Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ingin meniru Mike Andros

Pangkopkamtib Sudomo menganjurkan melakukan investigative reporting/laporan penyidikan. redaktur merasa terhalang melakukannya, karena adanya "lembaga telepon", sedang wartawan masih murah. (md)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Mike Andros. Sekitar 30-an umurnya Berambut ikal, dia gesit dan ulet. Juga pemberani, setidaknya dalam cerita serial televisi. Pernah suatu hari dia menerima informasi dari seorang pendeta. Seorang wanita bernama Mavis Higgins melihat satu peristiwa pembunuhan, tapi dia takut melaporkannya pada polisi. Informasi tersebut didapat sang pendeta dari nona Higgins melakukan pengakuan dosa Mike diminranya membujuk wanita itu agar mau mengutarakan apa yang telah dia saksikan. Korban pembunuhan adalah pengusaha di bidang produksi mainan anakanak. Sedang si pembunuh para petugas sekuriti dari saru perusahaan jasa pelayanan keamanan. Nona Higgins takut melapor, karena di negara asalnya yang sedang bergolak, setiap pelapor sewaktu-waktu bisa kena tembak atau bom. Dan komplotan pembunuh itu memang berusaha membunuh nona itu. Karena dia satu-satunya yang melihat undak kejahatan mereka. Maka reporter Mike Andros melakukan pengusutan. nia tekun dan tangkas mencari informasi. Kemudian dia terlibat melindungi sumber-beritanya, nona Higgins. Toh akhirnya kasus pembunuhan itu terbongkar. Dan The New York Forum berhasil menghidangkan kisah itu. Begitu kira-kira kegiatan ivestigative reporting menurut film serial The Andros Target yang pernah diputar TVRI setiap Selasa malam. Ternyata Pangkopkamtib Laksamana Sudomo tertarik oleh film itu yang, katanya, perlu ditiru wartawan kita. Sudomo sedikitnya sudah dua kali menyerukan anjurannya itu. Pertama, pertengahan Januari, ketika koran Pelita memuat berita penggerebegan terhadap Komisaris Partai Persatuan Pembangunan di Kecamatan Wringin, Bondowoso, Ja-Tim. Kedua, awal Meret ini, ketika 2 suratkabar Ibukota membentakan kasus pembunuhan Bupati Bone P.s. Harahap. Pemberitaan secara semberono sangat dikecamnya. Tak inginkah koran-koran Indoesia melakukan investigative reporting? "Bukan pekerjaan mudah. Diperlukan kemampuan jurnalistik yang baik dan mental ulet dalam diri si wartawan," tutur P. Swantoro. Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Selain itu, menurut Santoro, diperlukan keterbukaan sumber berita. baik pejabal maupun masyarakat sebagian besar pejabat dan masyarakat kita, katanya, masih dibelit ketertutupan. "Ada konflik kultural antara kami yang menginginkan keterbukaan dan pejabat/masyarakat yang masih tertutup." Dia mengambil contoh pemberitaan kasus pembajakan Garuda tempo hari. Sofyan Lubis. Wakil Pemimpin Redaksi Pon Kota, pun akur. "Keterbukaan akan membanru pekerjaan kita," karanya. Seperti Mike Andros?. 'Jangan berkhayal wartawan kita bekerja seperti itu," katanya lagi. Dihubungkannya hal itu dengan "lembaga telepon". Yaitu sering datang telepon dari Laksus, yang meminta sesuatu jangan disiarkan. Bagaimana di lembaga Kantor berita nasional Antara? "belum mampu," ujar Moh. Chudori bekas Pemimpin Redaksi yang kini menjabat Direktur Hubungan Internasional Antara mengenai investigative reporting "Antara diburu dead line, wartawan selalu dikejar waktu." katanya Tapi Chudori juga berpendapat, berita investigasi perlu dukungan faktor situasi dan kemampun warta wan. serbeda dengan di Malaysia (lihat box). Semuanya tampak sepakat Bahkan Dja'far H Assegaff, Sekjen PWI Pusat, berkata "Wartawan kita masih under paid (penghasilan terlalu rendah) dan tak ada yang mengasihinya." Mungkin masih perlu waktu panjang untuk tampil Andros Indonesia. Sebenarnya di masa lalu pernah ada. Koran Indonesia Raya, yang sudah diberangus oleh pemerintah, pernah membongkar kasus korupsi di Pertamina. "Waktu itu sama sekali tidak ada pihak pemerintah yang mau membantu kami, ' tutur Mochtar lubis, 60 tahun. Pemimpin Redaksi Indonesia Raya waktu itu Koran itu dulu dikenal melakukan investigative reporing yang seru, tentu saja dengan pelbagai risiko. Bahkan, tutur Mochtar lagi, pernah kantor Indonesia Raya terancam akan diobrak-abrik. hingga dia menyimpulkan tukang pukul. Mochtar Lubis, yang kini aktif di bidang usaha periklanan, menyambut baik seruan Laksamana Sudom--tapi. katanya, "pemerintah telah menciptakan pers tidak berfungsi sebagaimana mestinya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus