Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hati Peter Dittmar tak cuma singgah di tanah Bali. Pelukis abstrak Jerman itu terpesona oleh alam dan budaya yang berdetak di Pulau Dewata. Ia pun segera menemukan rumah bagi ide-ide kreatifnya di atas kanvas.
Bagi pelukis 61 tahun itu, pesona visual Bali bukan hanya perempuan pekerja keras yang bertelanjang dada, para lelaki yang menyabung ayam, petani yang membajak sawah di terik matahari, pasar-pasar pedesaan yang kumuh, pohon beringin besar, dan pura dengan keramaian upacaranya. Eksplorasi visual Dittmar melampaui itu. Karya-karyanya menunjukkan bahwa di balik pesona visual itu ada yang jauh lebih menarik: pesona filosofi.
Sebelum menetap di Bali, karena faktor psikologis, Dittmar memutuskan beralih agama dari Katolik ke Buddha. Dan tampaknya hidup dalam keyakinan Buddha banyak mempengaruhi proses pencarian estetik dalam karya-karyanya kemudian. Itu bisa dinikmati dalam pameran tunggalnya di Goethe-Institut, Jakarta, yang digelar hingga 10 Oktober ini.
Sebanyak 25 lukisan dan 2 karya instalasi dalam pameran bertajuk Between Cultures itu merupakan hasil pencapaian estetik dari pergulatannya dengan nilai-nilai Timur-khususnya Bali dan Buddha. Ia memadukannya dengan teknik kaligrafi Cina yang dikuasainya.
Coba simak karya berjudul The Dance. Berlatar krem, lukisan di atas kertas 115 x 50 sentimeter itu menampilkan sesosok perempuan penari yang tampak samar dalam sapuan garis hitam dan cokelat tebal. Dalam sapuan kuas yang terlihat seperti kaligrafi Cina itu, "sosok" ini juga tampak seperti betari yang menerima persembahan sebuah sesaji.
Teknik kaligrafi Cina juga tampak dalam lukisan bertajuk Pantai Tropic. Sapuan garis tebal hitam dan merah terlukis bagai debur ombak yang bergejolak. Dalam lukisan abstrak karya tahun 2006 itu, Dittmar memasukkan unsur warna-warna cerah-hijau dan kuning-sebagai latar belakangnya. Warna-warna ini mewakili nuansa alam tropis, terutama Bali, yang telah memukaunya.
Sejak 1990-an karya-karya Dittmar memang kental dengan teknik kaligrafi Cina. Dalam sebuah pameran pada 1993, seorang guru kaligrafi dari Cina bertanya, apakah ada karya kaligrafinya yang memiliki arti. Dittmar menjawab, "Tidak, mereka tak memiliki arti," katanya. "Mereka adalah ekspresi keadaan saya sebagai manusia, di sini dan sekarang."
Dengan diam-diam guru kaligrafi itu menyatakan, sebetulnya ada satu lukisan dalam pameran itu yang memiliki arti. Itu adalah tanda untuk nirwana. Dan lukisan itu merupakan karya Dittmar pada 1992 yang berjudul Tanda Kosong Besar.
Yang juga menarik dari pameran di Goethe-Institut adalah karya instalasinya. Satu di antaranya bertajuk Art Links People Installation. Dittmar melukis dalam delapan bilah papan yang dilapisi kertas, masing-masing berukuran 215 x 13 sentimeter. Dan di setiap papan, lukisan itu memiliki latar berbeda. Empat berlatar krem, tiga cokelat tua, dan satu merah. Khusus di atas lukisan berlatar merah tampak ditempelkan hio.
Pada karya lukis maupun instalasi, bentuk-bentuk eksotis pesona alam dan budaya Timur, khususnya Bali, di tangan Dittmar direduksi sedemikian rupa menjadi bentuk yang sederhana. Ia cuma mengambil saripati nilainya.
Peter Dittmar lahir di Munich, Jerman, pada 1945. Alumni Academy of Fine Arts di Munich itu mulai serius melukis sejak usia 14 tahun. Ia sempat mengajar seni rupa di Munich, sebelum akhirnya memusatkan perhatiannya pada penciptaan karya sendiri.
Dan Bali-kediaman Dittmar sejak 1982-memang telah menyihirnya. Banyak lukisannya digagas di sana. "Bali pernah memberi saya kesempatan, menyaksikan kemungkinan atas kerinduan manusia terhadap firdaus," katanya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo