Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua hal yang menjadi kontroversi (konyol) tentang film terbaru arahan sutradara Bill Condon ini.
Pertama, saat diumumkan film animasi yang pertama berhasil dinominasikan sebagai Film Terbaik Academy Awards 1991 ini akan diangkat menjadi film layar lebar dengan aktris Emma Watson sebagai Belle, sudah timbul cekcok soal cerita. Film produk Disney yang berasal dari dongeng Prancis karya Jeanne-Marie Leprince de Beaumont itu dianggap "melegitimasi" penculikan seorang perempuan muda (cantik dan cerdas) yang kemudian jatuh cinta pada penculiknya, si Beast, yang sebetulnya seorang pangeran yang dikutuk. Dongeng ini kemudian diidentifikasi oleh sebagian penonton sebagai cerita yang mengandung "Stockholm Syndrome".
Kontroversi kedua adalah ketika sutradara Bill Condon menyatakan bahwa tokoh LeFou dalam film ini adalah tokoh gay pertama dalam sejarah produksi Disney. Tokoh LeFou adalah sahabat Gaston. Sementara Gaston adalah veteran perang bertubuh bak raksasa yang terdiri atas otot belaka, LeFou digambarkan sahabat yang tak henti-henti mengaguminya dan "ingin menjadi dirimu". Maka, jauh hari sebelum film beredar, beberapa pemerintah negara seberang "gelisah" bahkan sebelum film itu beredar. Malaysia minta "adegan gay" itu dipotong, dan Disney menolak. Ada juga satu teater di Alabama, Amerika Serikat, yang menarik pemutaran film ini karena tak nyaman dengan adegan dua detik itu. Apa sih adegan yang juga diperbincangkan di media sosial di Indonesia itu? Jika kita berkedip pada adegan pesta dansa waltz akhir, kita juga tak akan menyadarinya dan tak perlu pusing. Hanya adegan LeFou berdansa. Itu saja. Dua detik. Sutradara Condon memang agak berlebihan dengan pernyataannya.
Selain film Beauty and the Beast berhasil meraup US$ 174,8 juta di Amerika pada akhir pekan pertama dan US$ 180 juta di negara-negara lain--artinya film ini memecahkan rekor box office baru--apakah memang ada sesuatu yang baru dibanding film animasi arahan Gary Trousdale dan Kirk Wise 26 tahun silam?
Pertama-tama, Emma Watson, aktris yang namanya melejit dan setengah hidupnya diabdikan pada serial film Harry Potter sebagai tokoh Hermione Granger, adalah faktor penting dalam produksi film ini. Dongeng yang sudah dikenal ini mengalami perubahan yang cukup signifikan dan penambahan beberapa konteks latar belakang.
Plot utama tetap sama, bahkan berbagai adegan juga tetap seperti sebuah "copy-paste" animasi.
Seorang gadis cantik di sebuah desa terpencil Villeneuve nun di pojok Prancis bernama Belle (Emma Watson) berjalan dengan gaun biru dan menyanyikan betapa hidup di kampung kecil yang indah berarti dia menemukan pagi yang sama, reaksi yang sama dari orang yang sama. Sebuah desa yang berisi orang-orang yang memandang dirinya sebagai "perempuan yang aneh" hanya karena dia lebih suka membaca buku daripada kenes-kenesan dengan Gaston (Luke Evans), si ganteng-kekar-maskulin-narsistik yang senang berkaca dan merasa diri paling tampan itu. Lagu pertamanya, Belle, yang dulu dinyanyikan Paige O'Hara, kini disenandungkan Watson dengan suara yang lebih segar dan lincah tanpa vibrato. Pada menit-menit awal itu pula kita juga langsung menyadari Belle bukan sekadar putri ilmuwan, tapi dia ilmuwan dan inventor yang juga peduli akan kemampuan membaca anak perempuan di desanya. Bagian ini merupakan tuntutan Emma Watson, yang dikenal sebagai feminis.
Pertemuan Belle dengan istana yang menakutkan yang ternyata milik Beast (Dan Stevens), si pangeran yang terkutuk dengan sekumpulan pelayannya yang juga ikut sial karena berubah menjadi jam, tempat lilin, teko teh, piano, dan lemari itu, tak terlalu jauh dari versi animasi. Hanya, sekali lagi, sutradara Condon merasa penting untuk memberikan latar belakang kedua sejoli ini dan apa yang bisa mengikat mereka selain sekadar "kisah penculik dan korban yang akhirnya saling mencintai". Absennya ibu Belle dan orang tua sang pangeran kini terjawab dalam film ini. Bahkan para obyek, para pelayan yang sibuk menjodohkan sejoli ini, juga mempunyai cerita masing-masing.
Menarik, segar, dan sangat mengasyikkan untuk ditonton? Pasti, karena ada elemen nostalgia dengan lagu-lagu Alan Menken dengan lirik yang ditulis Howard Ashman yang terus melekat di benak kita sejak pertama kali kita menyaksikan versi animasi pada 1991. Bahwa Condon memutuskan menggunakan beberapa lagunya yang penting, seperti Belle, Something There, dan Gaston, yang kini dinyanyikan oleh Emma Watson dan para pemain lain dalam film, adalah sebuah strategi bagus karena sebagian penonton akan datang untuk bernostalgia. Tapi generasi milenialnya tetap bisa menikmatinya tanpa harus paham asal-muasal kisah ini. Lagu lama dan baru berbaur menjadi satu, tapi yang terpenting di sini Condon kini memasukkan tema penting dalam Beauty and the Beast versi baru: pluralisme. Bukan cuma soal "gay"--yang ternyata hanya adegan dua detik yang sama sekali tak jelas--tapi yang terlihat secara nyata Condon memasukkan berbagai tokoh Afro-American. Si pemilik perpustakaan dan Madame Garderobe (Audra MacDonald) serta Plumette (Gugu Mbatha-Raw) diperankan aktor dan aktris kulit berwarna.
Tapi sutradara Condon mungkin agak melewatkan peluangnya untuk lebih mendalam. Ketika Emma Watson menekankan betapa pentingnya mendalami pesan feminisme dalam film ini, elemen itu tak sepenuhnya digarap. Bahwa Belle adalah inventor dan ilmuwan hanya menjadi hiasan pada awal film dan menguap pada babak kedua dan ketiga. Bahwa Belle seorang kutu buku yang mencintai pengetahuan hingga dia mengalami "bibliogasme" saat dibawa ke perpustakaan raksasa Beast tidak terlalu dimaksimalkan kecuali pada beberapa adegan diskusi karya Shakespeare. Tentu Condon beralasan bahwa ini film Disney. Tapi tren untuk menjungkirbalikkan citra para putri Disney--yang biasanya lemah-lembut dan harus diselamatkan pangeran--ini sebaiknya dilakukan habis-habisan, agar anak-anak perempuan kita jangan mengira tumbuh sebagai perempuan muda hanya bisa lengkap dan beres jika diselamatkan seorang pria.
Belle versi Watson sudah menunjukkan sikap itu, tapi belum sepenuhnya.
Leila S. Chudori
Beauty And The Beast
Sutradara: Bill Condon
Skenario: Stephen Chbosky, Evan Spiliotopoulos
Pemain: Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Ewan McGregor, Josh Gad , Emma Thompson, Kelvin Kline, Ian McKellen, Stanley Tucci, Gugu Mbatha-Raw
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo