Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Dionysus sampai Ryuichi Sakamoto

Singapore International Festival of Arts berlangsung pada 16 Mei-2 Juni 2019. Dionysus, kolaborasi sutradara Jepang, Tadashi Suzuki, dan aktor-aktor Indonesia, tampil pada awal perhelatan.

26 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dari Dionysus sampai Ryuichi Sakamoto/Purnati Indonesia/Pinkan Veronique

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pukul sepuluh pagi. Ahad, 20 Mei lalu. Sepagi itu para penonton anak-anak sudah antu-sias memenuhi gedung KC Arts Centre, Singapura. Diantar orang tua mereka, bocah-bocah itu tampak menggemaskan. Secara menarik, Singapore International Festival of Arts, yang berlangsung kurang-lebih dua minggu di tengah pertunjukan-pertunjukan besar lain, juga menyajikan khusus teater untuk anak-anak.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teater Silo dari Selandia Baru pagi itu menampilkan panggung boneka Peter and the Wolf. Peter and the Wolf adalah komposisi karya komponis Rusia, Sergei Prokofiev, pada 1935. Teater Silo mengadaptasi karya klasik itu dalam pertunjukan boneka yang diiringi instrumen musik modern. Pertunjukan tak hanya menghibur anak-anak, tapi juga orang dewasa. Strategi artistik Teater Silo cerdas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panggung sesak, tapi efektif. Sebuah layar besar dipasang di tengah. Di bawahnya, para pemain musik memainkan gitar, bas, violin, saksofon, dan drum. Di bawah para musikus, ada sebuah panggung kecil. Tiga dalang dengan posisi berdiri memainkan tali-tali menggerakkan tubuh boneka. Tubuh dalang dan kerja kru yang meng-ganti set panggung boneka serta mere-kam pertunjukan untuk ditayangkan lebih besar di layar tengah ditampilkan apa ada-nya. Kostum mereka pun tidak disamar-kan sebagaimana, misalnya, pertun-jukan teater boneka bunraku di Jepang. Di layar besar, detail mimik muka serta ges-tur boneka tertangkap. Adapun di pang-gung kecil tampak tali-tali boneka asli dimainkan. 

Komposisi Peter and the Wolf sesungguh-nya dibuat Prokofiev untuk mendidik anak-anak agar mengenali berbagai jenis instrumen orkestra. “Dalam pentas ini, sua-ra Peter direpresentasikan violin, sua-ra bebek menggunakan saksofon, vokal kakek di-ucapkan bas, suara serigala diwa-kilkan gitar,” kata Gaurav Kripalani, Direk-tur Singa-pore International Festival of Arts yang juga tampil sebagai narator. Peter dikisahkan berlibur di rumah kakeknya. Seekor serigala milik kebun bina-tang setempat lepas. Bersama teman-temannya, bebek, burung, dan kucing, Peter memburu si seri-gala. Cara mereka me--nampilkan adegan tangkas dan menyen-tuh. Ekspresi wajah Peter yang polos terasa kuat. Pertunjukan 45 menit ini pun kocak. Tatkala sang burung ditelan serigala, hap, ternyata di dalam perutnya burung itu kerasan. Sebab, di situ ada kafe terbuka.

Pertunjukan Peter and the Wolf merupa-kan penampilan keempat dalam rangkaian acara. Festival dibuka dengan pentas teater Beware of Pity di Esplanade Theatre (16 Mei) yang diadaptasi dari karya novelis Austria, Stefan Zweig.  Teater ini dibesut oleh sutradara Inggris, Simon McBurney, dan dimainkan oleh aktor-aktor kelompok teater Jerman, Schaubuhne Berlin & Complicite. Lalu Dionysus: pertunjukan kola-borasi sutradara kenamaan Jepang, Tadashi Suzuki, dengan aktor-aktor Indonesia (17-18 Mei) di Victoria Theatre. Dionysus telah dipentaskan perdana pada Agustus 2018 di Toga, Jepang, dan akhir September 2018 di panggung terbuka Candi Prambanan. 

 Atmosfer pertunjukan di Victoria Thea-tre dengan Prambanan tentu berbeda. Di Prambanan, pentas terbuka dengan bayang-bayang candi di kejauhan terasa magis, juga grandeur. Namun artikulasi, mimik wajah, dan terutama intonasi bahasa para aktor yang sangat penting dalam kolaborasi ini lebih kuat di pang-gung tertutup. Para aktor Indonesia meng-gunakan enam bahasa Nusantara: Batak, Sunda, Madura, Jawa, Rejang, dan Manado. Kor para pendeta dalam bahasa Batak, sementara paduan suara para perempuan pengikut Dionysus dalam bahasa Rejang. Akan halnya dua aktor dari Suzuki Com-pany of Toga menggunakan bahasa Cina dan Jepang. Perayaan multibahasa secara bunyi ini dalam panggung indoor yang memiliki akustik bagus seperti Victoria Theatre amat terasa. 

Dengan bahasa Jawa halus, kalimat-kalimat Djamaludin Latief, yang berperan sebagai Cadmus, pendiri Kota Thebes, lebih bergelombang dibanding ucapan-ucapannya di Prambanan. Dialog-dialog-nya dengan Tian Chong, aktor Cina yang memerankan Pentheus, Raja Thebes (ber-bahasa Cina), dan Naito Chieko, aktor Jepang pemain Agave (berbahasa Jepang), menjadi sebuah dialog bunyi yang kaya. 

Tafsir Tadashi Suzuki atas Dionysus kar-ya dramawan Yunani kuno Euripides ini adalah pertentangan antara penguasa tiranik dan kaum agamawan. Dionysus mem-bawa agama baru ke Kota Thebes. Dia menyatakan diri sebagai Tuhan. Semua perempuan di Thebes menjadi peng-ikutnya. Mereka melakukan ritual di Gunung Cithaeron. Penguasa Thebes, Pen-theus, melarang penyebaran agama itu karena menganggapnya penuh ritual tak senonoh. Beberapa sutradara dunia yang pernah mementaskan Dionysus, seper-ti Richard Schechner dari Amerika Serikat, lebih banyak menonjolkan unsur kebebasan erotis para pengikut agama Dionysus. Namun Suzuki sama sekali tak menyentuh  sensualisme. Yang ditonjolkan adalah konflik penguasa dengan pemimpin sekte agama. Sesuatu yang aktual.  

Salah satu wakil Singapura dalam festival ini adalah pertunjukan The Mysterious Lai Teck karya sineas muda Ho Tzu Nyen. Dalam sejarah, Lai Teck dikenal sebagai tokoh pergerakan komunis Malaysia yang melawan pendudukan Jepang. Namun, seperti Tan Malaka di Indonesia, yang banyak menyamar dalam perjuangannya di negara-negara lain, sesungguhnya Lai Teck adalah aktivis komunis Vietnam. Nama lahirnya adalah Pham Van Dac. Ia ber-ganti nama menjadi Truong Phuoc Dat sampai 1934, dan ketika memasuki Malaysia menjadi Lai Teck. 

“Saya tertarik membaca buku The Communist Struggle in Malaya karya Gene Z. Hanrahan. Saya tertarik pada sosok miste-rius Lai Teck, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Malaysia 1937-1947,” kata Ho. Namun, dalam pertunjukannya di SOTA Drama Theatre, bukan teater yang disaji-kan, melainkan lebih seperti visual art yang dipadukan dengan sinema. Seben-tuk patung laki-laki dengan posisi duduk menulis disajikan di panggung. Lalu ke arah tubuh dan mukanya disorotkan berbagai kanal video. “Saya berusaha melakukan sinkronisasi berbagai kanal video,” ujar Ho. Hanya, pertunjukannya cenderung mono-ton karena cuma bertumpu pada patung statis.   

Tampak dari keseluruhan, festival ini menyajikan berbagai kecenderungan genre teater. Selain bentuk “teater fisik” seperti yang ditampilkan Tadashi Suzuki, ada kelompok teater yang memadukan teater dengan teknologi virtual. Dari Jepang, ada kelompok Dumb Type. Dari Ing-gris, ada Curious Directive. Dumb Type dengan sutradara Shiro Takatani menam-pilkan ST/LL di Esplanade pada 24 Mei. Mereka menggandeng komponis Ryuichi Sakamoto, yang tersohor sebagai salah satu pioner komponis musik elektronik. Pentas dipastikan penuh dengan efek ilusi dan sensasi virtual yang canggih. Sakamoto sen-diri dijadwalkan mengadakan konser bertajuk Fragments pada 28 Mei di Esplanade. 

Dari Dionysus sampai Ryuichi Sakamoto/sifa.sg

Adapun Curious Directive akan menya-jikan Frogman. Karya ini mereka sajikan saat diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk berpentas di Institut Kesenian Ja-karta, Oktober 2018. Tiap penonton diha-ruskan mengenakan headset virtual reality dan duduk di kursi yang bisa berputar. Kisahnya mengenai kematian seorang anak perempuan. Di panggung, penonton dapat melihat adegan saksi di pengadilan yang beberapa tahun kemudian merekonstruk-si hari-hari terakhir korban. Sementara itu, melalui headset, secara virtual penonton dapat melihat anak tersebut di dalam ka-mar menjelang kematiannya. Penonton dibawa ulang-alik antara realitas nyata dan realitas virtual sekaligus mengalami dua plot cerita. 

Koreografer ternama yang meramaikan perhelatan seni di Singapura ini antara lain Sasha Waltz dari Jerman, yang menyajikan Korper pada 1 Juni di Esplanade. Beberapa karya yang ditampilkan memang karya lama, seperti ST/LL dari Dumb Type yang berasal dari 2015. Adapun karya seper-ti Dionysus baru akan melanjutkan perja-lanannya. Pada Juni ini, Dionysus akan di-pentaskan di Kurobe, Jepang. “Kami akan membuka gedung teater Unazuki Inter-national Hall di Kurobe,” kata Bambang Prihadi, teaterawan yang terlibat dalam proyek ini. 

Puncaknya, Dionysus akan tampil dalam Olimpiade Teater Dunia di Toga, Jepang. Selama sebulan penuh pada 23 Agustus-23 September, di sarang Tadashi Suzuki di pegunungan Toga, akan berlangsung Olimpiade Teater yang diikuti berbagai kelompok teater dari Rusia, Cina, Italia, Prancis, Jerman, Spanyol, juga Turki. “Dionysus akan tampil dua kali di Olimpiade Teater, tanggal 12 dan 21 September,” ucap Bambang.   

 Seno Joko Suyono (Singapura)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus