NAMANYA Mike Andros. Sekitar 30-an umurnya Berambut ikal, dia
gesit dan ulet. Juga pemberani, setidaknya dalam cerita serial
televisi.
Pernah suatu hari dia menerima informasi dari seorang pendeta.
Seorang wanita bernama Mavis Higgins melihat satu peristiwa
pembunuhan, tapi dia takut melaporkannya pada polisi. Informasi
tersebut didapat sang pendeta dari nona Higgins melakukan
pengakuan dosa Mike diminranya membujuk wanita itu agar mau
mengutarakan apa yang telah dia saksikan.
Korban pembunuhan adalah pengusaha di bidang produksi mainan
anakanak. Sedang si pembunuh para petugas sekuriti dari saru
perusahaan jasa pelayanan keamanan. Nona Higgins takut melapor,
karena di negara asalnya yang sedang bergolak, setiap pelapor
sewaktu-waktu bisa kena tembak atau bom. Dan komplotan pembunuh
itu memang berusaha membunuh nona itu. Karena dia satu-satunya
yang melihat undak kejahatan mereka.
Maka reporter Mike Andros melakukan pengusutan. nia tekun dan
tangkas mencari informasi. Kemudian dia terlibat melindungi
sumber-beritanya, nona Higgins. Toh akhirnya kasus pembunuhan
itu terbongkar. Dan The New York Forum berhasil menghidangkan
kisah itu.
Begitu kira-kira kegiatan ivestigative reporting menurut film
serial The Andros Target yang pernah diputar TVRI setiap Selasa
malam. Ternyata Pangkopkamtib Laksamana Sudomo tertarik oleh
film itu yang, katanya, perlu ditiru wartawan kita.
Sudomo sedikitnya sudah dua kali menyerukan anjurannya itu.
Pertama, pertengahan Januari, ketika koran Pelita memuat berita
penggerebegan terhadap Komisaris Partai Persatuan Pembangunan di
Kecamatan Wringin, Bondowoso, Ja-Tim. Kedua, awal Meret ini,
ketika 2 suratkabar Ibukota membentakan kasus pembunuhan Bupati
Bone P.s. Harahap. Pemberitaan secara semberono sangat
dikecamnya.
Tak inginkah koran-koran Indoesia melakukan investigative
reporting? "Bukan pekerjaan mudah. Diperlukan kemampuan
jurnalistik yang baik dan mental ulet dalam diri si wartawan,"
tutur P. Swantoro. Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Selain itu,
menurut Santoro, diperlukan keterbukaan sumber berita. baik
pejabal maupun masyarakat sebagian besar pejabat dan
masyarakat kita, katanya, masih dibelit ketertutupan. "Ada
konflik kultural antara kami yang menginginkan keterbukaan dan
pejabat/masyarakat yang masih tertutup." Dia mengambil contoh
pemberitaan kasus pembajakan Garuda tempo hari.
Sofyan Lubis. Wakil Pemimpin Redaksi Pon Kota, pun akur.
"Keterbukaan akan membanru pekerjaan kita," karanya. Seperti
Mike Andros?. 'Jangan berkhayal wartawan kita bekerja seperti
itu," katanya lagi. Dihubungkannya hal itu dengan "lembaga
telepon". Yaitu sering datang telepon dari Laksus, yang meminta
sesuatu jangan disiarkan.
Bagaimana di lembaga Kantor berita nasional Antara? "belum
mampu," ujar Moh. Chudori bekas Pemimpin Redaksi yang kini
menjabat Direktur Hubungan Internasional Antara mengenai
investigative reporting "Antara diburu dead line, wartawan
selalu dikejar waktu." katanya Tapi Chudori juga berpendapat,
berita investigasi perlu dukungan faktor situasi dan kemampun
warta wan. serbeda dengan di Malaysia (lihat box).
Semuanya tampak sepakat Bahkan Dja'far H Assegaff, Sekjen PWI
Pusat, berkata "Wartawan kita masih under paid (penghasilan
terlalu rendah) dan tak ada yang mengasihinya."
Mungkin masih perlu waktu panjang untuk tampil Andros Indonesia.
Sebenarnya di masa lalu pernah ada. Koran Indonesia Raya, yang
sudah diberangus oleh pemerintah, pernah membongkar kasus
korupsi di Pertamina. "Waktu itu sama sekali tidak ada pihak
pemerintah yang mau membantu kami, ' tutur Mochtar lubis, 60
tahun. Pemimpin Redaksi Indonesia Raya waktu itu Koran itu dulu
dikenal melakukan investigative reporing yang seru, tentu saja
dengan pelbagai risiko. Bahkan, tutur Mochtar lagi, pernah
kantor Indonesia Raya terancam akan diobrak-abrik. hingga dia
menyimpulkan tukang pukul.
Mochtar Lubis, yang kini aktif di bidang usaha periklanan,
menyambut baik seruan Laksamana Sudom--tapi. katanya,
"pemerintah telah menciptakan pers tidak berfungsi sebagaimana
mestinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini