Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESAK, gelap, dan menekan. Ketidaknyamanan itu akan dirasakan pengunjung ROH Projects, Jakarta Selatan. Sejak pekan lalu, galeri itu menurunkan plafonnya hingga tinggal satu meter dari lantai pada salah satu sisinya. Sisi jendela, tepatnya. Pengunjung yang semula berdiri untuk mengamati karya-karya Wiyoga Muhardanto akan menunduk, lalu jongkok seiring dengan plafon miring yang kian rendah.
Wiyoga sengaja menurunkan struktur plafon galeri yang berlokasi di Menara Equity lantai 40 itu. Dia mengubah ruangan itu agar sesuai dengan isu kota yang diangkatnya dalam pameran ini. Kota yang menurut Wiyoga "kian menekan dan memberikan ketidaknyamanan bagi warga yang hidup dan beraktivitas di dalamnya".
Sejak dua tahun lalu, perupa kelahiran Jakarta, 32 tahun silam, itu memang gemar mengangkat isu kota dalam pameran-pameran tunggalnya. Pada 2015, misalnya, Wiyoga menggelar pameran "Deng Deng Durian" di Yogyakarta. Pameran itu mengangkat isu Kota Jakarta—yang kerap disebut sebagai Big Durian—secara acak. Tahun lalu, dalam pameran tunggal bertajuk "What If?" di Art Basel Hong Kong, ia mengangkat isu kelas menengah sebuah kota.
Kali ini Wiyoga mengambil fokus tema tentang jalanan di kota besar. Menurut dia, ide-ide pameran ini berangkat dari keresahannya sebagai warga kota. "Tiap hari kita beraktivitas melewati jalanan. Jalanan yang lalu lintasnya macet, pengendara yang saling sikut, tanpa sadar kita dizalimi dan menzalimi pengendara yang lain," kata Wiyoga.
Pengalaman-pengalaman pribadi itu kemudian dikembangkan dalam karya-karyanya pada pameran bertajuk "3 in 1". Judul pameran ini bukan hanya mengacu pada kebijakan transportasi yang telah dihapus di Jakarta, tapi juga budaya instan dan persinggungan kelas.
Dari pintu galeri, Wiyoga memajang karya trimatra lengan kanan manusia dari resin berpigmen (pigmented resin). Berjudul No, It Is Yes. Yes, Is It Not, karya pembuka ini akan mengeluarkan deru bising kendaraan bermotor bila jari telunjuknya diputar. Lalu, masih di area pintu, ada Beli Beli Beli Beli Beli, karya yang dari jauh tampak seperti terpal biru menutupi kotak.
Karya ini dibuat dari struktur plywood dan resin berpigmen yang disemprot pelapis semi-mengkilap. "Idenya dari pedagang batu akik yang dulu sering berdagang di emperan jalan," ujar Wiyoga. "Saya tertarik pada lekukan-lekukan terpalnya."
Drama sesungguhnya ada di ruang galeri. Selain menurunkan plafon di satu sisi, Wiyoga memasang lampu sorot di dua sisi untuk menerangi ruangan. Ada empat buah ban dipasang di plafon. Bentuknya tidak bundar sempurna, tapi terpotong sebagian. Seperti ban kempis dengan posisi terbalik.
Karya dari resin dan cat itu merupakan pengembangan karya dari What if, yang dipamerkan di Art Basel. Bedanya, pameran di Hong Kong itu memajang satu roda di dinding dengan lampu LED menyala dari pentil roda. Sedangkan di ROH, ada empat roda yang "menggantung" di atap. Rangka (velg) roda itu menyerupai rangka roda angkutan kota.
Tak jauh dari sana, terpasang instalasi BOSS Mau Kemana?. Karya ini menampilkan miniatur mobil yang tengah melaju secara vertikal di sebuah bidang untuk mencapai patung pahlawan. Karya ini adalah kritik Wiyoga kepada pejabat militer yang kerap melintasi jalan kota besar dengan pengawalan. "Seperti memanfaatkan identitas jabatan untuk kepentingan sendiri. Mereka bisa lewat mana saja untuk bergerak. Tidak seperti rakyat biasa. Saya buat melaju vertikal karena pencapaian mereka satu: ingin jadi pahlawan."
Selain dua karya di atas, ide-ide tentang otomobil dan ruwetnya berkendaraan di jalanan kota besar ini dikelola lewat beberapa karya. Pada Dear Customer, Wiyoga merancang lampu taksi konvensional dari plexiglass, lampu neon, stiker, dan karet. Karya ini dipasang terbalik di sisi dekat jendela ruang galeri. Menjelang malam, karya ini akan terlihat kontras dengan lampu Kota Jakarta yang tampak dari jendela galeri. Wiyoga menampilkan masa suram dari taksi konvensional seiring dengan hadirnya layanan taksi online lewat karya ini.
Di tengah ruangan, ada mobil Jaguar mini yang dipanjangkan hingga dua meter. Di sisi depan, di tempat seharusnya merek mobil terpajang, Wiyoga malah memasang sepeda motor tua yang diduduki figur pengantin Jawa wanita. Mobil yang dipanjangkan ini semacam metafora akan kemacetan. Menggabungkan mobil mewah dan sepeda motor tua dalam Happy Ending ini seolah-olah menampilkan pertentangan kelas. Adanya obyek pengantin Jawa wanita tanpa pengantin pria bisa dimaknai semacam pencarian pendamping hidup yang belum didapatkan.
Ibu Kota merupakan karya yang menarik. Wiyoga menampilkan figur mini tukang parkir lengkap dengan seragam juru parkir berwarna oranye berdiri di dalam mobil balap Formula 1. Ide dari karya ini sederhana: semewah apa pun mobilnya, toh tunduk juga mengikuti arahan si juru parkir. Wiyoga kembali menampilkan pertentangan antarkelas di sini.
Figur mini dalam High Maintenance menampilkan persoalan yang serupa: seorang penjaga keamanan yang ditarik oleh perempuan muda berkostum baju fitness. Perempuan muda itu merupakan simbol kelas atas yang, seperti judulnya, High Maintenance, merawat diri dengan mahal, dan bisa mengatur garda keamanan terdepan.
Figur-figur mini dengan detail menjadi obyek yang disorot dalam pameran ini. Wiyoga merancang ulang mainan action figure yang dijual bebas. Mainan itu dia bengkokkan, lalu diubah bentuknya, diwarnai ulang, dan diberi detail. "Saya sering menggunakan mainan mini berskala. Ada detail yang hendak saya tonjolkan," ucap Wiyoga. Rancangan ruang yang kian menyempit dengan penurunan plafon juga membuat pengunjung memperhatikan detail. Sebab, pengunjung yang datang juga dirancang untuk menunduk dan memperhatikan detail pada figur mini.
Pada karya Papa, Wiyoga menampilkan sarjana dengan toga yang ditopang oleh ayahnya yang mengenakan batik cokelat lengkap dengan bolpoin di sakunya. Menariknya, karya ini menopang manekin separuh badan yang mengenakan rok biru SMP panjang dengan sepatu Converse.
Ada juga Nothing Ever Happens, karya dari struktur besi, plywood, dan resin berpigmen. Karya ini meniru karangan bunga bertulis "congratulations" yang sering dipajang di resepsi pernikahan. Karya ini dibagi Wiyoga menjadi dua bagian secara horizontal dan dipasang pada sisi dinding yang berbeda. Judul dan kata-kata dalam karya yang bertolak belakang ini seperti menyampaikan kegelisahan kaum muda yang ingin segera menikah. Di sudut lain, ada Aliens, yang menggabungkan sepeda motor mini dan jalur jalan mobil Tamiya. Lewat pameran ini, Wiyoga menampilkan kritik sosial sekaligus kegelisahan kaum muda perkotaan dalam hidup. Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo