang dia nyabet pake club. Satu kali ketika saya lagi memungut bola, saya merasa satu hantaman yang keras di kepala. Saya membalik dan berkata: 'Kejam benar lu sama sudare' sendiri' ". Kakaknya bengong melihat gelagat si Mamat. "Emangnya gua apain", sanggah si kakak. "Dia selalu memukul saya. Hantaman yang sakit itu saya kira dia yang nyabet. E . . taunya bola yang melayang ke kepala saya", katanya mengingat. "Karena sakit, saya menangis waktu itu. Untuk yang ke berapa, 'gak tau dah". Sebelum diangkat sebagai full-caddie (kedi penuh) banyaklah ragam pekerjaan yang dia jalani. "Cuman ngebeca yang belon", katanya dengan logat Betawi yang lengket kepada wartawan TEMPO Martin Aleida yang datang mewawancarainya di lapangan golf Ancol, atau lapangan kurang ramai - biasanya dari Senin sampai Kamis - Mamat menutup kebutuhannya sebagai penggali sumur. Jadi kuli bangunan pernah juga dia jalani. Tahun 1958 barulah dia diangkat menjadi full-caddie. Pada hari-hari tertentu para kedi diperkenankan untuk main, asal mereka mernakai sepatu. Pinjaman juga boleh. Sambil melayani tamu, Mamat berlatih terus dan empat tahun kemudian dia berhasii merebut kejuaraan antar caddie. Sepuluh tahun sejak dia mengenal golf. Sejak saat itu bintang anak Betawi ini mulai nanjak. Dia yang bertubuh hitam keperunggu-perungguan dengan tinggi badan 161 cm berat 57 kg mulai menarik perhatian para pecandu golf. "Saya tidak saja berlatih di lapangan. Di dalam rumah juga latihan, seperti orang gila saja. Rumput diganti dengan karung. Tiap pagi latihan mengayun pukulan", katanya mengingat. Tahun 1966 dia mulai bekerja sebagai pelatih. Saat dia memasuki kehidupan pro. Dia melatih para calon pemain di Lembaga Minyak dan Gas Bumi di Cipulir. Dan tahun 1969 dia sempat dikontrak melatih ke Semarang. Selama setahun dia melatih di sana. Tetapi pekerjaan itu tidak berkepanjangan karena syaratnya dia harus tinggal di kota tersebut bersama-sama anak isterinya, tak boleh pulang-pergi Jakarta-Semarang. Rumah disediakan untuknya. "Lantainya sangat bagus, tapi perabotannya harus saya isi sendiri. Anak saya baru lahir. Kami hanya tidur di lantai. Saya minta perabotan supaya disediakan. Tunggu punya tunggu tak datang juga, akhirnya saya kabur dan kembali ke Jakarta", katanya. Sekembali ke Jakarta dia melatih di Senayan, kemudian pindah ke Sawangan. Tahun 1971 dari lapangan di pinggir kota Jakarta ini dia pindah lagi lantaran kontrak per bulan Rp 120.000 dia anggap kurang sepadan. Dia masuk lagi ke Senayan. "Tahun 1971 itu di Pintu 11 Senayan saya pernah melatih Presiden Suharto selama 2 jam", katanya. Ketika ditanyakan apakah dia rikuh untuk melatih orang sepenting Pak Harto? "Repot sekali sih tidak. Biasa saja. Kalau salah ya dikoreksi", katanya datar. Uang latihan tidak diberikan Pak Harto sendiri. Ajudannya yang menyampaikan uang jerih payah itu kepada Mamat Kadjal. Orang awam menganggap golf sebagai olahraga yang mahal. Mungkin juga benar. Lihatlah orang seperti Mamat Kadjal sendiri, untuk memiliki satu set pemukul yang lengkap dia harus menungu sampai sembilan belas tahun. Alat pemukul itu berharga mulai dari Rp 60.000 sampai Rp 6 juta. "Tahun 1971 Pak Jali Aznam memberi saya stick", ucapnya. Setelah memegang alat pemukul sendiri dia mulai meletakkan cita-citanya untuk jadi kampiun. Dengan latihan keras akhirnya dia mencapai cita-citanya, ia jadi juara golf tingkat nasional pada tahun 1973. "Saya tak lupa mengucapkan terimakasih kepada mereka yang membantu saya, terutama Pak Salim yang banyak melatih", sambungnya. Kemenangan itu dia rebut di lapangan Inggeris Rawamangun. Ayahnya masih juga berdagang makanan dan ibunya masih menjadi tukang rawat rumput ketika itu. Mereka yang dulunya membawa Mamat cilik ke lapangan itu masih sempat melihat anaknya itu jadi juara dengan iringan rasa kagum dari para penggede, pecandu golf. Kemenangan itu membawa dia ke Spanyol untuk ikut dalam pertandingan golf sedunia di sana. "Saya hanya bisa menempati kedudukan ke 5", katanya seraya senyum pahit. Ol In Wan Sekarang dia menjadi pelatih di lapangan golf Ancol dengan gaji Rp 75. 000. Di situ dia mengetuai Yayasan Kesejahteraan Kedi. Dia melihat para pemain muda yang berpusat di sana dan mengurusi lebih dari 300 orang kedi. Di samping itu dia masih punya sumber penghasilan sebagai pelatih untuk umum dengan tarif Rp 2500 perjam. Penghasilannya sebulan sekitar Rp 250.000 yang terbagi dalam Rp 4.000 untuk keperluan rumahtangga dalam sehari dan Rp 2.000 untuk keperluannya selama seharian di lapangan. "Setelah saya menjadi pemain pro saya bercita-cita untuk membiayai mak saya ke Haji. Cita-cita itu sudah terpenuhi", ujarnya. Di samping itu dia juga sempat membiayai ongkos pernikahan kedi langganannya. "Ini balas jasa, bung. Saya kawin diongkosin Pak Alamsyah (bekas sekretaris negara), mengapa kebaikan orang tak saya balas kalau saya mampu". Tanggal 5 Mei yang lalu di tengah-tengah keasyikan para pemain mematuk-matuk bola di Ancol, Mamat Kadjal membuat pukulan yang amat jarang dibuat seorang pemain. Pada lobang nomor 7 dalam jarak 184 yard, Par 3 (jarak yang harus ditempuh dengan 3 pukulan) dia capai hanya sekali hanjut saja. Dalam permainan, pukulan ini namanya hole in one. Pukulannya itu disaksikan Soleh Salim (putera Pak Salim, pelatihnya dulu) dan seorang pemain yang sedang dalam gemblengannya dari Bandung. "Saya memukul dengan club nomor 6 besi, merek Ben Hogan. Ini ol in wan untuk kedua kali. Yang pertama ketika saya bekerja di Senayan", katanya. Pukulan itu dia selamatin dengan traktiran semua kenalan, para kedi dan bapak-bapak. Dengan nasi soto atau semangka. Tetapi hari itu jalan hidupnya tidak saja ditandai dengan pesta untuk "sekali pukul masuk lubang", sebab pada siang harinya datang seorang ibu dengan anak perempuannya. Wanita ini datang pada Mamat untuk minta tolong membantu sebuah kesulitan. Sebuah kesulitan yang kebetulan tak ada hubungannya dengan handicap seorang pemain. Ia datang untuk minta tolong menyelesaikan kemelut rumahtangganya. Sudah dua tahun suaminya kalau pulang, malam-malam terus. "Ngakunya main golf, saya amat senang pada mulanya karena dia main golf. Nyatanya dia pacaran dengan seorang pegawai lapangan golf ini. Bapak tolonglah saya", kata wanita muda itu merendah. Dia kenal suami tersebut - orang yang nyatanya kalau datang ke Ancol hanya untuk kencan dan bukan main golf -- dia juga kenal pegawai wanita yang sedang main cinta dengan suami orang. "Baik bu, besok ibu datang lagi. Akan saya urus. Kepala kantor suami ibu itu, saya kenal nanti saya lobbing dengan dia". Si Mamat meninggalkan air jeruk panas di hadapannya dan dengan Iangkah kaki seperti orang menginjak aspal yang lagi lumer, dia menghampiri seseorang di lapangan. Orang itulah kepala kantor dari sang suami yang sedang pergi entah ke mana dengan sang pacar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus