DARI rumah tua di kawasan Tirtodipuran, Yogyakarta, ia tampil begitu saja: ngantuk, lusuh, dan awut-awutan. "Maaf, saya melukis sampai tadi pagi," kata Agus Suwage kepada TEMPO. Di studionya seluas 32 meter persegi, kita bisa menyaksikan sebuah lukisan yang belum selesai. Lukisan itu menggambarkan sosok figur jongkok dengan latar belakang kuning emas. Di sebelah kiri figur, tergambar sebuah sketsa pisang. Di muka kanvas, tergeletak sebuah majalah seni rupa yang menampilkan gambar pisang karya grafis Andy Warhol. Suwage menunjuk gambar kloset di bagian bawah figur tadi yang dia ambil dari gambar kloset terkenal Marcel Duchamp, salah seorang tokoh gerakan Dada.
Ruang studio Suwage memang terasa sesak dengan tumpukan karya lukisnya. Agus Suwage memang sosok perupa yang selalu melompat dari satu titik perhatian ke titik yang lain. Dalam berkesenian, perupa kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 42 tahun lalu ini, selalu terdorong mencari pembaruan dan segera meninggalkannya ketika sudah menjadi tren. "Saya selalu berada dalam proses kreatif yang bersifat eksperimen," katanya. Suwage pula yang merupakan sedikit perupa yang berhasil menjadikan karya drawing (gambar) sebagai karya seni rupa yang diterima secara utuh oleh publik. Ia menjual karya di atas kanvas sama harganya dengan medium kertas. Selain itu, Suwage adalah sedikit lulusan seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memilih menjadi seniman ketika rekan-rekannya banyak yang lebih merasa aman bernaung di kantor.
Kebiasaannya menggarap karya drawing bermula dari pendidikan desain grafis yang diperolehnya dari Fakultas Seni Rupa ITB yang diselesaikannya pada 1986. Bersama lima temannya, Suwage mendirikan grafis house di Jakarta. Di sela-sela pekerjaan rutin sebagai desainer grafis, Suwage mengisi waktunya dengan membuat karya drawing. Ia pun mulai mengikuti beberapa pameran bersama yang kemudian segera bosan terhadap kerja rutin sebagai desainer grafis. "Lama-lama saya tidak tahan harus berpura-pura, kompromi dengan klien, harus berpakaian rapi, harus bangun pagi," kata Suwage. Repotnya, Suwage belum yakin bisa hidup hanya sebagai seniman, apalagi dengan karya berupa drawing. Karya pada pameran tunggalnya yang pertama pada 1995 di Galeri Cemeti, Yogyakarta, memang habis terjual seusai pameran. Tapi itu lebih karena upaya Suwage menawarkan pada kenalannya, dan tentu dengan "harga pertemanan".
Dalam proses kreatifnya, Suwage semakin menggila. Ia menggunakan medium yang tidak lazim dalam seni rupa. Suwage mulai membuat drawing di atas kanvas dengan arang, dengan materi aspal di atas pelat seng, pigmen tanah, teh, atau kopi. Suwage juga merambah medium seni instalasi. Tema sosial-politik semakin membuat karyanya berkarakter. Karyanya terkesan jauh dari citra karya fine art. Bahkan pada 1998, Suwage menggelar pameran seni rupa buku yang menjatuhkan eksklusifitas karya seni rupa.
Undangan berpameran di luar negeri mengalir deras, dan karyanya berupa drawing di atas kertas maupun kanvas diapresiasi publik. "Saya semakin percaya diri karena hasil penjualan karya saya," katanya. Suwage pun nekat melepas dunia desain grafis dan menjadi seniman profesional. Ia pun pindah ke Yogyakarta pada 1999, tempat yang dia anggap bisa hidup murah dan cocok untuk berkesenian. Pada pamerannya di Galeri Nadi, Jakarta, pada Juni 2001, karyanya ludes terjual dan membuat kecewa kolektor yang tak kebagian. Karyanya kini sudah menjadi komoditi sederhana.
Saat ini Suwage menjadikan dirinya sebagai subyek, berupa potret wajah atau bagian tubuhnya dengan tema yang sangat personal. Ia menggarap posisi tubuh yang tidak lazim, yang menurut Agung Kurniawan, salah seorang sahabat Suwage, bersumber dari karya seorang perupa asing.
Keinginannya pada tahun 2001? "Saya ingin sekali melukis still-life," katanya.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini