Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI-hari waktu Munir Karta kini dihabiskan di rumah dan tempat kerjanya. Ayah tiga anak yang kini menjadi petugas keamanan gudang di perumahan Taman Yasmin, Bogor, itu sesekali mendatangi Kejaksaan Negeri Bogor untuk sekadar lapor.
Rumah, untuk sementara, menjadi terungku bagi pria 52 tahun yang berpendidikan hanya sampai kelas II SD ini. Pada akhir Mei 2011, Pengadilan Tinggi Jawa Barat menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bogor yang menghukumnya tiga bulan penjara dengan hukuman percobaan enam bulan. Hakim memutuskan bekas kepala keamanan Kampung Wangkal ini cukup menjalani hukuman di rumah. Ia tetap masih bisa bekerja.
Pengadilan Tinggi menyatakan Munir terbukti memalsukan surat pernyataan tidak keberatan warga terhadap pembangunan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Kelurahan Curug Mekar, Bogor, Jawa Barat. Karena berkukuh tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan, awal Oktober lalu ia melawan putusan banding dengan mengajukan permohonan kasasi. "Demi Allah, saya tidak memalsukan tanda tangan itu," katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Soal pemalsuan itu diteriakkan Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami). Dibentuk pada pertengahan Januari 2010, forum ini merupakan wadah warga Curug yang menolak pembangunan gereja. Membawa tujuh saksi dan diantar 150 orang, Forkami melaporkan panitia pembangunan gereja, Thomas Wadudara, ke Kepolisian Resor Kota Bogor atas tuduhan memalsukan persetujuan warga, pada 30 Januari 2010. Kasus ini hingga kini masih diproses kepolisian.
Alih-alih menjadikan Thomas tersangka, dua pekan kemudian polisi justru menetapkan seorang warga Curug, Hari Junaedi, sebagai tersangka. Ia dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan, memimpin 200 pengunjuk rasa memprotes pembangunan gereja, April 2009. Panitia pembangunan gereja yang melaporkan kasus itu. Belakangan, Hari divonis bebas.
Warga pun murka. Atas laporan Hari itu, Forkami mengajukan tiga saksi untuk mengadukan pemalsuan surat tidak keberatan warga Kampung Wangkal, Curug, Bogor, terhadap pembangunan gereja tertanggal 15 Januari 2006. Tiga saksi itu adalah Ahmad Saleh Ibrahim, Jumat bin Entong, dan Sodimin. Ketiganya mengaku saat itu diminta tanda tangan dengan dalih persetujuan pembangunan Rumah Sakit Hermina. Ketiganya pun menuding Munir memalsukan dokumen dan menipu mereka.
Dua pekan kemudian, Munir ditetapkan sebagai tersangka. Dalam persidangan, Ahmad Saleh menyatakan ia pernah didatangi Munir, selaku ketua RT. Saat itu, kata dia, Munir memintanya menuliskan nama dan tanda tangan persetujuan pembangunan RS Hermina. Berharap bisa bekerja di rumah sakit itu, Saleh bersedia membubuhkan tanda tangan. "Bukan untuk persetujuan gereja," katanya.
Dalam pemeriksaan polisi, Munir tak konsisten memberikan keterangan. Awalnya, ia mengaku surat tidak keberatan itu memang untuk pembangunan Gereja Yasmin. Waktu itu, kata dia, ia diminta seorang anggota panitia pembangunan gereja, Lie Sun Lok alias Suntawijaya, mencari sepuluh tanda tangan warga yang tidak keberatan. Ini syarat baru yang diminta pemerintah daerah Bogor yang mengkaji permohonan izin mendirikan bangunan Gereja Yasmin.
Dari empat warga yang datang ke sosialisasi sebelumnya, Munir meminta tanda tangan mereka dan menyodorkan duit Rp 100 ribu sebagai "ongkos jalan". Sedangkan untuk enam warganya yang tidak hadir ke sosialisasi, ia mendatangi rumah mereka dan juga mengaku tengah menjaring persetujuan warga untuk pembangunan RS Hermina. Belakangan, keterangan itu ia ralat. Dua pengacara yang disediakan Forkami juga ia ganti. "Saat itu saya dipaksa dan ditekan Forkami," kata Munir.
Setelah mendapat tanda tangan dari warganya, surat persetujuan itu ia serahkan kepada Suntawijaya. Berkas ini kemudian oleh Suntawijaya diserahkan kepada Lurah Curug Agus Ateng.
Nah, setelah ini, muncullah dua versi soal dokumen itu. Menurut Wali Kota Bogor Diani Budiarto, berkas itu yang menjadi syarat pengurusan IMB gereja. Ketika ditemukan pemalsuan oleh warga, ujar Diani, ini yang menjadi salah satu alasannya membatalkan izin.
Lain lagi versi Agus Ateng. Saat diperiksa polisi, Agus mengaku dokumen aslinya tersimpan di laci kantornya, sampai IMB itu terbit. Ia mengaku tidak menyerahkannya ke Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, yang mengurus izin tersebut.
Agus menjadi salah seorang yang diadukan ke polisi karena dituduh memberikan uang Rp 100 ribu kepada tujuh warganya agar mau menandatangani daftar hadir sosialisasi Gereja Yamin pada 12 Januari 2006. Berkas kasus Agus itu hingga kini masih bolak-balik dikaji polisi.
Anton Aprianto, Aristha U.S. (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo