Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA ingin berkisah tentang bambu. Dua bilah bambu panjang digerakkan dari pangkal tangan mereka, mengacung ke depan. Dijatuhkan dan mengentak badan jalan di depannya. Menyerupai sepasang taring panjang yang keluar dari tubuh mereka.
Mereka mulai bergerak di depan stasiun Gambir, Jakarta, melintasi jalan yang padat. Mereka bergerak menyeberangi jalan menuju Galeri Nasional Indonesia di depannya. Seketika, jalan itu memang seperti sedang dibelah oleh sihir bambu.
Belahan itu bergerak memasuki halaman depan gedung galeri. Sebuah bangunan dari rangkaian bambu, mirip altar, berdiri di halaman galeri. Mereka bergerak naik ke altar itu, seperti memasuki ruang laboratorium mereka sendiri untuk membuat narasi bersama antara bambu dan manusia.
Peristiwa itu berlangsung dalam pertunjukan kolaborasi Teater Studio Indonesia dengan Teater Kafe Ide Untirta dari Serang pada Jumat dua pekan lalu yang disutradarai Nandang AraÂdea. Aktor yang satu bergerak di atas garis-garis bambu yang saling menyilang, mengait, dan mengikat di atasnya. Aktor lain membawa bilah-bilah bambu yang lebih kecil, menggerakkan gelombang imaji di sekitar hutan bambu. Seluruh aktor lelaki mengenakan kostum hitam, aktor perempuan mengenakan kostum merah.
Narasi pertama yang muncul dari aksi mereka memang tidak terlalu sulit menduganya: titian. Titian seperti awal menguji konstruksi bangunan bambu itu untuk ditunggangi, membuat berbagai aksi di atasnya. Suara benturan antar-bambu, gesekan antar-bambu, terdengar masif dan kontinu.
Gerak yang dikoreografi Rachmawati Nilakusumah mulai memperlihatkan bentuknya, terutama melalui aktor perempuan dengan permainan keranjang dari anyaman bambu di kepala mereka. Warna merah dari kostum yang mereka gunakan, di antara kumpulan sela-sela bambu, memunculkan imaji-imaji tentang ritme. Warna yang cenderung mengubah tubuh mereka menjadi tubuh-individual, dibanding aktor lelaki berkostum hitam yang cenderung menghasilkan tubuh-komunal.
Narasi titian berubah lagi ketika tubuh-komunal mulai menggesek-gesekkan potongan bangunan-bangunan lain yang berada dalam konstruksi bambu itu. Ternyata dalam konstruksi bambu itu ada potongan bangunan-bangunan bambu yang lebih kecil lagi, dan bisa digerakkan seperti mesin dalam pabrik. Aksi ini menghasilkan imaji lain dari berubahnya altar bambu menjadi "mesin-bambu". Seluruh tubuh-komunal itu kemudian masuk ke dalam bangunan altar, dan menggerakkan mesin-bambu itu dari dalam, seperti perahu besar yang sedang dikayuh dari dalam. Melalui aksi ini, "bio-narasi", yang menjadi gagasan pertunjukan ini (Bio-Narasi, Tubuh yang Terbelah), pertumbuhannya tampak kian signifikan.
Bambu tiba-tiba memperlihatkan realitas arkaisnya di tengah beton-beton bangunan kota. Terasa mistis, menggetarkan. Sesuatu yang purba, berada di luar peradaban, hadir di sini memperlihatkan cahaya dan kesuciannya.
Potensi bambu untuk menghasilkan berbagai konfigurasi tampak memang tidak membuat pertunjukan menjadi sekadar pameran bentuk. Kita melihat tentang sesuatu yang terguncang dan kembali pada porosnya. Tentang imaji-imaji keseimbangan dalam permainan ayunan dan kembali pada porosnya.
Sejumlah aktor mengangkat satu sisi dari altar bambu itu ke atas, altar jadi miring: seluruh konstruksinya seperti terancam dan saling mengancam. Adegan ini dilakukan berkali-kali dengan seorang dan beberapa penari di atasnya. Puncak dari permainan ini berlangsung ketika seluruh panggung digerakkan berputar, menghasilkan suara gemuruh kaki-kaki yang bergerak memutarnya dan suara gemuruh dari altar bambu yang diputar serta saling menggesek.
Keheningan setelah guncangan dan putaran itu berefek gema dari kekuatan mantra: mantra bambu. Sebagian tubuh aktor yang masih mentah, tak terelakkan, ikut mengurangi sihir pertunjukan mereka. Pertunjukan Teater Studio Indonesia ini memang membawa semacam pertunjukan komunal: kita yang belum mendapatkan persepsi sebelum berada bersama dan di dalam bambu. Pertunjukan ini akhirnya seperti memenuhi mesin keharuan yang datang dari sini. Bukan dari sana.
Afrizal Malna, penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo