KAGET juga penonton malam pertama. Grup 'Kharisma' yang
direncanakan tampil bersama Harry Roesli, batal naik panggung
Teater Terbuka TIM. Mungkin sekali ini di luar kekuasaan
Monticelli, sang koordinator asal Bandung itu. Padahal penonton
sudah terlanjur memadati bangku-bangku beton meskipun itu
mungkin untuk nama Harry, yang sudah banyak menolong penjualan
karcis untuk 13 dan 14 Agustus itu.
"Sebagian anggota Kharisma kesurupan sehabis pertunjukan di
Gedung Merdeka Bandung," ucap Harry kasih alasan sehabis
pertunjukan malam kedua. Malam itu penonton agak beruntung,
lantaran masih ada suguhan awal dari Remaja Radio Prambors.
Kelompok ini, kendati tersengal-sengal, sudah sempat mengawali
penampilan dengan lagu bernama Sekelumit Kehidupan. Mereka
sempurnakan dengan lagu Pelamun yang boleh juga di bagian
cuap-suapnya.
Berteriak-teriak
Kelompok bernama keren Double SB Singing Students of Bandung
kemudian mengoper tempat adik-adik Prambors. Di punggung mereka
terbentang poster seorang lelaki yang membentangkan 18
tangannya, dengan tulisan 'Double SB'. Gambar yang perkasa.
Sementara 3 cewek plus 6 cowok segera membakar suasana dengan
lagu Hell. Army -- itu yang pegang gitar utama menerangkan lagu
ini mengisahkan kekejaman neraka. Barangkali itu sebabnya mereka
berusaha menjadikan panggung seperti Kawah Candradimuka.
Semuanya memukul senar gitar habishabisan, drum digebuk dengan
ribut, sementara mulut terbuka lebar. Anakanak muda itu pun be
teriaklah, bukan main hiruk-pikuknya. Maklum neraka kan.
Sampai lagu ketiga, Tentang Bintang di Langit, hawa panas yang
mereka bikin itu masih saja bergelora. Padahal lirik lagu
sebenarnya sangat sederhana, di dalamnya juga terselip suara
biola. Demikianlah potensi penggesek yang malang itu jadi tidak
sempat ditampilkan.
Sebagaimana biasa, Rudy Jamil tak mau ketinggalan. Badut sopan
dan intelek ini sudah menjadi maskot musik Bandung. Walau
selorohnya agak kering pada malam kedua, terus terang, ia tak
menyia-nyiakan fungsinya sebagai beras kencur. oengan pintar dia
mengatur pergantian kelompok yang ternyata kaku. Lalu tampillah
Benny Subardja memegang gitarnya. Didukung oleh 3 orang rekannya
- menggantikan l)ouble SB-ia menyingkap sebuah lagu manis
bernama Keindahan Alam. Lirik dan petikan gitarnya sederhana,
tetapi ia sempat menampilkan suasana yang enak. Tetap duduk di
kursi ia meneruskan kemanisan itu dengan judul lagu Matahari
Terbit.
Benny memang punya kekuatan untuk lagu-lagu seperti itu.
Suaranya khas dan memukau. Tapi tatkala ia mencoba melemparkan
suasana lain dengan lau Nelayan, ada terasa yang tidak muncul.
Ia tidak sempat menitipkan kecupak laut, tiupan angin, kekerasan
hidup pesisir baik lewat lirik maupun aransemen. Nelayan di
tangan Benny jadi terlalu lembut. Beda sekali dengan nelayan
versi Leo Kristi yang tegar dan perkasa. Mungkin sekali Benny
memang dilahirkan untuk lagu yang bernafas hijau hutan atau
dinginnya embun gunung. Temperamen yang merupakan ciri umum
musik Tanah Sunda.
Akhirnya keluarlah Harry Roesli. Masih tetap nervous, meskipun
ia telah mencoba mulai dengan lagu tentang isteri Mao Tse Tung -
yang terdengar sedikit jorok. Khalayak yang memperhatikan ulah
solonya dengan gitar, dengan sabar mendengarkan lirik lagu yang
jelas mau berseloroh tetapi tak mendapat tanggapan. Mungkin
sekali lagak urakan, lagak nakal, laLsak kurang ajar, sekarang
sudah menjadi terlalu basi.
Harry meneruskan pertunjukannya dengan kisah pegawai negeri yang
tergoda setan dan masih harus menerima bujukan setan. Lagu ini
asembling baru dari lagu Kaki Langit. Seorang biduanita ceking
bernama Kania, kemudian menolong Harry membawa lagu Keringat.
Ini sedikit menyegarkan suasana. Dengan suara yang kecil,
melengking tinggi bagaikan roket, Kania telah menolong
pertunjukan Harry yang terasa sangat tidak siap ini. Walhasil,
tampang Bandung - yang mulai apik pada 2 bulan sebelumnya -
terasa pudar kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini