STABILITAS mungkin populer pada masa Orde Baru. Perkataan itu
mendesing di angkasa Indonesia semenjak Soekarno dengan "Jimat"
revolusinya jatuh dari kekuasaan. Orde Baru lahir di tahun 166
justru dari pergolakan, kegelisahan dan hasrat untuk perobahan
radikal. Inti-intinya konon terletak pada koreksi total atas
salah-salah Orde Lama. Itu secara politisnya. Dalam bahasa
hukum: kembali ke Pancasila dan UUD 45 secara murni dan
konsekwen. Kalau ada yang kotor harus digosok lagi biar bersih,
kalau ada yang menyimpang perlu diatur lagi biar konsekwen.
Kalau sudah bersih dan lurus, urusan berikut adalah pembangunan.
Di segala bidang, jasmani dan rohani. Pertanian dan industri.
Politik dan hukum. Pendidikan dan kesehatan. Syarat bagi
pembangunan adalah ketenangan dan mantapnya keadaan. Singkatnya:
Stabilitas. Artinya: mana mungkin membangun rumah kalau
tukang-tukang sibuk berkelahi. Mana dapat membuat bendungan
kalau insinyur pada jotos-jotosan? Keadaan sudah aman, yang lain
pasti jalan.
Untuk memupuk stabilitas, kebebasan harus dikekang sedikit.
Mahasiswa boleh kasih keberatan. Tapi demonstrasi, mbok ya
jangan. Politik secara teoritis boleh saja, tapi politik praktis
mendingan tidak di kampus. Kalau sudah selesai kuliah, diwisuda,
lalu jadi anggota DPR, barulah magang Jangan suka keburu. Semua
pada waktunya. Lambat-lambat asal selamat. Hidup, bernegara,
berpolitik, sekolah, kawin atau kerja, untuk apa semua itu,
kalau ujung-ujungnya bukan untuk selamat? Pers juga harus
maklum. Kebebasan dijamin halal. Tapi tanggungjawab dong!
Artinya: kritik sih boleh, cuma jangan bikin goncang. Tepo
seliro-lah barang sedikit. Sopan santun dan bijaksana
menyampaikan pikiran. Jangan galak atau cemberut. Soal apa sih
yang tak selesai kalau masih bisa musyawarah? Jangan suka
terpengaruh oleh faham oposisi. Itu warisan kebudayaan 13arat,
kompetitif dan liberal. Senangnya cuma jegal-jegalan. Tapi Timur
kan lain. Apalagi Indonesia: harmoni dan tata-tenteram.
***
Kalau sudah stabil, lalu apa? Jangan bilang sudah. Komunis laten
masih banyak. Unsur subversif tetap mengendap-endap. Ada
kelompok-kelompok yang tetap ingin mengacau. Makanya waspada dan
selalu hati-hati. Pemerintah dan rakyat hanya bisa kerja kalau
situasinya aman. Mikirin planologi kota atau industri berat
bukan perkara sepele. Mana mungkin di tengah huru-hara? Perlu
operation room. Kamar kerja harus sepi dan sejuk.
Aman dan stabil kan tidak hanya secara fisik? Iya, tapi fisik
kan perlu juga. Kalau ada 10 pencopet dalam bis kota, mana
penumpang bisa aman? Kalau di sekolah ada anak main pistol dan
tembak, ya terang celaka. Makanya pencopet harus disingkirkan
dan yang nembak orang segera ditangkap.
***
Bagaimana pun stabilitas memang perlu. Itu prasarana untuk kerja
nasional. Entah pembangunan, pendidikan. seni atau ekonomi.
Stabilitas harus ada supaya ada kesempatan membuat sesuatu:
belajar, mengarang, bercocok-tanam, mengatr perkebunan,
mengelola peternakan atau berdagang. Orang Cina di Tiongkok ogah
bikin peluru dari mesiu. Mendingan bikin petasan. Kalau ada
bedil dan peluru orang gampang cari perang. Kalau perang,
dagangan macet. Bikin petasan saja. Pasaran tak bakal sepi. Mana
ada anak yang bosan main mercon? Meledak, gemerlapan dan meriah.
Stabilitas juga perlu untuk melatih kesabaran. Kalau tarif bis
naik. harap maklum. Pengusaha bis kota pada rugi. Naik 20 perak
apalah artinya. Dihemat sebatang Gudang Garam sudah dapat.
Makanya, jangan kebanyakan merokok. Iritlah sedikit untuk bantu
transpor. Kasihan pengusaha bis kota. Kalau bangkrut, dengan apa
dari Banteng ke Cililitan? Demi kepentingan bersama dan
stabilitas juga.
***
Sebentar, numpang tanya. Kapan rumah-tangga disebut stabil'?
Bukankah negara kita berdasarkan asas kekeluargaan dalam
ekonominya? Mana syarat-syaratnya keluarga stabil? Anak dan ibu
nggak boleh buka mulut bila uang sekolah selalu debet? Isteri
tak boleh menegur suami kalau saban kembali selalu lewat tengah
malam? Atau suami takut menanyakan ibu rumah kenapa uang belanja
selalu habis di tengah bulan? Pokoknya keadaannya serba
hati-hati dan rikuh. Takut timbul cekcok. Sudah cekcok, mana
mungkin mantap dalam keluarga.
Namun, stabilitas juga tidak patut jadi tempat memendam
keresahan. Sederhananya? Stabilitas mungkin artinya begini
pegawai atau karyawan boleh tuntut kenaikan gaji tanpa khawatir
didepak dari kerjanya. Siswa boleh mendebat gurunya tanpa cemas
ditekan waktu ujian. Dan suami boleh menegur isteri kalau
kelewat royal, tanpa perlu timbul huru-hara dalam rumah. Kalau
demi stabilitas, suami hanya harus menekan perasaan, bisa
dipastikan, keuangan keluarga hancur-lebur.
***
Pikir-pikir, stabilitas itu dasarnya apa sih? Apa sebetulnya
yang bikin mantap keadaan dan suasana? Apakah represi? Terang
tidak. Represi hanya mampu mendiamkan. Ancaman? Akibatnya adalah
ketakutan atau dendam. Kekerasan barangkali? Tidak juga, karena
kekerasan hanya berfungsi memaksakan.
Lalu apa? Mungkin kepercayaan. Kalau anak masih percaya bahwa
ayahbunda selalu jujur dan tidak bohong, maka stabillah seluruh
keluarga. Kalau murid masih percaya bahwa gurunya tak punya
pamrih, mantaplah sekolah.
Sebaliknya kalau sang anak hanya diam saja karena tidak kuat
menentang orangtuanya yang lalim, maka yang a la hanya
ketegangan. Kalau siswa tahu bahwa gurunya tukang peras dan
rajin cari untung, tapi terus diam karena cemas tahan kelas, itu
hanya ketakutan dan sikap munafik.
***
Stabilitas adalah kepercayaan yang stabil karena alasan-alasan
yang stabil. Mengusahakan stabilitas hanya mungkin dengan
membina kepercayaan. Membina kepercayaan artinya memberi alasan
dan sebab untuk percaya. Cara lain agak susah. Abraham Lincoln
masih tetap benar. Katanya: anda bisa sesekali menipu orang
banyak. Anda juga dapat menipu seorang terus-menerus. Tapi anda
mustahil dapat menipu orang banyak terus menerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini