Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Monolog Samurai Yantoro

Pentas monolog tentang pendekar samurai. Satu di antara puluhan monolog karya Whani Darmawan.

30 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bahwa nyawa semurah sehelai bulu. Ia tak berarti apa-apa bagi mereka yang mencintai kematian untuk membela kehidupan. Hidup itu hanya sebuah wadah, mati adalah kemuliaan yang hidup…."

Yustinus Yantoro membuka monolog berjudul Samurai Sakate arahan sutradara Sambodo Wijokongko di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta, Kamis malam dua pekan lalu. Yantoro memerankan seorang pendekar samurai Takamori Sakate. Ia mengenakan kimono merah muda, lengkap dengan pedang samurai (wakizhasi) di pinggang kiri dan potongan rambut nyaris botak dan menyisakan baris-baris rambut di tengah dan samping kepala yang kemudian diikat ke belakang.

Di atas pentas yang berlatar shoji—pintu kayu berlapis kertas transparan khas Jepang yang bisa digeser—Takamori Sakate memperkenalkan diri sebagai keturunan ke-13 pendekar samurai Saigo Takamori. Sakate adalah pendekar tangguh yang menjunjung tinggi kehormatan hingga akhir hayat. Kehormatan sangat penting bagi seorang samurai.

Samurai Sakate karya Whani Darmawan menyuguhkan pergulatan batin Sakate: sebagai pendekar yang tangguh tapi harus menyerah pada restorasi Meiji, yang membuat nenek moyangnya menanggalkan wakizhasi. Ia kalah dan kemudian menyepi. Kekalahan itu menyulut emosinya yang merasa sebagai laki-laki gagal. Hingga kesedihannya dibuyarkan teriakan nyaring istrinya. "Biyang! Kamu di mana? Ini hari sudah siang! Apa latihanmu sudah selesai?" ucap sang istri. Sakate terduduk: "Tahukah Anda, samurai sebaiknya tak boleh jatuh cinta."

Yantoro menuturkan, Samurai Sakate merupakan pementasan monolog kedua kalinya setelah dia absen berteater sejak 1987. Pada Mei 2016, ia bermonolog dengan judul Mencari Bapak karya W.S. Rendra. Aktor yang akan berusia 60 tahun pada Juni mendatang ini menggeluti dunia teater sejak 1976 di bawah bendera Teater Stemka dengan bimbingan Landung Simatupang. Ia mendapatkan naskah Samurai Sakate pada September 2016. Karena naskahnya pendek dan hanya berdurasi 20 menit saat dipentaskan, dia memanjangkannya hingga berdurasi 45 menit.

Landung, yang turut menonton malam itu, mengaku sempat terganggu oleh suara pelakon istri yang sangat kencang dan cenderung pecah. Beberapa adegan yang semestinya bisa ditampilkan Yantoro alias Yanjangkrik secara komikal pun tak muncul. Seperti adegan ketakutan Sakate terhadap istrinya. Menurut Landung, saat Sakate mencopot kostumnya pun sebenarnya bisa dieksplorasi sehingga memunculkan sisi komedinya. "Dia tak biasa dengan komikal. Komedi memang tak bisa dipaksakan, tapi mengandalkan timing," ujar Landung.

Penulis naskah Whani Darmawan menyerahkan sepenuhnya kepada Yantoro untuk mengeksplorasi naskahnya. "Dalam latihan, saya tak banyak usul, kecuali kalau diminta," kata Whani. Saat ini, Whani tengah menggarap proyek naskah monolog. Penulisan yang dimulai sejak 6 Juni 2016 itu rencananya akan diakhiri pada Juni mendatang. Sudah ada 69 naskah monolog pendek. Dari jumlah yang akan terus ditambah itu, kini sudah ada 45 naskah dengan tokoh laki-laki dan sisanya perempuan. "Masih sedikit naskah monolog di negeri ini dengan ketokohan perempuan. Saya membuatnya dengan menggali problem-problem perempuan," ujarnya.

Whani berusaha menulis saban hari. Idenya dibiarkan mengalir. Tanpa plot, tanpa sinopsis. Dia mengandalkan intuisinya. Pemilihan penulisan naskah monolog ketimbang dialog tak lepas dari latar belakang Whani yang kerap menjadi juri festival dan lomba monolog untuk siswa. Dia berharap para aktor tak kesulitan mencari naskah monolog. Apalagi proyek naskah monolognya itu akan dibukukan selepas Juni 2017. Whani mempunyai keinginan bukunya itu akan dibagikan ke sekolah-sekolah seni dan sanggar seni secara gratis. "Lagi mencari sponsor," katanya.

Naskah-naskah karya Whani pernah dipentaskan siswa SMK Negeri 2 Surabaya berjudul Lek War. Lalu, dalam pertunjukan monolog bertajuk "Kolase Monolog" yang digelar pada Festival Kesenian Yogyakarta 2016, sejumlah naskahnya juga dipentaskan. Di antaranya Tukang Kayu, Sengsu, Toa, Alien, Master Chef, dan Theatre Game. Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus