Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Memiliki dan mencintai 400 lukisan

Bagi pengumpul lukisan selain memiliki rasa cinta seni juga ada segi dagang di baliknya. makin lama lukisan disimpan atau makin terkenal pelukisnya, semakin tinggi pula harganya.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI banyak orang mengumpulkan lukisan mungkin kerja orang gendeng. Di samping biayanya meliputi deretan 0 yang panjang, juga menyimpannya merupakan soal yang memusingkan. Kolektor seperti Adam Malik yang punya ratusan lukisan, sampai merelakan koleksinya untuk pajangan museum. Sementara lihatlah rumah orang seperti Alex Papadimitrou, kolektor terkemuka di Jakarta, yang tumpat padat oleh lukisan bagaikan gudang. Apa lukisan itu tidak lebih rewel dari anak-anak misalnya? Tapi kemudian bayangkanlah sebuah lukisan Amri Yahya yang kini telah sanggup mencapai harga Rp 3 juta. Bukan main. Ini memang semacam kubangan yang boros tetapi juga sekaligus investasi masa depan yang amat menguntungkan seperti yang dibayangkan oleh Alex. Tergantung dari kepintaran memilih barangnya. Artinya, pada akhirnya, di samping memang benar-benar mengandung moral mencintai seni -- juga ada segi dagang di baliknya. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Adam Malik di rumahnya perihal lukisan-lukisan yang ia canangkan untuk isi Museum Senirupa, ternyata ia juga tidak benar-benar hafal piaraannya itu. Misalnya tatkala ditanyakan siapa pelukis lukisan yang tergantung di dinding depan ia mengelak dengan bijak. Ini boleh jadi karena tidak semua lukisan di dinding seorang pejabat dibeli. Bisa hadiah. Ia harus dipajang meskipun tidak perlu diketahui siapa pelukisnya. Sementara di sebuah rumah di bilangan Ancol, Eben, seorang pedagang lukisan dengan pasih bisa menerangkan lukisan-lukisan yang ada di dinding rumahnya. Ia pun punya pengamatan yang ahli dari segi artistik maupun komersiil. Di Surabaya masih ada kolektor 400 buah lukisan. Rumahnya di jalan Diponegoro dengan teras gelondong kayu. Namanya: Soenarjo Oemar Sidik. Ia tidak hanya memiliki tapi juga mencintai. "Semuanya terbentuk dengan tidak sengaja", kata orang tua yang bercambang dan berambut putih itu. Dalam bahasa Jawa ini disebut dengan istilah "dadi karepe dewe". Tidak didahului dengan perencanaan. Pada tahun 1950 Soenaryo mulai membeli sebuah lukisan untuk menghiasi rumahnya. "Dari satu yang saya anggap sebagai kebanggaan ini, lalu saya ingin beli lagi yang kedua, dan seterusnya", ujarnya pada TEMPO. Pabrik Es Sementara deretan piaraannya bertambah, diam-diam makin merasuk pula rasa cintanya. Dengan kata-kata yang berlebihan dia simpulkan: "Bahwa seni adalah kehidupan, tanpa seni tak ada kehidupan". Yang jelas seluruh dinding rumahnya penuh bergelantungan segala macam lukisan dari berbagai format dan aliran. Ada Affandi, Sudjojono, Rusli Barli, Kartika, Abas, Tedja serta pelukis-pelukis Surabaya seperti Daryono, Amang Rachman, Isbandi dan tidak terlupakan Karjono JS -- pelukis yang paling dikaguminya sampai saat ini. Deretan nama ini memang segera membayangkan berapa nol nilai seluruhnya. "Lukisan itu mahal harganya, malahan sebenarnya sulit untuk dinilai dengan uang", kata Soenaryo yang pengusaha pabrik es. Dengan terus terang ia mengaku, berkat persobatannya dengan para pelukis, lukisan itu bisa dibeli cicil seenaknya. Tapi ulahnya ini malah membuat para pelukis itu merasa berhutang budi lalu pingin menyebutnya sebagai "bapaknya seniman". Ia menolak untuk disebut kolektor. Karena ukuran utama profesi itu baginya dalah duit banyak dan mutu ]ukisan yang hebat. Kendati ia mencintai seluruh isi dindingnya ia masih sangsi adakah orang lain bisa menerima baik kwalitas koleksinya. "Buruk baiknya lukisan tidak terpancang karena "dug" atau semata-mata kwalitas cat", ujar Soenaryo dari balik asap tembakau Mars Brand yang selalu dicangkingnya kian ke mari. Ia memperlihatkan betapa hampir tak pernah ia merawat lukisannya secara khusus. Ini boleh saja berakibat ada kemunduran dari segi warna serta ketahanan kanvas. Lukisan-lukisan itu seperti terpatok di dinding dan menjadi sebagian isi rumah yang membisu di tempatnya. "Paling-paling kalau dinding rumah akan dikapur, ya sekalian debu yang melekat dibersihkan, baru mau tak mau lukisan itu diturunkan", tutur orang tua ini. Ini sedikit berbeda dengan apa yang kita jumpai di rumah kolektor Alex Papadimitrou, Jakarta. Di sini lukisan seringkali harus pasang bongkar, karena kebutuhan pameran. Dipinjam atau bisa jadi ditukar oleh lukisan lain oleh sesama kulektor. Meski dengan rendah hati tak sudi disebut kolektor, orang tua ini ternyata, juga diam-diam telah mencintai lukisan dengan cara memberikannya pada orang lain. Sejak tahun 1951 sekurang-kurangnya sudah 300 (tiga ratus) buah lukisan ia oper kepada 215 orang kenalannya. Ia memiliki daftar lengkap dan bisa jadi merupakan sebagian dari kebahagiaan masa tuanya. Di sana tercatat nama-nama seperti: Jenderal Polisi Soekarno Djojonegoro, Prof. Mr. Toha, Samadikun, Kolonel Soekotjo, Mayjen Moh. Wijono, Prof. Eri Sudewo, Jenderal Sunitro dan lain sebagainya. Dalam usia 56 tahun kini (memakai setelan putih), di antara koleksanya ia seakan-akan seorang bapak yang amat berbahagia dan bangga. Ia mengutip sabda yang berbunyi: "Memberi habis-habisan, tapi makin kaya". Pekerjaannya yang banyak menghamburkan duit itu disertai pula penghargaannya yang nyaris kultus pada pribadi seniman. "Mereka adalah manusia biasa plus X", katanya menerangkan lalu disertai oleh pendapat bahwa "seni itu tak pernah mandeg apalagi nundur". Maka wajar bila ia mengatakan bahwa pelukis-pelukis kini sudah bnyak kemajuan bila dibandingkan denan pelukis di zaman PERSAGI. Bagi Soenaryo yang mampu membelanjai "cintanya" itu, jelas mengumpulkan lukisan tak ada dukanya. Ia punya uang, punya hubungan baik dan punya nafsu untuk memberi pada orang lain. Ini berbeda dengan apa yang dialami leh sama-sama kolektor yang bermukim di Surabaya, Oei Bun Po. Tokoh ini berusia 70 tahun pemilik apotik Madya di jalan Simolawang Baru. Ia mengumpulkan lukisan sejak berusia 12 tahun. Dengan rajin ia menyisihkan uang sekolahnya lalu bergegas ke toko beli lukisan sekitar harga 10 sen. Hingga ia memiliki ratusan buah lukisan. Tetapi malang tak dapat ditolak. Pada tahun 1945 rumahnya terbakar, lalu lenyap pulalah "tambang masa depanya" itu. Sekarang ia memiliki nasehat begini untuk dirinya sendiri: "Saya tidak perlu mengoleksi lukisan banyak-banyak, biar sedikit, pokok yang pilihan sekali". Kini ia memiliki sekitar 40 buah lukisan pilihan. Di antaranya ada nama Affandi, Hendra Goenawan dan Srihadi 3 nama yang menjadi pujaannya. Lukisan Srihadi pernah digebraknya di tahun 1965, 12 buah sekaligus seharga a Rp 5000. Waktu itu orang masih belum tahu anak muda itu bakal begitu menanjaknya, sehingga kini lukisannya berharga sampai Rp 1 juta per buah. "Terhadap lukisan-lukisan ketiga pelukis itu, saya nggak akan menjualnya kepada orang", kata Oei. Pernah sekali ada yang datang mau bujuk beli karya Affandi yang bernama "Orang Jual Nasi Gudeg Di Masa Revolusi" seharga Rp 5 juta. "Saya tolak", tukas Oei tandas. Sebagaimana juga beberapa kolektor di Jakarta, Oei mengaku pernah menjual lukisan di samping membeli. "Itu saya lakukan bila keadaan saya krisis", katanya. Uang yang diterimanya rata-rata sekitar Rp 1 juta. Krisis itu tatkala ia harus menutup toko alat-alat listriknya di jalan Kembang Jepun. Demikianlah lukisan itu telah sanggup membalas cintanya dengan menyelamatkan sang tuan, dengan harga yang tidak kecil. Seperti kata orang, lukisan itu tidak ada yang turun harganya. Makin disimpan makin mahal. Tak heran kalau Affandi menyindir melihat banyak orang suka memborong lukisannya sambil mengharapkan bisa menelorkan duit bila ia telah tiada. Oei merawat piaraannya secara khusus. Tiga minggu sekali ia membersihkan debu-debu yang menempel. "Lukisan-lukisan itu harus digantung di dinding, jangan ditaruh di bawah", katanya memberi nasehat. Berbeda dengan Soenarjo, ia menilai senilukis Indonesia zaman PERSAGI unggul timbang hasil-hasil masa kini. "Saya lebih mengagumi zaman PERSAGI, sebab yang sekarang ini lebih berbau komersiil sehingga bobotnya kurang". Kecintaan Oei pada lukisan, serta hubungannya yang erat dengan Affandi, membuatnya berada di lereng Gunung Agung pada tahun 1963. Sedang sibuknya kawah mengamuk, mereka berdua berusaha untuk memotret peristiwa itu. Di sana menyaksikan lewat mata sendiri batu-batu sebesar rumah serta kaki dan tangan manusia yang sudah terputus dari tubuhnya. Lewat jepretan itu kemudian Affandi mendasari beberapa buah karyanya. Di lain saat, bersama orang yang sama dia sudah berada di pantai Kesombe - di kawasan Bali juga. Dengan kedua belah tangannya ia menahan kanvas Affandi, (lupa membawa dug tempat melukis). Ini berlangsung tidak kurang dari satu jam -- waktu rata-rata yang dibutuhkan Affandi untuk sebuah lukisan. Ia ikut menahan terik matahari sembari terpesona oleh kegairahan melukis si pelukis kawakan yang seperti orang edan itu. Apalagi sedang getol memplotot-plotot tiba-tiba saja sang pelukis kemudian tersungkur ke atas pasir panas - tak sadarkan diri. Dasar seniman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus