Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyelaraskan Gerak Cakil dan Balet

Andrea Leine dan Harijono Roebana berusaha mengharmoniskan vokabuler gerak Jawa dan balet. Hasilnya?

13 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam remang cahaya, tiga sosok berjalan ke depan ruang pentas Teater Salihara, Jakarta Selatan. Mereka berdiri mematung tatkala enam sosok tubuh berkelebat keluar dari samping panggung. Keenam orang ini berjalan sambil berucap, "Ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga." Ucapan huruf Jawa itu mereka ucapkan berulang kali. Menggema.

Mereka lantas duduk di hadapan seperangkat gamelan. Tiba-tiba…, "Clang!" Lalu bunyi gamelan mengentak bertalu menggugah penonton. Dua dari tiga penari ini bergerak setengah ngesot dengan iringan tiupan saluang menuju ke depan lalu menyingkir. Muncul lagi dua penari lain lantas menari dengan gerakan yang sama. Model gerakan tari Klana, pacakan yang gagah lalu berubah dengan gerakan balet yang lembut. Lalu kembali setengah jongkok dan ngesot diiringi suling dan rebab.

Para penari yang menggeliat ini adalah bagian dari penampilan kelompok tari Leine Roebana. Kelompok tari modern asal Belanda yang telah malang-melintang di berbagai negara sejak 1990-an ini didirikan oleh dua koreografer Andrea Leine dan Harijono Roebana.

Dalam penampilan berjudul Ghost Track kali ini, mereka mengusung penjelajahan tarian dari akar budaya Indonesia dan Belanda. Lima penari Belanda dan tiga penari Indonesia melakukan gerakan yang dieksplorasi dari tarian tradisional Indonesia seperti Klana, Cakilan. Ada gerakan pacakan, ulap-ulap, jengkeng. Mereka juga bergerak liat, lentur dengan gerakan balet.

"Kami mencoba membuat dialog dengan dua sisi horizon kami masing-masing," ujar Harijono.Untuk menghidupkan tarian, Harijono menggandeng komposer Iwan Gunawan, musisi yang memiliki akar musik tradisi Sunda dan pengetahuan musik kontemporer Barat.

Dengan iringan kendang, kotekan bambu, saluang, dan gending-gending, para penari mulai menggeliat. Gerakan-gerakan cakilan yang gesit lantas berpadu dengan kelenturan balet Eropa. Para penari ini terus bergerak dan bergerak. Sesekali salah satu dari mereka berlari, mengitari ruangan teater. Atau setengah berjongkok, bersimpuh, atau bergerak lincah seperti menendang pada posisi simpuh—seperti gerakan silat. Atau bahkan hanya membungkuk, cuma mengayunkan tangan yang menjuntai dan menggerakkan bahu.

Yang unik, Harijono, lulusan Sekolah Teater Amsterdam dan jurusan ilmu teater di University of Amsterdam, memberikan jeda dengan memunculkan banner merah sepanjang tiga meteran bertulisan "Candy 200% dan 30.000 Watts". Banner dan papan tulisan ini diusung oleh beberapa penari.

Dalam sesi berikutnya, para penari berganti kostum. Pada awal penampilan, mereka memakai setelan hitam dengan baju seperti baju kungfu tanpa lengan. Selanjutnya, para penari memakai semacam rok hitam. Penari laki-laki bertelanjang dada, penari perempuan mengenakan kaus ketat panjang.

Dalam sesi kedua ini, sepasang penari laki-laki dan perempuan bergerak seirama. Sambil berdiri sebaris, mereka menggerakkan seluruh badan ke depan dan ke belakang seperti gerakan ular lalu diikuti semuanya.

Para penari berlatih bersama dalam dua tahun terakhir dan sangat intensif dalam tiga bulan terakhir. Tak mudah untuk menggabungkan dua akar budaya ini. Harijono menerangkan, gerakan tari Jawa sangat memfokuskan bagian tubuh tertentu. Misalnya gerakan bentuk jari. Atau pada gerakan bahu atau tangan.

Dengan berfokus pada bagian tertentu tubuh ini, para penari tradisional Jawa mengelaborasi ruang. Ini berbeda dengan para penari balet, yang membawa seluruh tubuhnya menjelajahi ruang. "Eropa mempunyai banyak ruang tapi lebih diam, sedangkan Indonesia punya lebih banyak waktu," ujarnya.

Salah satu penari, Sandhydea Cahya Narpati, mengaku sempat mengalami kesulitan beradaptasi. Pasalnya, gerakan tarian tradisional Jawa senantiasa mempunyai makna. "Kami terbiasa dengan meaning, pose, sedangkan dia jalan terus. Koordinasi antartubuh ini terus bergerak," ujarnya.

Selama 85 menit pentas, para penari memang terus bergerak. Dengus napas mereka yang terengah-engah pun beberapa kali terdengar. "Menggeh-menggeh (ngos-ngosan) juga," ujar Sandhy.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus