TAK hanya rupiah yang mengalami inflasi--pun agaknya musik
dangdut. Setelah mencapai puncak kejayaan di tahun 1979,
tahun-tahun berikutnya dangdut menyurut. Paling tidak, begitulah
penilaian Munif Bahaswan, 43 tahun, penyanyi, pencipta lagu
dangdut dan kini menjadi Ketua Umum Yayasan Melayu Indonesia
(Yammi).
Walaupun begitu, baru 10 dan 11 Maret yang lalu, diselenggarakan
satu lokakarya untuk mengusut jenis musik yang merangsang gerak
ini. Pertemuan dua hari itu, hasil kerjasama Dinas Kebudayaan
DKI dan Yammi, menampilkan sembilan pembicara. Ada buda awan
dan kolumnis Sudjoko. Ada Zakaria pimpinan Orkes Melayu Pancaran
Muda. Ada pula orang RRI akarta, dan orang Radio Swasta Niaga
Arief Rahman Hakim. Artinya, pertemuan ini mencoba mengusut
dangdur dari berbagai sudut.
Orkes harmonium, ang begitu populer di setawi dulu, ditunjuk
sebagai biang musik dangdut. Harmonium adalah instrumen
pengiring semacam organ -- yang kini digantikan akordeon -- di
samping gendang, biola, rebana dan kadangkala ada tamborin pula.
Menginjak tahun 40-an, nama orkes harmonium perlahan-lahan
menghilang. Harmonium digantikan akordeon. Dan yang dikenal
adalah adalah orkes Melayu (0M).
Orkes harmonium, yang rernyata berkembang juga di Surabaya waktu
itu, biasanya bermain di tempat-tempat perjamuan. Tak ada
semangat kompetisi komersial, seperti sekarang. Bahkan setelah
menjelma menjadi OM, tahun 50-an berdiri OM Al Kahwa yang khusus
melayani mereka yang mengadakan perhelatan tapi tak mampu
menanggap orkes. Al Kahwa cukup minta bayaran kahwa (kopi),
artinya cukup bila mereka disuguhi minuman kopi saja.
Pantun Melayu
Mungkin karena akarnya itulah, ditambah dengan kenyataan
liriknya yang sederhana dan iramanya yang mengundang goyang
(menurut analisa peserta lokakarya), dangdut mudah menyelusup
dan hidup di lorong-lorong, di kampung-kampung.
Liriknya yang gampang dicerna, barangkali juga penyebab dangdut
disenangi kalangan bawah. Dulu semasa OM populer, lirik lagu
sangat diwarnai pantun Melayu. Lebih-lebih "sejak akhir 60-an,"
kata Zakaria orang dari OM Pancaran Muda, "lirik digampangkan,
mengatakan apa adanya."
Munculnya tokoh Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih tahun 1975, sempat
menggeser jenis musik lainnya. Lebih-lebih setelah Rhoma
mencampurkan unsur musik rock ke dalam dangdut, hingga terasa
lebih menyentak. Sehingga, kata Munif, waktu itu orang tak
membeli kaset dangdut karena lagunya, tapi membeli suara Rhoma.
Kalau begitu, bisa ditebak, surutnya Rhoma akan pula membawa
dangdut tergeser oleh jenis lagu lain --bila tak muncul tokoh
baru yang berkharisma sebobot Rhoma.
Lihat saja, setahun sesudah masa puncak, dangdut agak tergeser
oleh jenis yang waktu itu melejit jenis musik bertutur dari
Ebiet, Leo Kristi, Franky & Jane, dan kemudian Gombloh.
Sampai tahun lalu, 1981, kemerosotan dangdut masih terasa, meski
musik bertutur ternyata tak begitu mendominasi pasaran lagi.
Lagu-lagu Ebiet bahkan mulai turun dari tangga lagu di
radio-radio swasta niaga. Sementara itu munculnya album Zam-zam
dari penyanyi dangdut baru, Ice Trisnawati, belum menjanjikan
satu warna baru yang bisa menyegarkan dunia dangdut. Menurut
Munif, kekhasan Ice belum ada.
Tapi baru-baru ini muncul album Wakuncar dari Reynold
Panggabean. Menurut kalangan pengamat musik, ada yang baru dari
rekaman ini. "Reynold memang istimewa dalam aransemennya," kata
Munif pula. Toh, Kerua Umum Yammi ini belum yakin benar, bahwa
Reynold akan tampil menggantikan Rhoma. Soalnya, "belum ada
warna istimewa dalam menyuguhkan komposisi."
Lalu apa yang akan terjadi di tahun ini dengan dangdut susah
menduganya. Mungkin popularitas Rhoma akan kembali menyegar.
lngat saja, popularitas Rhoma tak didukung oleh bobot musiknya
saja, tapi juga misalnya, karena lagunya Rupiah dan Hak Asasi,
vang dilarang disiarkan TV dan RRI.
Atau mungkin, seperti juga jenis musik pop pada umumnya, dangdut
memang sudah saatnya digeser, untuk digantikan yang lain.
Sebagaimana dikatakan Dr. Sudjoko dalam makalahnya--yang pada
intinya meragukan keunggulan musik dangdut dibanding jenis musik
yang lain, terutama dari banyaknya penggemar--sikap masyarakat
itu selalu berubah --terhadap dangdut atau pop Melayu.
Ada isyarat samar- samar. Pekan Raya Jakarta, yang menyediakan
plaza untuk berajojing setiap malam, tak sepenuhnya lagi diisi
orkes dangdut. Tiga malam dalam satu minggu, yang muncul musik
disko. Apalagi, untuk goyang pun kini Jaipongan terasa lebih
digemari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini