Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mengusut dangdut

Dinas kebudayaan dki bekerja sama dengan yammi mengadakan lokakarya tentang jenis musik dangdut. mencoba mengusut dangdut dari berbagai sudut. (ms)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK hanya rupiah yang mengalami inflasi--pun agaknya musik dangdut. Setelah mencapai puncak kejayaan di tahun 1979, tahun-tahun berikutnya dangdut menyurut. Paling tidak, begitulah penilaian Munif Bahaswan, 43 tahun, penyanyi, pencipta lagu dangdut dan kini menjadi Ketua Umum Yayasan Melayu Indonesia (Yammi). Walaupun begitu, baru 10 dan 11 Maret yang lalu, diselenggarakan satu lokakarya untuk mengusut jenis musik yang merangsang gerak ini. Pertemuan dua hari itu, hasil kerjasama Dinas Kebudayaan DKI dan Yammi, menampilkan sembilan pembicara. Ada buda awan dan kolumnis Sudjoko. Ada Zakaria pimpinan Orkes Melayu Pancaran Muda. Ada pula orang RRI akarta, dan orang Radio Swasta Niaga Arief Rahman Hakim. Artinya, pertemuan ini mencoba mengusut dangdur dari berbagai sudut. Orkes harmonium, ang begitu populer di setawi dulu, ditunjuk sebagai biang musik dangdut. Harmonium adalah instrumen pengiring semacam organ -- yang kini digantikan akordeon -- di samping gendang, biola, rebana dan kadangkala ada tamborin pula. Menginjak tahun 40-an, nama orkes harmonium perlahan-lahan menghilang. Harmonium digantikan akordeon. Dan yang dikenal adalah adalah orkes Melayu (0M). Orkes harmonium, yang rernyata berkembang juga di Surabaya waktu itu, biasanya bermain di tempat-tempat perjamuan. Tak ada semangat kompetisi komersial, seperti sekarang. Bahkan setelah menjelma menjadi OM, tahun 50-an berdiri OM Al Kahwa yang khusus melayani mereka yang mengadakan perhelatan tapi tak mampu menanggap orkes. Al Kahwa cukup minta bayaran kahwa (kopi), artinya cukup bila mereka disuguhi minuman kopi saja. Pantun Melayu Mungkin karena akarnya itulah, ditambah dengan kenyataan liriknya yang sederhana dan iramanya yang mengundang goyang (menurut analisa peserta lokakarya), dangdut mudah menyelusup dan hidup di lorong-lorong, di kampung-kampung. Liriknya yang gampang dicerna, barangkali juga penyebab dangdut disenangi kalangan bawah. Dulu semasa OM populer, lirik lagu sangat diwarnai pantun Melayu. Lebih-lebih "sejak akhir 60-an," kata Zakaria orang dari OM Pancaran Muda, "lirik digampangkan, mengatakan apa adanya." Munculnya tokoh Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih tahun 1975, sempat menggeser jenis musik lainnya. Lebih-lebih setelah Rhoma mencampurkan unsur musik rock ke dalam dangdut, hingga terasa lebih menyentak. Sehingga, kata Munif, waktu itu orang tak membeli kaset dangdut karena lagunya, tapi membeli suara Rhoma. Kalau begitu, bisa ditebak, surutnya Rhoma akan pula membawa dangdut tergeser oleh jenis lagu lain --bila tak muncul tokoh baru yang berkharisma sebobot Rhoma. Lihat saja, setahun sesudah masa puncak, dangdut agak tergeser oleh jenis yang waktu itu melejit jenis musik bertutur dari Ebiet, Leo Kristi, Franky & Jane, dan kemudian Gombloh. Sampai tahun lalu, 1981, kemerosotan dangdut masih terasa, meski musik bertutur ternyata tak begitu mendominasi pasaran lagi. Lagu-lagu Ebiet bahkan mulai turun dari tangga lagu di radio-radio swasta niaga. Sementara itu munculnya album Zam-zam dari penyanyi dangdut baru, Ice Trisnawati, belum menjanjikan satu warna baru yang bisa menyegarkan dunia dangdut. Menurut Munif, kekhasan Ice belum ada. Tapi baru-baru ini muncul album Wakuncar dari Reynold Panggabean. Menurut kalangan pengamat musik, ada yang baru dari rekaman ini. "Reynold memang istimewa dalam aransemennya," kata Munif pula. Toh, Kerua Umum Yammi ini belum yakin benar, bahwa Reynold akan tampil menggantikan Rhoma. Soalnya, "belum ada warna istimewa dalam menyuguhkan komposisi." Lalu apa yang akan terjadi di tahun ini dengan dangdut susah menduganya. Mungkin popularitas Rhoma akan kembali menyegar. lngat saja, popularitas Rhoma tak didukung oleh bobot musiknya saja, tapi juga misalnya, karena lagunya Rupiah dan Hak Asasi, vang dilarang disiarkan TV dan RRI. Atau mungkin, seperti juga jenis musik pop pada umumnya, dangdut memang sudah saatnya digeser, untuk digantikan yang lain. Sebagaimana dikatakan Dr. Sudjoko dalam makalahnya--yang pada intinya meragukan keunggulan musik dangdut dibanding jenis musik yang lain, terutama dari banyaknya penggemar--sikap masyarakat itu selalu berubah --terhadap dangdut atau pop Melayu. Ada isyarat samar- samar. Pekan Raya Jakarta, yang menyediakan plaza untuk berajojing setiap malam, tak sepenuhnya lagi diisi orkes dangdut. Tiga malam dalam satu minggu, yang muncul musik disko. Apalagi, untuk goyang pun kini Jaipongan terasa lebih digemari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus