Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBETULNYA “A Whole New World” yang ditawarkan Disney tak pernah benar-benar baru, kecuali memberikan “daging” kepada film animasi yang mereka produksi puluhan tahun silam. Paling tidak itu yang terjadi pada film Beauty and the Beast (Bill Condon, 2017), yang versi film layar lebarnya dengan pemain Emma Watson sebagai si beauty meniupkan roh pada versi animasi. Dalam film live action itu, kita tak melihat perubahan yang signifikan selain beberapa selipan sikap feminisme yang agak “nanggung”. Tapi Beauty and the Beast sukses mencapai box office dan memang itulah tujuan Disney mendaur ulang semua film animasinya menjadi film live action.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini sutradara Guy Ritchie ditugasi- “menghidupkan” film animasi Aladdin (1992), yang sebetulnya jauh lebih menantang. Salah satu tantangan itu adalah para produser negara Barat, baik Hollywood maupun Eropa, belum terlepas dari konsep orientalis dan eksotis dunia Timur (Tengah) ataupun Timur Jauh (Asia), yang berujung pada visualisasi stereotipe. Pandangan dan visualisasi mereka belum berubah secara signifikan meski harus diakui terlihat upaya koreksi di sana-sini yang bersifat kosmetik. Apalagi film animasi Aladdin memang sudah mengandung masalah ketika keluar pada 1992 karena semua pengisi suara adalah aktor/aktris kulit putih. Maka tak aneh, ketika Disney mengumumkan akan membuat film panjang Aladdin, para penonton bersiap-siap meneliti apakah Hollywood akan mengulang stereotipe itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Whitewashing”—yang berarti menggunakan aktor kulit putih untuk tokoh-tokoh kulit berwarna—sudah sering terjadi dalam film-film Amerika Serikat. Di antaranya film klasik The King and I (1956), yang menampilkan aktor Hollywood asal Rusia, Yul Brynner, sebagai raja Siam; dan The Ghost in the Shell (Rupert Sanders, 2017), yang menghadirkan Scarlett Johansson sebagai Major Mira Killian alias Motoko Kusanagi dari kisah manga karya Masamune Shirow.
Dalam film Aladdin, hadirnya Naomi Scott (aktris campuran Inggris dan India) sebagai Jasmine dan Mena Massoud (aktor Kanada kelahiran Mesir) sebagai Aladdin sempat menimbulkan gerutuan (calon) penonton. Apalagi kemudian Pangeran Achmad, tokoh antagonis yang melamar Jasmine, diganti menjadi Pangeran Anders (Billy Magnussen) dari Norwegia, yang tampil karikatural. Maka istilah “whitewashing” pun berkibar kembali.
Keramaian meninggi ketika teaser film menampilkan Will Smith, si jin biru yang tampak aneh. Maklum, selain sulit menampilkan Genie dengan computer-generated imagery (CGI), Smith sebagai aktor harus menapak jejak Robin Williams yang sudah telanjur melekat di benak penonton. Bahkan sineas animasi Aladdin mengakui karakter Genie dalam film diciptakan dengan membayangkan Robin Williams.
Jadi bagaimanakah Aladdin live action ramuan Guy Ritchie?
Ternyata tak seburuk yang diperkirakan para penonton. Tentu saja plot film animasi versi 1992 menjadi pola dasar film ini. Tapi ada beberapa elemen yang diubah dan ditambah. Misalnya tokoh Genie dalam bentuk “manusia biasa” pada awal film digunakan sebagai pendongeng 1001 malam yang berkisah tentang sebuah negeri bernama Agrabah; tentang seorang putri cantik bernama Jasmine yang resah dengan undang-undang di kerajaannya yang mengharuskan dia menikah dengan seorang pangeran; dan tentang tradisi serta aturan Agrabah yang menganggap hanya lelaki yang bisa memerintah kerajaan.
Lalu muncullah si pencuri kampung berhati emas—karena curiannya selalu dibagikan kepada kaum papa—bernama Aladdin yang berkawan dengan si monyet kecil Abu. Aladdin jatuh cinta kepada si putri feminis. Lalu bagaimana cara dia menggapai hati sang putri? Genie siap melayani Aladdin, demikian jawab Genie yang diperankan Will Smith dengan lucu, yang tidak kelojotan seperti gaya Robin Williams. Tafsir Smith lebih “modern” dan lebih mengingatkan kita pada gaya sang aktor dalam komedi The Fresh Prince of Bel-Air. Cerewet, lucu, sekaligus cepat membantah.
Selain diperkuatnya unsur feminis dalam film, meski hanya di permukaan—aktris Naomi Scott lantang menyanyikan lagu baru Speechless—sutradara Guy Ritchie memperlihatkan keahliannya menggambarkan adegan komedi laga sebagaimana yang dia lakukan dalam serial film Sherlock Holmes. Meski penampilan pasangan Naomi Scott dan Mena Massoud tidak buruk seperti ramalan penonton yang hanya menyaksikan teaser film ini, mereka menyanyi dengan bagus terutama dalam adegan legendaris karpet terbang—justru yang menarik adalah tambahan subplot hubungan Dalia (komedian Saturday Night Live, Nasim Pedrad). Roman-romanan cinta ternyata tidak hanya soal karpet terbang ala Jasmine dan Aladdin. Hati si jin biru pun bergeleparan ketika ia berkenalan dengan dayang sang putri.
Jika tidak menuntut Will Smith menggantikan kedahsyatan Robin Williams dan mengabaikan CGI Genie yang agak ganjil itu serta lebih berfokus ketika dia sedang menjelma menjadi manusia, kita bisa menikmati film ini. Bahwa ternyata kostumnya campuran elemen India dan Arab, kita anggap saja itu bagian dari fantasi sineas tentang Agrabah yang fiktif. Dansa-dansi massal yang lebih menunjukkan Bollywood daripada tarian Arab pun tampaknya bukan karena soal peta dan geografi, tapi lantaran tarian Bollywood kini menjadi pilihan populer Hollywood sejak meledaknya film Slumdog Millionaire (Danny Boyle, 2008).
Tentu saja ada satu hal lagi yang perlu diabaikan, yakni tokoh Jafar (Marwan Kenzari) yang tampil sangat teatrikal itu. Selebihnya, bereslah sudah: film ini hiburan yang mengasyikkan.
Leila S. Chudori
menyaksikan Genie Jatuh Cinta/Tempo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo