Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rintihan Burung Arya

Arya Pandjalu menampilkan sosok manusia burung dalam karya-karya terbarunya. Kritik simbolis terhadap pencemaran lingkungan.

13 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat sepeda motor bergerak di antara kendaraan lain di jalanan Kota Yogyakarta. Tak ada yang aneh dari sepeda-sepeda motor itu. Tapi lihatlah lima helm pengendaranya. Helm merah yang ganjil karena bentuknya mirip perkawinan helm dan pot kaleng di bagian atasnya. Sebenarnya bagian atas itu memang berfungsi sebagai pot karena di dalamnya ada tanah dan sebatang pohon beringin yang mencuat ke atas, lengkap dengan ranting dan daun hijaunya yang rimbun.

Aksi kelima pengendara motor aneh itu tampil dalam video Tribute to Jogja. Video sepanjang lima menit itu digarap Arya Pandjalu dan Sara Nuytemans pada 2010 dan ditampilkan dalam pameran terbaru Arya, "Soundgarden", di Ark Galerie, Jalan Senopati Nomor 92, Jakarta. Karya itu seakan-akan menciptakan sebuah "mesin instan" yang mengganti emisi karbon dari sepeda motor dengan udara segar dari pohon di helm. Karya yang dipersembahkan untuk lingkungan hijau Kota Gudeg ini menjadi pemenang Szpilman Award, penghargaan seni internasional di Jerman untuk karya yang muncul dalam satu momen.

Arya adalah perupa kelahiran Bandung, 26 Juli 1976. Lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia ini telah tiga kali berpameran tunggal, yakni di Jakarta pada 2009; di Den Haag, Belanda, pada 2008; dan di Yogyakarta pada 2004. Dia sering mengangkat tema lingkungan dalam karya-karyanya, termasuk sejumlah karya instalasi dan lukisan cat air dalam "Soundgarden".

Pameran dengan kurator Alia Swastika dan berlangsung sejak akhir Januari lalu hingga 25 Februari itu kembali menampilkan manusia burung, tokoh yang telah dimunculkan Arya dalam berbagai seri karyanya selama lima tahun terakhir. Manusia burung itu muncul misalnya dalam Jaga Tanah Ini, yang tampil dalam pameran bersama Beastly di Cemeti Art House, Yogyakarta, tahun lalu, lewat patung resin manusia berkepala burung berwarna hijau. Patung itu duduk di bangku sambil memegang senapan kayu mainan. "Ia menjadi personifikasi saya atau kita, manusia, yang merepresentasikan makhluk hidup dan alam yang teralienasi," kata Arya.

Arya punya pengalaman khusus dengan burung, yang mengilhami lahirnya manusia burung rekaannya. Saat masih kecil pada 1980-an, dia tinggal di sebuah lingkungan perumahan yang cukup hijau dan rimbun oleh pepohonan di Bandung. Ayahnya mengajarinya menembak dengan senapan angin dengan sasaran benda-benda mati. Tapi, setelah merasa lihai, Arya mencoba menembak burung-burung yang berkeliaran di sana. Banyak burung yang mati dia tembak, dan ia kumpulkan. "Hingga suatu ketika saya bingung, tidak tahu mau diapakan lagi hasil tembakan itu," tuturnya.

Rasa bersalah tumbuh dalam diri Arya. Dia mulai berempati pada nasib burung-burung itu, yang berkembang pada kesadarannya akan pentingnya hubungan manusia dan alam. "Sampai sekarang memori itu selalu muncul dalam kepala saya, hingga saya sering tidak bisa menahannya dan tampak dalam gambar-gambar saya," katanya.

Sementara dalam karya-karya sebelumnya manusia burung hanya menjadi pelengkap, dalam "Soundgarden", Arya menempatkan sosok manusia burung sebagai bintang utama. Judul pameran ini juga mengingatkan kita pada Soundgarden, salah satu kelompok musik grunge dan rock alternatif yang berkembang di Seattle, Amerika Serikat, selain Nirvana dan Pearl Jam. Arya, yang juga gemar bermain gitar, mengaku memang memungut nama band itu untuk pamerannya. "Band-band grunge­ itu sempat mempengaruhi pendengaran dan gaya hidup saya saat di bangku SMP dulu," katanya.

Pameran ini merupakan gabungan antara kenangan masa kecil Arya, keprihatinannya soal alam, dan perpaduan musik serta seni rupa. "Pada pameran kali ini, saya lebih berkonsentrasi dalam mengeksplorasi kertas sebagai medium utama serta banyak memasukkan elemen suara dan elektronika dalam karya," katanya.

Salah satu karya Arya dalam pameran ini adalah Soundgarden #1, berupa instalasi lima gitar elektrik yang terpasang horizontal pada sebuah penopang besi. Di senar-senarnya bertengger beberapa burung dari kertas yang menginjak nada berbeda. Dengan demikian, bila perangkat elektronik diaktifkan, burung-burung itu seperti sedang bermain musik dengan suara-suara yang ganjil.

Factory and the Lonely Tree adalah kritik yang nyata terhadap polusi. Arya membuat sebuah replika cerobong asap yang tinggi hingga mencapai langit-langit galeri yang menghitam, seakan-akan langit yang pekat dengan polusi. Di samping cerobong itu, tegak sebatang pohon putih dengan burung-burung bertengger di cabang-cabangnya.

Soal kebebasan bagi para burung muncul dalam Break Free, berupa patung manusia burung setinggi manusia dewasa yang menggendong sebuah sangkar burung kosong. Adapun dalam Fade Out, Arya seperti membiarkan dirinya menjadi batang pohon dengan cabang-cabang yang keluar dari dada dan punggung patung manusia bertubuh cokelat. Di dekatnya, kita mendengar suara kicau burung yang perlahan hilang.

Arya adalah seniman yang banyak mengolah pengalaman pribadinya dalam berkarya. Namun, dari pengalaman sederhana itu, dia sebenarnya berbicara tentang masalah politik dan lingkungan hidup, yang menjadi isu hangat dewasa ini. Strategi ini memungkinkan kritiknya tak terkesan cerewet dan vulgar. Meskipun beberapa pengungkapan gagasannya tampak belum tersublimasi dengan baik, sebagian besar karyanya, khususnya yang menghadirkan manusia burung, tampak lebih simbolis dan mengena dengan halus.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus